MUTIARA HATI
Di pinggiran desa yang berada di lereng gunung, terdapat seorang anak perempuan. Kehidupan anak perempuan ini selalu dihiasi dengan rasa percaya diri dan semangat. Ia memiliki sebuah keluarga kecil yang bahagia. Anak ini bernama Ninda. Di keluarganya, terdapat seorang ibu dan adik perempuannya. Setiap hari, ibunya harus bekerja menghidupi keluarganya seorang diri karena ayahnya telah tiada. Ninda merupakan seorang anak yang sangat menghargai dan menghormati ibunya. Baginya, sosok seorang ibu merupakan sebuah anugrah yang istimewa. Ia juga sangat menyayangi adiknya.
Suatu pagi, Ninda pergi ke ladang bersama dengan adiknya untuk memetik sayuran. “Sari cepatlah sedikit. Kita harus tiba tepat waktu agar kita tak ketinggalan pedagang”, kata Ninda kepada Sari adiknya. “Iya kakak. Sabarlah sedikit”, jawab Sari sambil menyincing kain gamisnya yang menutupi mata kakinya. “Kita tidak bisa bersantai, Sari. Cepatlah!”, ucap Ninda dengan nada yang sudah meninggi sekarang. Ninda memang seorang pekrja keras yang tidak bisa melewatkan waktunya dengan sia – sia.
Sesampainya di ladang, kedua kakak beradik itu pun langsung memanen sayuran yang berada di hadapan mereka. Mereka meletakkan sayuran yang telah mereka petik kedalam keranjang yang terbuat dari bambu yang mereka gendong di pundak mereka. Mereka tidak menghiraukan lagi panas terik ataupun debu yang dapat merusak kecantikan mereka sebagai seorang perempuan. Gamis yang mereka pakai pun kini telah penuh dengan duri – duri tanaman liar yang menancap. Itu bukanlah hal yang asing lagi bagi keduanya.
Setelah dirasa cukup, mereka kemudian langsung bergegas menuju pasar untuk menyetorkan sayuran mereka ke para pedagang di pasar. Mereka pergi dengan menaiki bus daerah yang lewat setiap hari. Walaupun, bus yang mereka tumpangi sudah berjejal dengan penumpang, mereka tetap semangat. Dengan menggendong sayuran, mereka pergi menyusuri jalanan yang di kelilingi oleh area perkebunan. Rambut mereka melambai – lambai diterpa angin yang berhembus kencang di dalam bus. Namun, mereka sama sekali tidak memedulikannya.
Bus yang mereka tumpangi sudah merapat ke pinggir jalanan. Ini berarti, mereka sudah sampai di pasar. Mereka bersiap – siap untuk menuruni bus dan menerobos penumpang lain yang sangat berjejal. Setelah bersusah payah akhirnya mereka berhasil turun dari bus. Ninda dan Sari langsung berlari mencari pedagang langganan mereka. “Pak.. ini sayurannya. Silahkan dihitung untuk harganya”, kata Ninda kepada pedagang dengan nafasnya yang masih tersengal – sengal usai berlari. Pedagang itu kemudian melihat sayuran yang mereka bawa lalu mengambil sebuah kalkulator lusuh di kantongnya. “Ini semua Rp50.000,00”, kata pedagang itu. “Baiklah pak”, jawab Ninda yang sebenarnya merasa bahwa itu terlalu murah untuk hasil kerja kerasnya. Mereka menyerahkan keranjang mereka. Lalu, mereka kembali pulang.
Mereka berjalan kaki menyusuri perkebunan. Ya, mereka kini tidak naik bus untuk pulang karena merasa uangnya tidak akan cukup untuk membeli kebutuhan makan hari ini jika mereka naik bus. “Cepatlah Sari. Setelah ini kita harus mengantar pesanan lagi”, perintah Ninda kepada adiknya. Adiknya terhenti dari langkahnya. Ia memandangi kakaknya dengan tatapan tajam. Ninda pun terhenti setelah menyadari ini. Ia membalikkan tubuhnya dan melihat Sari. Ia begitu kesal dengan sikap adiknya yang tidak mengindahkan perintahnya. “Sari kenapa kamu terdiam? Untuk apa kamu berada disitu? Cepatlah kita tak punya waktu”, ucap Ninda kesal. “Kakak, pernahkah kakak bertanya kepadaku apa yang aku ingin? Pernahkah kakak memperhatikan diri kakak sendiri?”, jawab Sari dengan mata sayu. “Untuk apa pertanyaanmu itu? Singkirkan dari kepalamu. Sekarang kita sudah ditunggu ibu”, sambung Ninda. “Jawablah dulu kakak. Bahkan kakak tidak merasakan jika bahu kakak berdarah tergores keranjang sayuran? Mengapa kakak terus melawan waktu yang berjalan kak? Kakak tidak akan bisa melakukannya. Dan aku hanya ingin kita seperti anak yang lain kak”, kata Sari sambil berlinang air mata. “Aku tidak peduli dengan luka dibahuku. Dan perlu kamu ketahui Sari, kita tidak bisa santai seperti orang lain karena kita terlahir dari keluarga yang kurang mampu. Ayah kita pun kini telah tiada. Siapa yang akan membantu ibu? Tegakah dirimu membiarkan ibu berjuang sendirian? Jika aku perlu untuk melawan waktu, itu akan aku lakukan untuk ibu”, pungkas Ninda sebelum akhirnya Ninda meninggalkan Sari dibelakangnya. Sari berada dibelakang Ninda sambil menyeka air matanya. Dalam hati ia berkata, “Kakak, aku tahu. Aku hanya tidak ingin kakak terus terluka seperti ini”.
