Dua jam sebelum pagi menjelang, kami menunggu dengan harap-harap cemas. Bertanya-tanya bagaimana ingatan orang pertama yang membuka pintu kafe pagi hari, apakah ingatan semua orang akan kembali seperti ketika keajaiban kucing hitam dan kotak pos merah belum menyentuh hipokampus dalam otak kami? Atau apakah kami harus kembali menari-nari dalam bayang semu, ingatan sementara, permainan yang sengaja diciptakan si kucing hitam?
Rasanya menunggu terlalu lama. Aku mulai gelisah. Raga dan jiwa ini lelah. Mungkin hal tersebut yang menyebabkan kepalaku bersandar pada bahu Moon yang duduk di sisiku. Tanganku masuk ke sela-sela lengannya. Ada ketakutan Moon akan pergi, kalau bisa menggenggam tangannya erat pasti sudah kulakukan. Namun, kedua tangan Moon sibuk memainkan gawai. Ia memeriksa satu persatu peristiwa dunia yang terjadi di media sosial akhir-akhir ini. Mencocokkan dengan ingatan terakhirnya sebelum petir menyambar kotak pos merah.
“Aku rasa dunia tidak berubah, Salli, begitupun ingatan kita. Tinggal bagaimana orang-orang dalam hidup kita mengingat segala peristiwa terjadi yang berkaitan dengan hidup kita dan juga Kafe Gerimis ini.”
Aku mengangguk setuju, terlalu lelah untuk berbicara. Apa pun itu, sebenarnya aku sudah tak peduli. Setelah tujuanku tercapai, yaitu mengembalikan kaki Moon utuh seperti sedia kala … hal lainnya aku tak peduli. Termasuk apa yang terjadi pada diriku sendiri nantinya, aku sama sekali tidak khawatir.
“Hmm, aku tak meminta apa pun lagi Moon, asalkan tetap seperti ini bersamamu,” ucapku lirih, lebih mirip gumaman. Jujur saat mengatakan itu aku mengantuk sekali. Baru ingat, ternyata hari ini aku lelah sekali, melakukan perjalanan jauh dengan pesawat, lantas setiba di Kafe Gerimis justru melakukan petualangan seru bersama Moon.
Mataku hampir terpejam. Hembusan angin dingin dari jendela yang terbuka membuat kantuk bertambah berat. Aku sudah tidak peduli bagaimana rupaku, apa aku wangi atau tidak, pokoknya aku hanya ingin menempel pada Moon.
Entah beberapa detik, diriku masuk dalam lelap yang luar biasa, sampai sebuah sentuhan yang kurasakan menyentuh lembut keningku. Sentuhan itu lebih seperti sentuhan bibir lembut yang mengecupku. Akh, tiba-tiba aku terperanjat dengan utak-atik pikiranku barusan. Tepat saat membuka mata, aku semakin jelas melihatnya, bibir tebal Moon yang menggantung persis di antara kedua mataku. Benarkah ini bukan mimpi? Bukan halusinasi? teriakku dalam hati. Selanjutnya hatiku memang bersorak girang, karena bau tubuh Moon begitu nyata ketika ia memeluk erat. Tubuhku kini, meringkuk kecil dalam pelukannya. Seketika rasa kantuk lenyap, hatiku menjejali otak berpikirku untuk mengatur siasat jitu. Siasat memastikan hubungan. Wajah Moon begitu dekat, tatap wolf-nya berganti tatapan penuh kerinduan. Aku boleh berbangga, sebab pasti semua tatapan penuh cinta Moon itu ditujukan kepadaku.
Ayo, Salli, bertindaklah! Menghadapi pria seperti Moon, kau tidak bisa hanya diam, bisik nakal isi kepalaku memberontak. Aku mulai berani mengambil sikap. Tanganku mencegah wajahnya yang semula hendak mundur menjauhiku. Pupil mata Moon membesar, kuperhatikan dalam jarak teramat dekat, setiap lekuk wajah Moon. Menempelkan hidungku dan hidungnya, kini kami tak berjarak. Selanjutnya, kubiarkan Moon mengambil tindakan. Sudah kuberikan kesempatan, bukan? Aku sudah terlebih dulu berinisiatif.
“Hmm, Salli, bolehkah …?” tanya Moon meminta izin.
Deg … deg … debar jantungku semakin bertalu-talu. Ini pertama kalinya … begitu dekat dengan seorang pria. Berbeda sekali dengan kedekatanku dengan Sam maupun Sun. Kali ini ada hasrat yang membara. Aku mengangguk menyetujui. Aku tahu yang Moon maksud.
