Sepasang mata itu terpejam, sesekali kelopaknya berkedut gelisah. Dalam tidurnya, Ara melihat sesosok kesatria berwajah tengkorak yang menunggang kuda putih menuju ke arahnya. Sampai di hadapan Ara, kesatria itu turun dari kudanya dan membungkuk. Namun, ketika kesatria itu kembali menegakkan badan, wajah tengkoraknya sudah berganti menjadi wajah Prince.
“Huaaah!!!” Ara terbangun dari tidurnya dengan detak jantung memburu. Dua hal buruk yang baru dilaluinya menyusup masuk bersamaan ke dalam mimpinya. “Gila!” Dia menendang guling sembarangan.
Vika yang tidur di kasur bawah terbangun karena tertimpa guling. “Lo kenapa sih?” tanyanya sembari mengucek mata.
“Gue mimpi jelek banget.”
“Kok bisa? Padahal kita barusan have fun tadi.”
Ara menggaruk kepalanya yang tidak gatal, hingga rambutnya jadi awut-awutan. Dia melihat jam bercorak Eyore yang tergantung di dinding kamarnya. Masih pukul lima pagi.
“Gue mau cerita, tapi gue bingung mau mulai dari mana,” ungkap Ara lirih.
“Kalau mau cerita kan tinggal cerita. Biasanya lo juga nyerocos gitu aja. Bagian mananya yang bikin lo bingung?”
“Gue juga nggak tahu, Vi. Arghhh.... Bisa gila beneran gue!”
“Gila ya gila aja sendiri sana. Nggak usah bikin orang lain bingung segala.” Vika yang sebal melihat tingkah absurd Ara melemparkan guling ke arahnya, tapi meleset dan malah mengenai Monic yang tidur di samping Ara.
Monic yang terkena guling mau tak mau ikut terbangun. Dia menarik lepas penutup mata berbentuk panda dari kepalanya, lalu mulai mengomel, “Kalian berdua ngeributin apa sih? Berisik banget.”
“Ini nih, dia jadi aneh sejak keluar dari tempat peramal tadi malam,” jawab Vika, sembari mengarahkan dagunya pada Ara.
Monic mengernyit karena teringat sesuatu. “Nah, lo belum cerita ke gue sama Vika apa yang dibilang peramal itu.”
Ara berguling dan membiarkan tubuhnya jatuh ke tempat tidur bawah. “Itu dia masalahnya, Mon. Gue bingung.”
Monic ikut-ikutan bergabung dengan Vika dan Ara. “Kalau lo bingung, yang ada gue sama Vika malah makin bingung. Cerita deh, kan lo udah janji.”
Desahan lirih lolos dari bibir Ara, merasa frustrasi karena Monic mengingatkannya pada ramalan itu—padahal tadi Ara sudah sempat melupakannya. Semua berjalan sebagaimana mestinya. Tiba di rumah Ara, mereka bertiga langsung berganti baju dan tidur. Sama sekali tidak ingat soal ramalan.
Sungguh, kepala Ara rasanya seperti dipenuhi oleh sarang laba-laba. Ruwet. Kalau dia bercerita pada Vika dan Monic, apa kedua sahabatnya itu akan percaya? Namun, jika tidak bercerita, mereka pasti akan terus mendesak. Lagi pula, Ara juga sudah berjanji untuk bercerita.
Duh!
“Oke, gue bakal cerita. Tapi kalian jangan ketawa ya,” ucap Ara ragu-ragu yang langsung disambut anggukan antusias oleh Vika dan Monic.
Ara mengambil napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. “Jadi gini....” Dia mulai bercerita, mengenai banyaknya cinta yang diterima, semesta yang menuntut keseimbangan, kematian, serta cara untuk membelokkan takdir.
Vika dan Monic mendengarkan dengan saksama. Awalnya mereka terlihat sangsi, akan tetapi melihat bagaimana ketakutan itu jelas tercetak di wajah Ara, mereka percaya bila sahabatnya tersebut sedang tidak melantur.
“Kalian berdua harus nolongin gue, plisss...” rengek Ara dengan mata berkaca-kaca. “Sumpah demi krabby patty, gue nggak mau mati!”
Vika membuang napas pendek. “Kita pasti bantuin lo, Ra. Iya kan, Mon?” Siku Vika menyenggol lengan Monic.
“Tapi, Vi, kalau menurut gue kita nggak bisa percaya gitu aja sama ramalan itu.” Monic rupanya tak sependapat. “Coba pikir deh, tiba-tiba Ara dipanggil, terus dikasih tahu macam-macam. Hal yang menurut gue nggak berdasar. Mustahil banget pokoknya.”
Ara hanya menunduk. Bingung sekaligus pasrah.