Sore telah menjemput. Langit berubah berselimutkan gelap. Ninda sedang berada dirumah sambil mengupas kentang untuk makan malam. Sementara adiknya sedang asyik menonton televisi. Ninda sebenarnya sudah berulang kali menyuruh Sari untuk membantunya. Namun, Sari tetap asyik menonton acara TV. Ninda sebenarnya merupakan seorang yang cantik berambut lurus. Namun, ia sama sekali tidak punya waktu untuk merawatnya. Saat sedang mengupas kentang, tanpa sengaja Ninda mendengar seorang penyanyi di televisi. Ia begitu tersentuh dengan suara penyanyi itu. Karena penasaran, ia memalingkan wajahnya ke televisi. Ninda begitu terkejut dengan penyanyi itu. Ia terpana melihatnya. Penyanyi itu begitu tampan baginya. Tanpa ia sadari, jarinya terpotong oleh pisaunya. “Aduh..’, teriak Ninda kesakitan. Ibu dan adiknya pun langsung mendekatinya. “Ada apa Ninda?”, tanya ibu. “Ah.. tidak bu. Hanya terkena pisau”, jawab Ninda tenang. “Bagaimana sih kamu. Kamu melihat apa? Sampai tidak fokus begitu.”, tanya ibu sambil mencoba meraih jari Ninda. Namun Ninda menolaknya. “Tidak melihat apa – apa bu”, pungkas Ninda. Kemudian ia melanjutkan pekerjaannnya.
Setelah makan malam, Ninda dan keluarganya segera tidur agar tidak kesiangan besok. Dalam mimpinya, Ninda bermimpi ia sedang berhadapan dengan penyanyi itu. Hatinya bergetar. Kemudian Ninda terbangun dari mimpinya. “Ah.. apa mimpi itu? Mana mungkin aku bisa bertemu dengannya?”, tanya Ninda kepada dirinya sendiri. Ibunya menjadi terbangun karena mendengar ucapan Ninda yang tampaknya sangat keras. “Ada apa Ninda? Siapa orang yang kamu maksud?”, tanya ibu dengan keheranan. Ninda menjadi malu karena ibu mendengar ucapannya. Pipinya memerah dengan sangat jelas karena kulitnya putih. “Ah.. tidak bu. Aku hanya mengigau”, ucap Ninda. “Tidak mungkin Ninda. Ibu tahu persis bagaimana sifatmu. Pasti ada kaitannya seseorang itu denganmu. Karena ia terus didesak oleh ibunya, akhirnya Ninda mengungkapkan perasaannya. Ia sudah jatuh hati kepada penyanyi itu. “Tidak ada yang tidak mungkin, nak. Ibu akan selalu berdoa untukmu”, kat ibu sampai akhirnya ia kembali tidur. Ninda masih terbaring memikirkan hal itu. Apakah mungkin? Sementara tampilannya kusut seperti itu?
Suatu hari, saat sedang menyapu halaman ada seseorang yang menghampiri Ninda. “Ninda ada lowongan pekerjaan bagus”, katanya. Orang itu rupanya teman dekat Ninda. Beberapa hari yang lalu Ninda menanyakan lowongan pekerjaan padanya. “Benarkah? Dimana? Sebagai apa?”, jawab Ninda dengan semangat. “Benar. Pekerjaannya sebagai tukang bersih – bersih perusahaan. Namun, lowongan ini berada di Jakarta Ninda”, ucap temannya dengan ragu. “Di Jakarta? Itu berarti aku harus ke ibu kota. Baiklah akan aku bicarakan dengan ibu. Terima kasih Tata”, pungkas Ninda. Kemudian Tata pergi. Ninda senang dengan kabar itu. Tapi, disisi lain ia bingung jika harus jauh dari keluarganya.
