Adik menggenggam gulungan kertas erat, kenangannya bermain pasir bersama ayah tersimpan di sana. Tubuh tenang menghadap televisi, matanya memang tertuju pada layar, namun baik itu tontonan sedih, lucu atau komedi, hanya akan membuatnya berekspresi datar.
Sampai akhirnya, keajaiban datang menghampiri minggu pagi kami. Sebuah ketukan yang mengejutkan.
Mula-mula wajah senior muncul dengan senyuman khasnya, lalu sepasang mata dingin menyusul. Rupanya bos ingin mengantarkan roti, daging dan susu untuk adikku Tian. Sebagaimana janjinya tempo hari, saat mengobati luka Tian. Ternyata bos membujuk Tian agar tidak terus menangis dengan berjanji membawakannya daging panggang ketika hari libur.
Tentu saja kesempatan itu tidak dilewatkan oleh Tian, dengan segenap jiwa ia mengancam bos untuk datang sendiri mengantarkan makanan itu, jika tidak ..?!
Roti, daging dan susu tidak akan diterima.
Alasan itulah yang membawa mereka berdua kini hadir mewarnai hari minggu pagi Tian yang lama kelabu. Kurasa Tian lebih ingin bertemu bos daripada mencicipi makan tersebut. Entahlah, ada chemistry yang tidak terungkap di antara mereka. Terlihat mirip tapi entah apa ... yang jelas kedatangan bos dan senior mewarnai hari minggu Tian yang lama kelabu.
Aku melihat mereka dari balik pintu dapur. Tanganku memegang cangkir gemetar. Bukan lagi rasa takut. Tetapi, terlalu senang.
Terdengar derai tawa kembali di ruangan meja makan, suasana ramai yang lama menghilang. Layaknya sebuah keluarga mengitari meja makan menikmati panggangan daging.
“Hei Salli, kemarilah!” Ibu menarik lenganku untuk bergabung, matanya begitu berbinar. Pipi yang terbiasa pucat bersemu merah jingga.
Apakah Ibu senang dengan kedatangan Senior dan Bos?
“Nah, ini untukmu Salli.., potongan daging yang besar.” Senior meletakkan irisan daging di piringku. Di mana pun ia selalu menjadi koki bagi kami.
Senior tersenyum memamerkan gigi geliginya.
“Makanlah, makan yang banyak, Salli. Tak usah berdiet, yang terpenting ... kau jangan sakit.” Kata-kata itu sudah sering kudengar, bos mengatakan itu setiap kami sarapan di kafe, hanya saja ia mengatakan dengan muka masam serta membuang muka. Senior juga pasti sering mendengarnya.
Aku melirik pada bos, asyik berbincang dengan Tian, mereka berdua seolah ada dalam dunia mereka sendiri. Tian duduk di samping bos, begitu menempel. Ah, aku cukup terkejut pada apa yang barusan aku lihat. Jemari Tian sigap menarik ujung kemeja bos bila disadarinya pria itu bergeser dari tempat duduknya.
Tatapan mata bos pada adikku, memancarkan kasih sayang. Ucapannya begitu lembut. Mereka banyak terdiam, tidak sepenuhnya diam. Mereka banyak becanda dan hanya mereka berdua saja yang tahu di mana letak lucunya. Bos rela menunjukan sisi kekonyolannya sehingga Tian tergelak. Lalu terdiam. Kembali tanpa ekspresi. Lalu bos memanyunkan bibirnya, dan Tian kembali tergelak. Ah, aku menemukan sisi lain dari bos lagi.
Suara petikan gitar menggugah lamunku. Perhatianku pada bos dan Tian teralihkan. Rupanya senior meminta izin memainkan gitar ibu yang teronggok di pojok ruang. Irama ceria kembali meliputi seisi rumah. Senior pandai melucu dan membawa suasana riang. Ibu tak henti-hentinya bercerita pada senior, sebagai penyanyi di Kafe Gerimis di masa lalu. Saat itu pun ia selalu memainkan gitar ketika bernyanyi.
Sementara bos yang bermata dingin, kembali menonton televisi bersama Tian. Hampir sama, tanpa ekspresi. Kusadari mereka mirip. Mereka seperti menemukan satu sama lain.
Adik tidak juga melepaskan genggaman tangan bos, saat senior mengajak bos berpamitan. Ujung kemeja bos masih di genggamnya erat. Saat itulah aku tersadar, perlahan adikku melepas gulungan kertas gambar tentang kenangannya bersama ayah. Mungkin sekarang ia hanya akan menyimpan kenangan itu di dalam hati.
Dear seseorang di tahun 2001
Baik kenangan buruk atau indah, telah tinggal menetap dalam memori kita. Hak kita untuk menentukan hari di mana semua kenangan indah dan menyakitkan, tergantikan oleh hal-hal yang membuat kita tertawa. Merasakan lagi kehangatan, cinta dan kasih sayang.
Salli, 2023
Bersambung