Moon menempelkan bibirnya di keningku, sekali lagi, kemudian beri satu kecupan di ujung hidungku yang tidak begitu mancung. Kedua mataku terbelalak.
“Sudah itu saja, Moon??” tanyaku memprotes, tapi kemudian Moon membungkam mulutku dengan satu ciuman yang buat kulitku meremang, darahku berdesir, dan tulang tubuhku seakan lunglai seketika. Yeah, ciuman pertama kami.
Aku masih terpana, saat Moon menjauhkan bibirnya, ia tersipu sedangkan aku … seolah tengah meluncur menaiki roket ke bulan.
“Jadi sekarang―” Aku belum sempat selesaikan kalimat, Moon langsung berkata tegas.
“Yeah, kau milikku, Salli!”
Dentuman kembang api seakan meledak di hatiku yang berbunga-bunga.
“Hmm, Salli. Aku takut terlalu bahagia,” ucapnya berbisik.
“Kita harus bahagia, Moon,” bisikku dengan wajah merah. Entah grogi, entah malu yang kurasakan, mengatasi debaran jantung yang menggila ini, aku justru membenamkan wajahku yang terasa panas ke dalam dekapan dada Moon yang bidang.
“Jika ingatan orang-orang kembali seperti semula, bagaimana dengan Sun, Salli?”
Pertanyaan Moon membuat ingatanku langsung melompat pada kesadaran setahun lalu. Itu artinya, Sun yang sekarang adalah Sun yang menyukaiku, bukannya kakakku lagi.
“Akh, kau membuatku berpikir, Moon. Padahal tadinya aku tak memikirkan hal itu,” ujarku lemas.
“Mau tidak mau, itu terlintas.” Moon mulai mengendurkan pelukannya, menarik napas berat seakan masih ada beban berat di pundaknya. Masalah belum selesai hanya dengan kami mengembalikan takdir yang sebenarnya. Antara Moon dan Sun yang sama-sama menyukaiku belum terpecahkan. Seharusnya sudah, tetapi Moon enggan menyakiti Sun.
“Sebaiknya aku pergi, Salli!” ucap Moon, membuat sekujur tubuhku meremang.
“Tidak!” kataku, “tarik ucapanmu!” perintahku kesal. Darahku mendidih seketika.
Moon bermaksud menarik tangannya dari memelukku, tentu saja kucegah, tidak mau tahu, tanganku melingkar kencang di pinggang Moon.
“Aku tak mau berpisah lagi, Moon!” kataku gelisah.
“Bukan maksudku berpisah Salli, maksudku … akan terasa canggung sekali bila kita berpacaran di depan Sun.”
“Lalu?” Nada khawatir tak dapat kuabaikan.
“Untuk sementara aku akan kembali ke Jepang,” ujarnya kemudian.
“Tidak! Apa maksudmu, Moon? Aku pulang malah kau pergi, tidak!!!” kataku tegas dan marah.
“Salli, dengarkan aku dulu, hmmph―”
Belum sempat Moon menyelesaikan kalimatnya, kedua pipi Moon kutangkap dengan kedua telapak tangan. Bibirnya mengerucut buatku gemas. Ingin sekali mengecupnya tapi kutahan-tahan. Ada yang lebih penting, Salli, bekerja samalah! Otak udangku seolah mengingatkan hatiku kembali untuk tidak mengikuti hasrat cintaku yang meletup hebat.
“Kali ini kau yang mendengarkan aku, Moon! Kita berpacaran dan Sun harus menerima itu, kau dan aku harus berani menyatakan itu di hadapan Sun!!!
Entah keberanian dari mana, aku berkata keras pada Moon, pada sosok pria yang selama ini membuatku segan, yang selama ini mendengar suara dehamannya saja membuatku tegang, tetapi kini bahkan bibirnya yang manyun dan lucu … hanya sejengkal saja dari mulutku yang sibuk mengomel. Oh, apakah keadaan kini berbalik.
Moon sedikit terpana dengan keberanianku. Kemudian saat aku melepas kedua tanganku dari pipinya, ia mengulum senyum.
“Apa seberat itu, Salli?” Pertanyaannya membuatku gusar.
“Hah? Apa?” tanyaku tak mengerti.
“Menutupi rasa sukamu yang begitu besar terhadapku, selama ini.” Moon tertawa senang.
Menyadari Moon tengah meledek, aku tak mau kalah, “ Bagaimana dengan dirimu? Bukankah berat selama ini menanggung gengsi, padahal kau sangat cemburu pada Sun.”
Moon menggigit bibir, “Ya, memang berat,” ujarnya. Pandangan Moon ke arah jendela. Sudah terbit matahari, detik-detik kedatangan Sun dan memastikan perubahan apa yang terjadi semakin mendekat.
