Cemburu. Itu sinar yang kutangkap dari sorot mata senior ketika melihat aku dan bos berbincang di bawah sinar bulan. Jika aku boleh percaya diri kecemburuan itu karena senior menyimpan rasa terhadapku, tetapi aku mulai meragukan itu.
Jika instingku benar maka tatapan tajam itu lebih terasa seperti aku mengambil perhatian Moon yang selama ini hanya hangat bersamanya.
Aku merasa bersalah. Terlebih aku tahu setelahnya, bos yang menyaksikan senior tumbuh dewasa mengatakan bahwa sebenarnya senior banyak menyimpan coretan kepedihan tentang keluarga. Meskipun sebentar, bos memiliki kenangan tentang ayah dan ibu, sedangkan senior sama sekali tidak mengingat orang tuanya. Kenangan masa kecilnya hanya berisi mengenai cara membuat lelaki yang ia panggil ‘Moon’ itu tertawa. Itu sudah seperti tugas kehidupannya selain bernapas. Ia hanya memiliki ‘Moon’ setelah kakek bos pergi dari dunia ini saat mereka beranjak remaja. Bagi Sun ‘Moon’ adalah satu-satunya keluarga.
Dear seseorang di tahun 2001
Aku baru saja mempelajari bahwa wajah tersenyum tidak selalu baik-baik saja. Kita tidak pernah tahu jika ada luka tersembunyi di balik tawa ceria. Inner child yang terluka akan mudah terlihat pada sebagian orang. Ketika ia menampakan kemurungan, kekejaman atau pun wajah yang datar dan dingin. Namun, pada beberapa orang dengan wajah tersenyum cukup pintar menyembunyikan bagian itu rapat-rapat, terpendam jauh dalam relung hati yang berisi luka.
Salli, 2023
Senior membuang muka, membuatku salah tingkah. Berdiri canggung, menatapnya bingung. Kening berkeringat, juga poni basah yang mejuntai miliknya masih membuatku berdebar. Sorot mata senior tak seperti biasa atau rasaku yang berubah simpatik kepadanya. Setelah aku mendengar segala kisah masa lalu. Kini ia terlihat seperti seorang bocah pencemburu dan bukan pria yang sedang mendekati wanita. Tahukah ia satu senyum saja darinya cukup merontokkan bunga yang mulai tumbuh di hatiku akibat pria bulan. Tetapi ia memilih untuk tidak tersenyum.
Hmm ….
Aku tidak ingin berkomentar tentang bagaimana hidup senior selama ini. Menyembunyikan jiwa yang terluka di balik wajah tertawa, sebaliknya bos yang berwajah dingin namun menyimpan kehangatan cinta.
Ada banyak yang tidak kumengerti. Setiap orang memainkan perannya dengan baik. Mulutku membisu. Dedaunan kering menari bersama hembusan angin. Kaca jendela memantulkan bayangan, seseorang diam-diam mengamati. Aku menoleh, bermaksud menyapa. Tanganku menggantung dengan cepat, lunglai, tidak mendapat balasan. Senior membalik badan, enggan beradu pandang, mengabaikan senyum yang sengaja kupasang semanis permen gula.
Sorot mata senior kini berbeda, sungguh aku tak tahu ke arah mana rasa cemburu itu ditujukan. Perasaan sungguh serupa misteri.
Di saat yang sama hatiku tergelitik oleh pria bulan. Lebih hebat dari berdebar. Sesuatu yang lebih hangat dan nyaman.
Sebuah rasa yang masih berteka-teki, biasanya aku dengan tegas menolak cinta yang dihasilkan oleh kebaikan senior. Tetapi kini, aku terjebak, hampir terikat oleh pesona pria bulan. Dia yang sama sekali tidak berbuat manis untukku. Tidak menyodorkan payung, tidak menyumpalkan roti dan susu pada celemekku. Dia juga tidak mengusap lembut pucuk kepalaku. Pria bulan hanya menyediakan punggungnya untukku menangis. Baru semalam, ia berbincang panjang lebar dengan tatap mata meneduhkan. Baru sekali, tetapi mengapa meruntuhkan semua usaha senior selama ini, pria bulan berhasil mencairkan hati yang membeku. Ingatanku tentang bos sebagai monster lenyap seketika.
