Loading...
Logo TinLit
Read Story - Surat untuk Tahun 2001
MENU
About Us  

Awal Desember …

Kriing …

Bel berbunyi, tepat ketika Hayakawa Sensei menyudahi pembicaraan mengenai seleksi penerimaan beasiswa ferris yang akan dilaksanakan bulan depan. Semua mahasiswa secepatnya berhamburan keluar kelas setelah memberikan anggukan hormat pada sensei yang sibuk membagikan formulir. Aku mengambil tiga lembar formulir dari tangan Sensei, lalu segera memasukkan dua lembar ke dalam tas. Sedangkan yang selembar lagi kubaca baik-baik sembari berjalan keluar ruang kelas.

Ada sebuah taman di dalam kampusku yang bernama taman kodok. Sore itu, sinar matahari sore menyilaukan. Aku baru saja menyelesaikan kelas bunpou … masih dengan dahi berkerut, alis berkedut, melihat pemandangan yang tak kupercaya hingga berkali-kali mengucek mata. Di taman kodok duduk dengan tenang bersilang kaki, sosok pria memakai hoodie hitam. Memanggil namaku, melambai santai ke arahku yang berdiri mematung.

Dia … bos, aku menyebutnya ‘pria bulan’, senior memanggilnya ‘Moon’. Dia berkilau seperti bintang, tentu menarik perhatian. Sekeras apapun usahanya menutupi pesona wajah  menggunakan topi―percuma saja―pesonanya justru semakin jelas tertangkap netra teman-teman kampusku yang semakin ramai berbisik. Kedip mata mereka terlihat genit, apalagi bos langsung berdiri lantas datang menghampiriku. Mereka langsung saja berteriak riuh. Aku mendongak, berdiri berhadapan dengannya. Tergagap mengatur ritme jantung juga kaki yang panas dingin. Mengapa pria bulan ini ada di kampusku? Dengan tatap  innocent menarik senyum yang sudah cukup membuat pertahanan hati berantakan.

Kuremas kertas formulir pendaftaran beasiswa ferris yang baru kuterima. Aku memang berniat mendaftar tetapi tidak yakin diterima. Merasa otakku tidak cukup hebat untuk berangkat ke Jepang. Tidak yakin lolos uji seleksi. Tetapi ….

Bos melihat kertas itu, mengambilnya, membaca lalu pada bibirnya membentuk huruf ‘O’. mengambil topi di kepalanya, meletakkannya di atas kepalaku. Sembari mengucap “Ganbatte ne!” Ia menyemangati.

Hanya itu, ya cukup hanya itu, dia tidak menyadari sikap dan perlakuan sepelenya kepadaku membuat hati meleleh, bukan saja bagiku … tetapi termasuk teman-teman yang nyengir kuda kasak-kusuk berisik tentang sosok pria bulan yang baru mereka lihat.

“Aku sengaja menjemputmu, Salli.” Bos mengatakan itu dengan tertawa santai.

“Mengagetkan, seharusnya aku tidak berpamitan padamu jika aku berangkat ke kampus ya,” ucapku menyindir.

“Ya, anggap saja kau berhemat biaya kereta!” cetusnya sambil mengedipkan mata padaku. Suara nyaring berseru riuh. Kemudian  bos sibuk melambaikan tangan pada teman-temanku yang masih berisik. Mereka mendorongku, menyela di antara aku dan bos yang berdiri berhadapan.

“Siapa dia Salli? Kenapa kau tak kenalkan kami padanya?” tanya teman-temanku begitu penasaran. Pandangan mereka tak lepas dari wajah bos yang pastinya mereka kira berusia dua puluh tahunan. Padahal, hmm ….

“Hai. Aku Moon, ak-”

Belum selesai bos memperkenalkan dirinya, sudah kutarik tangannya tak sabar. Teman-temanku menggerutu, aku tetap tak peduli, kudorong tubuh bos menjauh pergi meninggalkan mereka.

“Kenapa, Salli?”

“Rasanya gerah dan panas, sepertinya akan turun hujan!” kataku menengadah ke atas langit. Perubahan cuaca yang teramat tiba-tiba.

“Temanku belum pernah melihat lelaki sepertimu,  Bos!” ujarku lagi.

Bos meperhatikanku, tersenyum simpul.

“Memangnya aku lelaki seperti apa, Salli?” tanya bos menggoda.

“Yeah, kau ….” Aku terpaku menatapnya, menelan ludah dan langsung merasa grogi.

Mmm, mereka akan menertawakanku setelah tahu kau adalah bosku,” sahutku beralasan. Sungguh alasan yang dibuat-buat.

