Seumur-umur Ara tidak pernah cocok dengan slogan ‘I’m not a Monday person’. Baginya hari Senin adalah hari baru yang patut dijalani dengan penuh semangat. Hari baru, semangat baru. Sayangnya itu tidak berlaku untuk hari ini.
Semalam Ara sempat berpikir, apakah dirinya normal?
Cewek-cewek seusianya, bahkan yang masih duduk di bangku SD pun sudah mengenal apa itu cinta terhadap lawan jenis. Mereka berpacaran dan tak sungkan untuk pamer kemesraan di media sosial.
Sementara gue? Ara bertanya-tanya dalam hati.
Jangankan pamer kemesraan, pacaran pun dia belum pernah. Kalau hanya soal tertarik, Ara pernah tertarik dengan cowok, tapi tidak sampai tahap naksir. Dan Ara berani bersumpah demi apa pun jika dirinya tidak tertarik pada sebuah hubungan yang dinamakan pacaran. Karena, yah ... pokoknya tidak tertarik.
Gue ini normal nggak sih? tanya Ara sekali lagi dalam hati.
Selama perjalanan menuju ke sekolah, Ara hanya terduduk lesu di jok belakang. Kontras dengan kedua sahabatnya yang dengan riang menyanyikan lagu Love Shot milik EXO yang diputar melalui ponsel Monic. Alih-alih ingin ikut bernyanyi, yang ada Ara malah ingin menyumbat telinganya. Suara fals Monic ditambah dengan suara cempreng Vika adalah kombinasi sempurna yang membuat kepala Ara kian berdenyut.
“Ra, lo request lagu apa?” tanya Monic setelah lagu yang dinyanyikan Kai dan kawan-kawan selesai diputar.
“Terserah,” jawab Ara ogah-ogahan.
“Puterin Apology-nya iKON aja tuh. Kali aja suara June Oppa yang serak-serak seksi bisa nge-boost mood-nya,” ujar Vika seraya mengetuk-ngetukkan telunjuknya pada setir mobil.
Monic langsung keberatan. Bukan karena dia tidak suka lagu itu, hanya saja dia sedang ingin mendengarkan lagu-lagu yang ceria. “Lagu itu gloomy banget auranya, Vi.”
“Lagu apa aja nggak bakal ada efeknya ke gue,” sahut Ara yang otomatis membuat Monic menoleh padanya. “Pikiran sama mood gue lagi amburadul banget nih.”
“Senyum dong, Ra. Masa lo mau PDKT sama Alan dengan tampang kayak gitu? Ntar Alan-nya jadi ilfil loh ngelihat muka kusut lo.”
Ara hanya mengedikkan bahu. “Kepala gue lagi banyak semutnya, Mon, bikin bad mood.”
Vika terkekeh. “Tinggal putar aja antenanya, biar semutnya hilang.”
“Lo kira gue TV?!”
“Gini deh, Ra, lo jangan mikir yang aneh-aneh dulu. Kalau belum ngejalanin aja pikiran lo udah ke mana-mana, bakalan terasa berat banget,” kata Monic, mencoba untuk menyemangati Ara. “Santai, Ra, anggap aja lo lagi cari temen baru. Oke?!”
Ara mengangguk dan merenungkan perkataan Monic. Itu memang ada benarnya. Mungkin pikirannya sendiri yang membuat semua ini jadi terlihat ruwet. Padahal sebetulnya jika dia mengikuti arus, semuanya pasti akan baik-baik saja.
Tiba di sekolah, Vika memarkirkan mobilnya di tempat biasa. Setelahnya mereka turun dan berjalan menuju ke kelas. Langkah mereka belum jauh ketika sebuah mobil convertible putih melintas, atapnya yang terbuka membuat si pengemudi dapat dikenali dengan jelas. Dan seperti kebanyakan adegan dalam sinetron, semua yang ada di sekitar membeku seakan jarum jam berhenti berdetik.
Hanya satu yang bergerak: si pengemudi mobil.
Cowok ber-hoodie putih itu memarkirkan mobilnya, kemudian turun dan melangkah acuh tak acuh melewati orang-orang yang terpaku karena takjub.
Prince.
Tepat di depan Ara, cowok itu berhenti. Dia tidak menoleh, tidak juga menyapa. Hanya berhenti. Benar-benar berhenti. Setelah satu tarikan napas panjang, dia pun berlalu dengan langkahnya yang lebar.
“M-maksudnya apa tadi? Kenapa dia berhenti di depan Ara?” tanya Monic tergagap.
Vika mengangkat bahu.
Ara mendengus kesal. Kejadian tempo hari masih terpatri sempurna di benaknya. “Cowok sinting!” desisnya tanpa sadar.
Sebelah alis Vika langsung terangkat. “Apa? Lo bilang apa barusan?”