***
Ujung sepatuku menabrak trotoar jalanan, akibat reaksi spontan atas keterkejutanku pada sebuah tepukan pada bahu kiriku. Seorang pemuda menyeringai, senyum mengejek yang amat kukenali hadir kembali di hadapanku. Aku tidak memberikan respon apa pun kepadanya. Hanya ingin melengos dan pergi secepatmya.
“Eh, Salli … Salli, tunggu!”
Sebal, pemuda itu menarik tas ranselku hingga aku tertarik ke belakang. Mendengus kesal, ingin aku memakinya. Ia justru tertawa terbahak.
“Lama tidak bertemu, Salli!” serunya setengah berteriak. Aku menutup kedua telingaku, ia memang seperti itu, aku hampir saja lupa, saat SMA dulu ia menyatakan cinta dengan berteriak di tengah lapangan bola yang membuatku amat malu. Ya, pemuda itu mantan kekasih red flag itu, aku sendiri heran megapa dulu aku jadian dengannya.
“Salli, bagaimana kabarmu? Tambah cantik saja,” ujarnya, kali ini membuat kupingku memerah. Akh, apakah aku masih saja tersipu dengan pujiannya setelah perilaku toxic dan temperemental yang ia tunjukkan dulu. Gila, benar-benar gila bila aku tertipu sekali lagi.
Wajah kocak Sam terlihat sama dengan saat awal kami dekat, ada sedikit rindu kebersamaan kami sebelum statusnya berubah menjadi kekasih. Seandainya saja dulu, aku tidak menerima Sam sebagai pacar hanya karena sorakan teman-teman yang menggoda, tentunya saat ini Sam masih merupakan salah satu teman yang dapat bertukar pikiran satu sama lain. Akh, aku mulai menyalahkan diri sendiri, suatu kebiasaan yang begitu bodoh. Aku melunakkan hatiku dan mulai balas menyapanya.
“Hai, Sammy, apa kabarmu?” Kuulurkan tangan mencoba berbaikan bukan saja dengan manusianya, tetapi juga kenangan terakhir kami bertemu yang penuh drama. Hura-hara di kafe ketika itu. Hingga ratusan panggilan telepon dari Sam yang kuabaikan.
“Ha-ha-ha, sekarang aku benar-benar telah melupakanmu, Salli. Kau tak perlu khawatir, aku tak akan mengganggumu hidupmu lagi, bilang saja pada pacarmu yang tampan itu, untuk tidak memukulku sekali lagi.” Sam terkekeh mengatakan itu semua, tetapi aku justru mengernyitkan kening.
Apa lagi yang ia bicarakan ini? Apakah ini tentang senior?
“Bicara apa kau, Sam?” tanyaku spontan sambil meninju pelan lengannya. Di luar dugaan Sam berseru girang.
“Wauw, Salli apa kita berbaikan?” tanyanya antusias.
“Aku hanya akan baik jika kau tak macam-macam, Sam!” kataku memperingatkan.
“Tentu saja, pacarmu telah mengingatkanku, aah, aku saja terpesona padanya saat ia hendak meninju pipiku.” Sungguh aneh senyum Sam begitu sumringah seakan yang ia ceritakan bukanlah adegan pemukulan.
“Siapa yang memukulmu Sam? Apakah senior dari kafe tempat aku bekerja?”
“Seniormu itu? Oh, tidak. Kami bertemu setelah keramaian yang kubuat di kafe, ya, hmm, sehari setelah itu.” ekspresi wajah Sam seperti sedang mengingat-ingat.
“Bukan? Lalu siapa? bukankah kau hanya bertemu dengan seniorku?”
“Tidak Salli, seniormu itu tak membuatku gentar untuk menjauhimu, ada seorang lagi yang akhirnya membuatku menyerah mengejarmu kembali.”
“Aku masih tak mengerti Sam.” kataku mulai kesal. Kenapa sih Sam tidak langsung mengatakan siapa dia.
“Dia mengaku pacarmu Salli, apakah bukan?” tatapan Sam disambut aku yang hanya mengedikkan bahu.
“Sehari setelah keributan, aku datang kembali, hanya ada satu pria duduk di meja bar tengah mencatat sesuatu di depan kopi, dia menoleh dan tersenyum menyambut kedatanganku seolah ia telah lama menungguku. Mulanya kami berbincang basa-basi mengenai dirimu, ia mengaku sebagai kekasihmu, itu membuatku naik pitam. Aku katakan padanya tak ingin berpisah darimu, tetapi dengan lihai pria itu mencengkeram kerah kemejaku dan menyuruhku menjauh dari hidupmu, katanya … aku hanya mengingatkanmu pada perbuatan ayahmu yang meninggalkan ibumu.” Sam menarik napas, dan aku mulai dapat menerka siapa gerangan pria tampan yang Sam maksud.