Hmm, kalau begitu panggil saja aku Moon, walaupun itu di ruang kafe!” pintanya kemudian, membuatku tercengang.

“Mana boleh begitu, Bos! Sama saja aku tidak menghormatimu.” Aku menggeleng keras.

“Moon!!” serunya.

“Usiamu sepuluh tahun lebih tua, mana boleh begitu!” gerutuku.

Mmm, lebih dari sepuluh kurasa, tahun kelahiranku 1992.” Bos tersenyum simpul.

“Nah ‘kan!”

“Tapi kita terlihat seumuran .. Salli,” ucapnya terkekeh.

“Apa kau sedang mengejekku tua, Bos?” bola mataku melotot ke arahnya, ia terbahak.

Akh, apa artinya sebuah angka Salli, panggil saja ‘Moon’ ini perintah!” serunya berusaha mengakhiri perdebatan.

Aku yang masih segan terus menggeleng lalu telapak tangannya menangkap kedua pipiku, terasa hangat, seketika alam sekitarku seolah bergerak lambat, bibir bos yang tebal membuat gerakan jelas mengucapkan kata ‘Moon’.

“Baiklah, baiklah, Moon, Moon.” Mata Moon mengerjap-ngerjap, isi pikiranku malah mulai tak keruan.

“Baiklah, kita akan berjalan-jalan keliling kota ini, Salli!” seru Moon senang.

Dalam hati aku pun senang, Moon tidak melupakan janjinya malam itu.

“Apa rencanamu, Moon?”

“Pertama kita akan ke bioskop, lalu makan, lalu―”

Belum selesai Moon menghitung rencananya dengan jari satu-persatu, aku langsung saja menggandeng tangannya menuju mobil di parkiran.

“Rencanamu terlalu banyak, Moon. Kita nikmati saja waktu kita, tak perlu rencana ini dan itu, habiskan saja waktu sebelum menjelang senja dengan memutari kota,” bisikku padanya―masih dengan menarik ujung hoodie-nya.

Aku memang merasa terlalu dini, untuk nonton bioskop berdua, pasti aku merasa sangat grogi. Lebih baik kualihkan pada kegiatan seru-seruan yang tetap tidak menghilangkan esensi dari moment pertama kami jalan berdua.

Benar saja, gerimis mulai turun mengguyur kota. Kami cepat memasuki mobil, dan Moon membuka hoodie untuk dipakaikan kepadaku. Ada harum tubuh Moon seakan menyelimuti tubuhku. Aku menggigit bibirku karena malu. Moon terlihat santai dan banyak tertawa. Ia menyetel musik kencang pada stereo mobil, bernyanyi girang seolah mobil ini ruang karaoke di  kafe.

Detik itu aku teringat senior, apa reaksinya atas sikap bos yang menjadi akrab denganku. Menyedihkan bukan? Aku mulai merasa bersalah atas teka-teki rasa yang tak dapat kucegah. Segalanya masih misteri, cerita traumaku, asal-usul senior, juga perubahan sikap pria bulan. Mengapa kisah kami semua berhubungan dengan tahun 2001? Lalu kini apakah aku masih berharap seseorang di tahun 2001 akan mengubah takdirku?

Aku jadi lupa tujuan utamaku mengirim surat menembus waktu. Lama-lama niatku bisa saja berubah, aku jadi betah tinggal di bumi.

Alunan musik lagu Seize the Day dari Avenged Sevenfold, mengalun mengiringi perjalanan kami menyusuri kota, menembus gerimis dengan tawa ceria berdua, sesekali gelak tawaku meledak ketika bibir Moon yang manis menyanyikan lirik lagu dengan semangat namun menjadi fals.

 

 

Dear seseorang di tahun 2001

Benar kata ibu, satu hal yang mudah berubah adalah perasaan manusia. Ada apa dengan suasana canggung ini? Masih menggigit bibirku tak berani katakan sepatah kata pun pada senior. Terlebih dia melihatku bersama Moon di hari gerimis. Memasuki halaman kafe dengan sedikit berlari, kedua tangan Moon berusaha melindungiku dari rintik gerimis. Hoodie milik Moon yang kukenakan telah menjelaskan segala yang terjadi tanpa perlu berkata-kata.

Memergoki senior yang menghela napas berkali-kali membuat lidahku kelu. Sementara Moon dan aku terus saling tersenyum penuh arti. Tak dapat terelakkan. Apakah kini aku sejahat ayah, memiliki rasa pada dua manusia di waktu yang sama. Kini aku mengerti alasan ibu tidak mau memaksakan perasaan.