Suatu malam setelah Sari tidur, Ninda membicarakan niatnya untuk bekerja kepada ibunya. Ia berusaha meyakinan ibunya dengan sekuat tenaga. Awalnya ibunya tidak setuju dengan hal ini. Namun, setelah melihat tekad Ninda begitu kuat, ibu Ninda menyetujuinya.
Setelah mempersiapkan segala keperluannya, Ninda pergi ke Jakarta meninggalkan keluarganya yang sangat ia sayang. Tapi, ia harus berjuang dengan waktu.
Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya Ninda sampai di tempat tujuan. Secepat mungkin, ia mencari alamat yang diberikan temannya. Setelah berjalan kesana – kemari akhirnya Ninda menemukannya. Ia segera menemui pihak perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja. Ia pun diterima bekerja sebagai tukang bersih – bersih. Dan ia bisa mulai bekerja besok pagi. Ninda sangat bahagia.
Burung berkicau. Mentari telah menyapa. Ninda bersiap berangkat bekerja dihari pertamanya. Ia berjalan kaki menuju perusahaan. Ia begitu asing dikota ini. Namun, ia tetap optimis. Sesampainya di perusahaan ia langsung membersihkan perusahaan. Ia bekerja dengan sangat rapi dan semangat. Ditengah keseriusannya bekerja, tiba – tiba ia di tabrak oleh seseorang. Ninda begitu terkejut karena ia terjatuh ke lantai. Ia sedikit kesal karenanya. Lalu, seseorang yang menabraknya itu menhulurkan tangannya untuk menolong Ninda dan mengucapkan kata maaf. Ninda langsung meraih tangan itu tanpa melihat wajah orang itu. Saat sudah berdiri, betapa terkejutnya Ninda. Dihadapannya itu berdiri seorang penyanyi yang ia idolakan. Ninda menjadi gugup. Bagaimana bisa ia bertemu dengannya. Tapi, ninda percaya bahwa semua ini telah diatur Tuhan.
Di lain hari, Ninda bekerja sampai sore. Ia begitu merasa lelah karena telah bekerja seharian. Ia berniat untuk makan dahulu di dapur perusahaan sebelum akhirnya ia pulang ke kost-nya nanti. Namun, saat ia membuka makanannya, tanpa sengaja makanannya terjatuh ke lantai. Ninda sedih. Makanan itu ia beli dengan uang terakhirnya tadi siang. Ia sangat lapar. Ninda kemudian mencoba mengumpulkan kembali makanannnya yang berserakan di lantai. Saat tangannya hendak mengais makanan itu, tiba – tiba saja ada seseorang yang menghentikan tangannya. Itu adalah penyanyi itu. “Kenapa kamu ingin mengambil makanan kotor? Ini kubawakan makanan untukmu”, ucap penyanyi itu. “Kenalkan namaku Kevin”, sambungnya. Ninda bingung mengapa Kevin bisa mengetahui dirinya. “Aku tahu. Tapi kenapa kamu tahu aku disini?”, jawab Ninda hati – hati. “Karena kamu istimewa”, jawab Kevin mengejutkan Ninda. Kemudian, Ninda memakan kue yang dibawakan Kevin. “Apakah kamu tahu bahwa aku telah memimpikanmu seminggu yang lalu, dan kemarin aku bertemu denganmu”, kata Kevin membuat Ninda tersedak. Lalu, Kevin memberikan segelas air untuk Ninda. “Memimpikan aku?”, tanya Ninda keheranan. ‘Benar. Aku pun tak tahu mengapa itu bisa terjadi. Kamu begitu mirip dengan nenekku. Mungkin ini sudah ditentukan Tuhan. Dan, aku menyukaimu”, kata Kevin dengan serius. Ninda terperanga mendengar pernyataan Kevin. Apa ini? Ini begitu singkat. Memang benar bahwa ini merupakan mimpi Ninda selama ini, namun tidak sesingkat ini. “Kamu bergurau. Aku hanya perempuan kusut”, jawab Ninda dengan menundukkan kepalanya. Kevin mengangkat kepala Ninda. “Lihat, aku sungguh – sungguh”, pungkas Kevin. Ninda senang tapi ia juga masih terkejut. Ninda teringat dengan perkataan ibunya dan mimpinya sebelum ia ke Jakarta. Masih terdengar jelas ditelinga Ninda. Perkataan ibunya memang benar. Ninda menjadi menangis dengan hal itu. “Ibu.. Memang benar katamu. Sekarang aku menemukannya , bu. Dahulu, aku sempat tidak mempercayainya. Namun, kau terus mendorongku. Dalam hidupku, seluruh doamu dan pengorbananmu merupakan mutiara di hatiku. Yang terus membuat diriku bersemangat melawan waktu, bersamamu”.