“Eh, anu, itu.... Sinting. Lama-lama gue bisa sinting,” sahutnya gelagapan. “Kenapa cowok-cowok IPA lagaknya kayak gitu semua sih?” Ara mencoba membelokkan topik.
“Gitu gimana?”
“Sok pinter. Sok cakep. Sok populer. Sok idol banget.”
Monic menggeleng cepat, tidak setuju. “Brian sama Hendra nggak kayak gitu, Ra.”
Vika terbahak, lalu menoleh pada Monic. “Mereka berdua itu beda kasta sama Prince, Mon. Kenyataannya Prince kita emang kayak gitu, kan? Pinter, ganteng, terkenal. Cocok kok jadi idol.”
Pandangan Ara mengarah pada sosok Iago yang sudah membaur dengan lalu lalang para siswa. Dilihat dari sudut mana pun, Iago memiliki hidup yang sempurna. Semua ada dalam genggamannya. Lantas, seperti apakah cara semesta menyeimbangkannya? Apakah cowok itu juga akan mati?
Ara nyengir. Kalau tidak, berarti semesta telah berlaku tidak adil padanya.
“Gue rasa udah cukup bahas soal Prince. Yang mau gue PDKT-in hari ini Alan, bukan Iago,” ketus Ara sewot.
Monic melompat girang. “Yay! Gitu dong. Gue suka lo yang semangat gini.”
Vika mengambil posisi di antara Monic dan Ara, mengamit masing-masing lengan sahabatnya dan berjalan menuju kelas.
*
Cowok sinting!
Desisan itu terus berlarian di benak Iago. Selama pelajaran berlangsung, wajah dan umpatan cewek galak itu terus-terusan memenuhi kepalanya.
Iago tahu siapa Ara. Tidak benar-benar tahu sih, hanya sekadar tahu sebab selama ini dirinya juga tidak pernah mencari informasi lebih tentang cewek tersebut.
Cewek itu sangat terkenal, terutama di kalangan cowok-cowok. Selain memiliki wajah yang cantik, dulu Ara pernah tergabung dalam tim cheer—mungkin ini yang membuatnya sangat populer. Ditambah lagi Ara juga menjadi anggota OSIS dan dekat dengan Hendra.
Iago mendengus kasar. Cewek tukang nguping kayak gitu, apa istimewanya sih?
Ekor mata Iago mengarah pada Hendra yang duduk di dekat pintu, sang ketua OSIS itu terang-terangan naksir pada Ara. Mendadak sebuah pertanyaan singgah di kepalanya: Kabarnya Ara nggak pernah pacaran sama siapa-siapa, kan? Kok bisa?
Merasa pikirannya semakin semrawut karena terus memikirkan Ara, Iago memutuskan untuk izin ke toilet. Padahal yang sebenarnya dia lakukan hanyalah berjalan menyusuri koridor-koridor sekolah tanpa tujuan yang jelas.
Sampai akhirnya Iago melewati ruang guru. Matanya menangkap sosok yang merupakan wujud nyata dari apa yang tengah berseliweran di benaknya.
Ara keluar dari ruang guru dengan membawa setumpuk buku. Iago langsung mendekatinya. “Sini, gue bantuin.”
Akan tetapi refleks kaget dari Ara malah membuat cewek itu menabrak Iago, alhasil buku-buku di tangannya jatuh berserakan.
“Eh, lo buta, ya?! Nggak punya mata?!” umpat Ara kasar. Tatapan cewek itu berapi-api.
Iago yang mulanya berniat baik berbalik jengkel ketika mendengar umpatan Ara. Tangan Iago mengepal. Dibalasnya tatapan Ara dengan tatapan yang tak kalah berapi-api.
Entah sudah berapa lama tatapan mereka berserobok, tidak ada yang mau mengalah. Ujung-ujungnya Ara yang memalingkan muka terlebih dulu dari Iago, memutus kontak mata di antara mereka.
Dengan cekatan Ara berjongkok untuk memunguti buku-buku yang berserakan di lantai. Terbersit sebuah keinginan untuk membantu, tapi ... sudahlah! Iago malah memilih untuk bersedekap dan hanya menjadi penonton.
Setelah semua buku terkumpul di tangan Ara, tatapan mereka kembali beradu. Mata cewek itu berkilat tajam. Dari situ Iago tahu ada banyak kata yang ingin dikatakan Ara padanya—yang Iago yakin semuanya itu adalah kebencian.
Dan benar saja.
“Cowok sinting!” umpat Ara seraya menendang betis kanan Iago sebelum akhirnya berlalu begitu saja.
Masih dalam tahap mencerna, Iago hanya terpaku di tempatnya berdiri seraya memandangi punggung Ara yang kian menjauh.
Iago menggeleng pelan. Cowok sinting, hah?
Perasaan asing tiba-tiba saja menyusup ke dalam dada Iago. Bukan benci, bukan juga suka. Entah apa namanya.
*