Salli, 2023

 

***

 

Mulutku membisu, mendadak kelu ketika duduk berhadapan seperti ini, dengan senior yang memasang muka masam serta berkali-kali melirik sinis pada hoodie milik bos yang masih melekat pada tubuhku.

Keadaan seakan terbalik. Sisi ketus bos terambil oleh senior yang biasanya ramah. Sebenarnya aku cukup terkejut dengan perubahan ini. Bagaimanapun ia senior yang selama ini dekat denganku. Aku tidak biasa untuk tidak peduli padanya.

“Hoodie itu terlalu besar di badanmu!” serunya memecah keheningan.

“Hah, a-apa?” Aku tergagap. Sorot tajam mata senior mengingatkanku pada sorot tajam mata bos bila aku dan senior menertawakan lelucon receh berdua. Tiba-tiba saja, aku merasa tak enak hati.

“I-ini dikarenakan hari gerimis,” kataku beralasan.

Senior menggeleng lemah, kepalanya sedikit menunduk, kurasa kini ia enggan menatapku, asyik memandangi ujung sepatunya saja.

“Apa aku ini sudah tak ada harapan, ya?” tanya senior amat lirih.

Amat lirih sampai aku hampir tidak mendengar, tetapi setelah kudengar saksama, justru kalimat lirih itu bagai menghunjam jantungku. Menguliti aku yang kikuk dibuatnya.

Aku juga tak pernah berpura-pura bodoh untuk tidak tahu senior menaruh perasaan, Tuan Neil saja tahu bahwa senior sedang mendekatiku. Namun, semua orang juga tahu kalau keinginan senior tak pernah berbalas. Alasannya, bukan karena senior tidak membuatku berdebar senang, bukan karena ia tak baik―justru terlalu baik. Segala kebaikannya membuatku takut, ia akan berubah seperti ayahku. Yeah, alasan trauma memang cukup masuk akal bila digunakan untuk menolak pria. Tetapi masalahnya kini, aku tepergok jalan bareng Moon, yang notabene adalah bosku juga bos mereka semua. Rasanya ini menjadi tidak adil, seolah aku pilih kasih. Seolah status sosial bos yang menjadi pembeda, padahal tidak! Bisa kupertanggung jawabkan seratus persen. Semua perasaanku yang muncul terhadap bos, murni kesalahanku yang tak pandai mengatur siasat, untuk menghindari panah asmara.

Aku tak mengelak, tak pandai menolak pesona bos bahkan sejak pertama kali bertemu. Hanya saja waktu itu, pertikaian terus menerus di antara kami membuat aku melupakan debar kecil yang muncul pada pandangan pertama. Kukira debar itu menghilang karena debar senang yang diciptakan senior, rupanya aku terlalu lugu mengambil kesimpulan. Jangankan hilang, justru bunga-bunga asmara itu semakin lama semakin menguat.

Hanya rasa bersalah pada seniorlah yang membuatku bertahan untuk tidak mengakui bahwa aku menyukai bos.

“Senior, maaf ..,” kataku akhirnya, kali ini aku yang tertunduk.

“Ha-ha-ha, apa sih Salli, kau tak perlu minta maaf. Seharusnya aku sudah jeli dari awal dan tidak menjadi penghalang di antara kalian.” Ucapan senior menamparku secara gamblang. Kerongkongan terasa kering, aku  butuh minum.

Atmosfer canggung benar-benar mengelilingi aku dan senior. Kemudian bos muncul tergesa dari pintu depan, entah dari mana. Otomatis kepalaku dan senior menoleh ke arahnya. Menyadari itu, bos hendak memutar badan tapi terlambat, senior memanggilnya.

“Moon, duduklah!” seru senior pada bos.

Sejenak bos terlihat memandang ke arah atas kanan, kiri … kedua tangan masuk dalam saku celana. Ciri-ciri perilaku defensif  yang kentara sekali.

Mungkin bos gugup atau entahlah apa yang ia rasakan, tetapi ia membuatku terkejut dengan mengambil tempat duduk di sisiku. Kini kami berdua jadi terlihat seperti pasangan yang tepergok berselingkuh dan sedang dihakimi. Senior adalah hakimnya.

“Jadi … kalian resmi berpacaran?” tanya senior langsung pada intinya.

“T-tidak!” kataku.

“Belum!” jawab bos.

Sontak kami berdua―aku dan bos―menjawab dengan tidak kompak. Senior memperhatikan gerak-gerik kami berdua lantas ia tertawa terkekeh.

“Ha-ha-ha, sebaiknya kalian berbicara berdua!” perintahnya kemudian.

Senior beranjak dari kursi tanpa memedulikan kami yang masih kebingungan. Bersamaan dengan kemunculan Tuan Neil yang terlihat memakai jaket dan menenteng helm besar.