Monic memang tipe orang yang logis, selalu mengedepankan logika dan tidak percaya pada hal-hal di luar akal sehat. Sementara Vika sebaliknya, dia selalu tertarik dengan sesuatu di luar nalar seperti ramalan dan takhayul.
“Terus gue harus gimana dong?” tanya Ara dengan suara pelan.
“Ya lo harus cari cowok itu,” sahut Vika cepat.
“Nggak! Nggak bisa gitu, Vi. Kita harus pastikan dulu ramalan itu benar atau nggak,” tolak Monic.
“Itu namanya buang-buang waktu. Daripada kita cari tahu soal ramalan itu benar atau nggak, mendingan waktu yang ada dipakai buat cari siapa cowok itu.” Vika masih bersikeras.
Monic melotot pada Vika. “Terus kalau ternyata cuma bohongan gimana?”
“Setidaknya Ara nggak mati,” ketus Vika.
Kepala Ara berdenyut. Kedua sahabatnya itu kalau sudah berdebat bisa panjang dan lama. Ramalan itu bak sebuah teka-teki. Ingin rasanya diabaikan saja, tapi bagaimana kalau ramalan itu memang benar? Sebaliknya, ketika terlanjur memercayainya, jangan-jangan semua itu hanya omong kosong?
Walau saat ini Ara masih berdiri di garis antara percaya dan tidak, dia harus segera memutuskan sesuatu. “Oke, gue bakal cari cowok itu,” putus Ara seraya tersenyum getir, kemudian mendesah, “Kenapa ya hidup gue gini-gini amat? Nggak ngerti gue.”
Vika dan Monic terdiam, kemudian saling pandang sebelum akhirnya sama-sama memeluk Ara. Vika mengelus punggung Ara untuk memberi semangat. Monic mengembuskan napas dan mengangguk, menerima apa pun keputusan Ara.
“Kami nggak akan biarin lo mati, Ra,” bisik Monic. “Meski gue masih ngerasa kalau ramalan itu cuma prank, tapi gue bakalan bantu lo semampu gue.”
“Thanks ya, Vi, Mon....”
“Nggak ada yang ngerti apa maunya takdir, Ra. Bersyukur aja lo masih dikasih kesempatan buat mengubah takdir lo,” ujar Vika, berupaya membesarkan hati Ara.
Monic cepat-cepat mengangguk, kali ini dia sangat-sangat sependapat dengan perkataan Vika.
Kembali lagi pada kematian. Well, siapa yang tidak ngeri mendengar soal kematian?
Akan tetapi kini perasaan Ara sedikit terasa ringan, yang dia syukuri bukanlah kesempatan yang dimilikinya untuk mengubah takdir, melainkan memiliki sahabat seperti Vika dan Monic. Tanpa kedua sahabatnya itu, Ara yakin dirinya sudah kalang-kabut tak keruan.
“Duh, gue nggak sabar ketemu cowok itu,” ujar Vika gemas, lalu menggigit bantal.
Monic refleks mendorong Vika. “Dasar! Ara yang cari cowok, kenapa malah lo yang kepo sih?” cibirnya.
“Yeee, apaan sih?” Vika balas mendorong Monic. “Emangnya lo nggak kepo?”
“Hm, penasaran juga sih. Habisnya selama ini Ara selalu nolakin cowok-cowok, terus sekarang gantian cari cowok.”
“Jangan-jangan lo kena azab, Ra?” Vika melotot pada Ara.
Ara spontan menimpuk kepala Vika dengan bantal. “Dosa apa dah gue, sampai kena azab kayak gini amat?” balasnya tak terima.
“Catet nih, dosa lo tuh ya: keseringan nolak cowok!”
Ara menggeleng cepat, menolak mentah-mentah kalimat Vika.
“Jatuh cinta itu indah lho, Ra,” ucap Monic dengan pandangan menerawang. “Rasanya beda sama cinta lo buat orangtua atau kakak lo.”
Ara menunduk. Cinta?
Seperti apa rasanya jatuh cinta, Ara tidak pernah tahu. Ara akui, bila dirinya pernah beberapa kali tertarik pada cowok. Namun setiap kali mengingat bila hidupnya sudah penuh dengan cinta, Ara mengabaikan perasaan tertariknya itu. Bagi Ara, buat apa mencari cinta lagi jika hidupnya sudah dikelilingi oleh banyak cinta?
Benteng yang dibangun di hati Ara sudah terlalu tinggi, sehingga akan susah untuk merobohkannya. Meski begitu, kali ini Ara harus bisa merobohkannya. Ya, Ara harus bisa jatuh cinta jika dia tidak mau mati.
Tapi jatuh cinta pada cowok yang benar-benar kekurangan cinta...?
Ugh!
*