“Salli, bukan soal Sun saja. Aku pikir, sudah sepantasnya Kafe Gerimis ini kembali pada keturunan Miya.”
“Kakek Gerimis yang membuat bisnis kopi ini maju, Moon. Bukan kakek buyutku, apalagi nenekku yang melarikan diri setelah menitipkan ibuku di panti asuhan.”
“Ya, hmm … tapi tetap saja ….”
“Kalau kau merasa harus mengembalikan pada pewaris sahnya, okey … baiklah Moon, artinya kau harus menikahiku.”
Moon terkejut dengan keberanian perkataanku barusan. Sedangkan aku terkekeh santai.
“Kau lupa, Moon? Aku adalah gen z, tentunya cara berpikirku berani, kritis dan praktis.”
Moon seperti takjub mendengar penjelasanku. Yeah, memang harus begitu, untuk menghadapi Moon yang kolot dan terlalu banyak berpikir, harus diimbangi dengan sifat sat-set dan tak tahu malu sepertiku.
Aku merasa lega, setidaknya untuk saat ini. Usiaku bertambah dewasa, dan aku benar-benar jatuh cinta. Seusai drama romansa baik yang terjadi masa lalu atau masa kini, kukira segala masalah berakhir baik. Pikiranku mengembara, melayang ke masa lalu. Tanda tanya terbesarku adalah tentang Miya, ke mana menghilangnya Miya dan kenapa ibu tidak pernah menceritakan siapa Miya, benarkah ibu juga tak tahu menahu mengenai asal-usulnya?
Akh, ya, aku bukannya melupakan penderitaan ibu selama ini. Namun, kupikir inilah yang terbaik. Biarkanlah mulai detik ini dan untuk waktu yang akan datang, ibu berbahagia meskipun tanpa ayah kami. Biarkan saja ayah akan melalui karma kehidupan menjadi baik atau jahat itu pilihannya. Semesta telah mengatur segalanya. Tanpa perpisahan mereka, mungkin aku tak pernah bertemu dan mengenal Moon.
Tersesat dalam lamun yang berkepanjangan, aku kembali dikejutkan oleh suara berderit. Seketika kami―aku dan Moon―duduk dengan tegak. Otot-otot kami menegang. Bunyi langkah mendekat, diiringi suara ketukan pada pangkal sepatu. Aku dan Moon saling berpandangan. Inilah waktunya.
Kriieeet ….
Pintu kafe terbuka, sosok wajah menyembul. Sepasang matanya yang bulat bertambah bulat ketika melihat kami duduk tegang dalam satu sofa―aku baru menyadari aku dan Moon duduk berhimpitan.
“Apa yang kalian lakukan semalaman?” tanya Sun sambil melotot.
Aku dan Moon tidak menjawab. Sedang berpikir, kalimat apa yang pertama kali harus aku ucapkan. Mendadak sebuah ide gile muncul.
“Moon, ini tahun berapa?” tanyaku asal.
“2024, kenapa?” Sun bingung.
“Aku siapa?” tanyaku lagi.
“Tentu saja Salli, juniorku. Kenapa sih?!” Sun mulai kesal. Moon dan aku berpandangan, kami tersenyum lega.
“Lalu, dia siapa?” tanyaku sambil menunjuk Moon.
“Moon, dia kakak sekaligus bosku.”
“Salah!” teriakku tiba-tiba.
“Memangnya apa?” Sun sungguh tak mengerti.
“Moon adalah pacarku!” seruku senang.
“Salli!!!” Moon terkejut dengan pengumumanku yang tiba-tiba. Ia berusaha menutup mulutku dengan kedua tangannya. Aku tergelak dan coba menghindar, tapi justru jatuh terjengkang ke bawah sofa. Moon sigap menangkap bagian bawah kepalaku. Untuk sepersekian detik, adegan drama romansa kembali berlangsung. Sun yang tersenyum secerah mentari pagi, hanya menggaruk kepala, menyerah dengan kelakuan kami. Sun berdeham untuk menyadarkan kami yang terlarut dalam rangkaian adegan yang buat kami tersipu.
“Kalian lupa ada aku di sini,” ujarnya meledek.
“Tentu saja kami tak lupa, Sun!” pekik Moon tak santai. Menarik lenganku dan menggandeng tanganku mendekati Sun.
“Aku sudah lama menyukai Salli,” ucap Moon pada Sun.
“Ya, aku tahu … karena itu aku merestui kalian,” Sun terkekeh.
“Sungguh, Sun??” Aku dan Moon berteriak girang.
Kami merangkul Sun bersamaan dengan hadirnya sinar mentari pagi yang menembus tirai jendela.
TAMAT