“Ke mana, Tuan Neil?” tanya senior cepat.

“Ke pusat kota, Moon menyuruhku ke bank untuk setor tunai,” jawab Tuan Neil yang diiringi anggukan oleh bos.

“Aku ikut!” seru senior cepat, ia langsung berlari mengambil mantel dan buru-buru mengenakannya Tuan Neil memandangi aku dan bos tak mengerti. Sungguh itu moment terkikuk dalam hidupku. Rasa malu bercampur bingung.

“Mereka butuh waktu untuk bicara! Ada yang harus mereka selesaikan!” ujar senior pada Tuan Neil.

“Mereka berdua? Salli dan Moon?” tanya Tuan Neil seakan tak percaya.

Yeah, aku juga sebenarnya tak percaya dengan diriku sendiri. Sungguh gila, bukan? Menyukai senior saja aku tak berani, eh, ini justru mengajukan diri menyukai Moon yang dingin seperti bulan.

Moon tidak menanggapi ocehan senior dan Tuan Neil, Moon hanya memberi anggukan dengan wibawa sebagai seorang bos, ketika mereka berdua berpamitan lalu menghilang dari balik pintu.

Kini, aku hanya berdua saja dengan Moon.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dessert
1052      555     2     
Romance
Bagi Daisy perselingkuhan adalah kesalahan mutlak tak termaafkan. Dia mengutuk siapapun yang melakukannya. Termasuk jika kekasihnya Rama melakukan penghianatan. Namun dia tidak pernah menyadari bahwa sang editor yang lugas dan pandai berteman justru berpotensi merusak hubungannya. Bagaimana jika sebuah penghianatan tanpa Daisy sadari sedang dia lakukan. Apakah hubungannya dengan Rama akan terus b...
Secarik Puisi, Gadis Senja dan Arti Cinta
1220      814     2     
Short Story
Sebuah kisah yang bermula dari suatu senja hingga menumbuhkan sebuah romansa. Seta dan Shabrina
Da Capo al Fine
337      279     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir
Rindu
405      296     2     
Romance
Ketika rindu mengetuk hatimu, tapi yang dirindukan membuat bingung dirimu.
Harapan Gadis Lavender
3051      1331     6     
Romance
Lita Bora Winfield, gadis cantik dan ceria, penyuka aroma lavender jatuh cinta pada pandangan pertama ke Reno Mahameru, seorang pemuda berwibawa dan memiliki aura kepemimpinan yang kuat. Lita mencoba mengungkapkan perasaannya pada Reno, namun dia dihantui oleh rasa takut ditolak. Rasa takut itu membuat Lita terus-menerus menunda untuk mengungkapkan perasaa...
Redup.
720      428     0     
Romance
Lewat setiap canda yang kita tertawakan dan seulas senyum yang kerap dijadikan pahatan. Ada sebuah cerita yang saya pikir perlu kamu dengarkan. Karena barangkali saja, sebuah kehilangan cukup untuk membuat kita sadar untuk tidak menyia-nyiakan si kesayangan.
Mimpi Milik Shira
526      299     6     
Short Story
Apa yang Shira mimpikan, tidak seperti pada kenyataannya. Hidupnya yang pasti menjadi tidak pasti. Begitupun sebaliknya.
Kepak Sayap yang Hilang
118      111     1     
Short Story
Noe, seorang mahasiswa Sastra Jepang mengagalkan impiannya untuk pergi ke Jepang. Dia tidak dapat meninggalkan adik kembarnya diasuh sendirian oleh neneknya yang sudah renta. Namun, keikhlasan Noe digantikan dengan hal lebih besar yang terjadi pada hidupnya.
Love Dribble
10712      2071     7     
Romance
"Ketika cinta bersemi di kala ketidakmungkinan". by. @Mella3710 "Jangan tinggalin gue lagi... gue capek ditinggalin terus. Ah, tapi, sama aja ya? Lo juga ninggalin gue ternyata..." -Clairetta. "Maaf, gue gak bisa jaga janji gue. Tapi, lo jangan tinggalin gue ya? Gue butuh lo..." -Gio. Ini kisah tentang cinta yang bertumbuh di tengah kemustahilan untuk mewuj...
Teman Khayalan
1708      743     4     
Science Fiction
Tak ada yang salah dengan takdir dan waktu, namun seringkali manusia tidak menerima. Meski telah paham akan konsekuensinya, Ferd tetap bersikukuh menelusuri jalan untuk bernostalgia dengan cara yang tidak biasa. Kemudian, bahagiakah dia nantinya?