“Pria itu masih berkata penuh kelembutan ketika aku mulai menceracau tak tentu arah, lalu ia meninju pipiku, tanpa mengeluarkan tenaganya sama sekali. Tetapi itu cukup membuatku tersungkur pada meja di sampingku. Aku tahu tenaganya amat kuat. Aku pun tahu sia-sia saja aku berdebat dengan pria itu, ia mengatakan akan sekali lagi memukulku jika aku berani mendekat sepuluh meter saja dari tempat kau berada, Salli.”
“Akh, karena itu akhirnya kau berhenti menghubungi dan menghilang dari pandangan mataku Sam?” tanyaku memastikan.
“Hmm, iya.”
“Apakah orang itu tinggi dan gagah Sam?” tanyaku menduga.
“Dia terlihat tampan sekali Salli, aku tidak bohong, aku yang lelaki saja rasanya enggan beranjak dari menatap wajahnya.” Mata Sam berbinar menjelaskan semuanya.
“Aku tahu, dia pasti bos di tempat aku bekerja.”
“Apakah ia bukan pacarmu, Salli? Ah, ya aku juga merasa janggal mengapa seorang sepertinya mau menjadi pacarmu ya, heh?”
“Apa maksudmu? Orang sepertiku memang kenapa!?” Aku jadi murka mendengar Sam menyimpulkan pendapatnya seperti itu.
“Ha-ha-ha, lantas … memang ia pacarmu?” tanya Sam menyelidik.
“Tentu saja, pria tampan itu pasti Moon, kekasihku saat ini!” seruku keras. Aku sendiri heran dengan kalimatku barusan, mengapa aku dengan bangganya mengaku kekasih Moon, padahal kutahu pasti alasan Moon pada Sam mengatakan bahwa ia pacarku tentunya hanya agar Sam menjauhi hidupku. Namun, aku sungguh tak menduga bos mau repot-repot melakukan itu untukku. Desiran hati bergerak perlahan, ketika sorot mata bos yang judes terbayang di pelupuk mata.
Sam mencibir lalu tertawa, sungguh aku melihat Sam kini sungguh berbeda, sepertinya kami kembali saling melihat sebagai teman, tidak ada lagi dendam dan kebencian. Sifat Sam yang angkuh pun mulai pudar … kurasa, aku menilainya dari beberapa menit percakapan kami kemudian.
“Aku akan pergi.. Salli, lumayan jauh. Bisa jadi kita tak pernah bertemu kembali, tetapi aku lega sekarang. Ada kekasih yang melindungimu, dari orang-orang seperti aku, hmm … atau ayahmu.” kalimat yang diucapkan Sam membuat bulu kudukku meremang, teringat kelakuan Sam dan ayah yang dulu hampir mirip.
“Kupikir, kekasihmu itu tidak seperti aku dulu, meskipun aku melihat jarak usia kalian lumayan jauh, ya?”
Aku mengangguk, “Sepuluh tahun Sam,” ucapku menyela.
“Yeah, itu akan menjadi yang terbaik. Dia pasti sabar menghadapimu.” Komentar Sam mengejutkanku.
“Apa sifatku buruk, Sam?” tanyaku penasaran.
“Hmm, bukan buruk Salli, hmm … bagaimana ya, kau hanya selalu sibuk dengan isi pikiranmu, mudah sekali mengubah suasana hati, jujur dulu … itu yang membuatku terpancing emosi.”
Aku terhenyak, cukup lama, mencermati ungkapan hati Sam yang teramat jujur. Kupastikan ia tidak berbohong, karena setelahnya Sam berpamitan akan meneruskan pendidikannya di Beijing―mendapat beasiswa katanya.
Untunglah, pada pertemuan terakhir kami, sudah tak ada lagi hal yang mengganjal. Aku bisa dengan ringan melambaikan tangan pada Sam yang melajukan motornya meninggalkanku. Aku turut merasa senang untuk Sam, karena ia berhasil dalam study-nya.
Hmm, tiba-tiba aku memiliki pikiran gila, akh, tidak … tidak, seharusny itu pikiran baik. Apakah aku pun dapat berbaikan dengan Ayah, dan ikut tersenyum untuk kebahagiaannya?