Dear seseorang di tahun 2001
Aku kehilangan tutup penaku. Lima belas menit aku mencari sampai menggali tanah dan bebatuan kerikil, menyibak semak-semak dan mengangkat kursi taman, kemudian digoyang-goyangkan berharap benda kecil yang kucari jatuh dari sana.
Sedari kecil orang-orang selalu mengatakan diriku hiperbola. Aku tidak pernah setuju sampai akhirnya menyadari tindakanku memuntahkan roti isi hanya untuk memeriksa apakah tutup penaku terselip roti dan tertelan, itu sangat tidak wajar.
Badanku yang lemas dan bodoh tidak sanggup lagi mencari tutup pena itu. Tadinya aku hanya khawatir mata penaku akan kering dan menjadikan sketsa bangunan yang tengah kukerjakan menjadi mangkrak tak selesai. Toh ... sekarang pun mata pena itu sudah mengering tanpa aku bisa mencegahnya.
Mataku tidak mau beralih dari objek selain gulungan awan yang perlahan menipis digantikan terik dari matahari berjarak milyaran kaki di atas kepalaku. Ini membosankan. Aku sengaja memperbaiki sepeda kemarin malam untuk kupakai mengelilingi taman pagi ini. Nyatanya aku hanya sanggup berbaring di kursi taman seperti seorang tunawisma.
Silau, terik matahari menembus sel-sel darahku, pipiku memerah. Dari sela telapak tangan yang terentang di atas kepala, muncul wajah seperti matahari dengan senyum memabukkan. Pipiku bertambah merah, kali ini bukan karena terik mentari melainkan ulah orang baik yang selalu tesenyum. Dia senior.
Salli. 2023
Dalam surat yang kukirimkan untuk tahun 2001 kali ini, aku tidak membahas tentang kisah Sun dan Moon yang baru kudengar semalam dari Tuan Neil.
Sebenarnya, aku lumayan penasaran.Siapa sesungguhnya orang baik yang membawa Sun kecil ke Kafe Gerimis pada malam pergantian tahun 2002. Ya, hari terakhir di tahun 2001. Sehari setelah gerhana bulan dan malam peristiwa kecelakaan yang menimpa orang tua Moon terjadi.
Ternyata segala hal ada kaitannya.Bahkan bagaimana awal mula nyanyian gerimis itu tercipta mulai terkuak.
Cukup lama aku mematung, memandangi kotak pos merah yang hanya bungkam seribu bahasa, padahal dia-lah peran utama dari segala cerita ini. Ya, tentu saja ia hanya benda mati yang menyimpan seribu misteri.
Tiba-tiba seseorang mendekatkan wajah di sampingku, ikut mengamati apa yang sedang kulihat. Senior memamerkan gigi geliginya. Ia tidak nampak muram seperti kemarin, saat melihatku dengan bos.
“Salli, Moon tidak suka kau terus berdiri di depan kotak pos merah ini.” ucapnya lugas.
“Siapa? Moon?”
Senior mengangguk-angguk dan berujar kembali.
“Dia terus memperhatikanmu dari balik tirai jendela.”
Oh, rupanya begitu, bos mengawasiku dari jauh. Gumamku dalam hati.
“Moon berteriak pada Tuan Neil tapi Tuan Neil terlalu sibuk untuk menghampirinya, hampir saja Moon melangkahkan kaki hendak menyeretmu menjauhi kotak pos merah ini. Untung saja aku mencegah dan berjanji padanya untuk membawamu masuk.” Sun bercerita sangat lucu sambil memonyongkan bibir. Aku jadi salah fokus. Sedikit tertawa aku membenarkan ucapannya.
“Bos memang memerintahkanku menjauhi kotak pos merah ini.” gerutuku lirih.
“Sebaiknya kau mematuhi larangannya!” Senior menimpali.
“Apa kau tahu alasannya, Kak?”
Senior hanya mengedikkan bahu, lagi-lagi sambil memonyongkan bibir yang membuatku gemas.
“ Apakah Kakak tahu mengenai kisah di balik kotak pos merah ini?” tanyaku kembali penasaran.
“Seingatku, pertama kali kedatanganku menjadi bagian dari keluarga, kotak pos merah ini telah berdiri cukup lama, bertahun-tahun lamanya namun tak pernah berlumut.” Ia menarik napas serius, keningnya mengernyit.
“Entahlah, aku tidak pernah tahu, kecuali keluarga ini benar-benar melindunginya.” ucapnya lirih, kepalanya menunduk dengan ujung sepatu dibentur-benturkan pada tanah, sepertinya ia tak nyaman dengan ucapannya sendiri.
Aku menatapnya ragu, ada yang terbesit namun urung terucap. Seolah mengerti arti tatapanku, senior berkata kembali ..
“Bagaimanapun, aku hanya anak pungut Salli, bukan benar-benar keluarga yang mendapatkan warisan kisahnya.” Ia menunjuk pada kotak pos merah.
“Oh tidak, mengapa kau berkata demikian Kak?” Aku mulai menyesali pokok pembahasan percakapan ini.
“Nyatanya demikian Salli, bahkan aku dilarang ikut menyanyikan nyanyian gerimis.” Ada kesedihan di mata senior. Oh tidak, apakah aku membangkitkan sebuah luka?
Seperti memahami situasi senior yang datang dan tinggal menetap sejak usia enam tahun di Kafe Gerimis ini, tentunya ia sudah merasa bahwa ini adalah keluarga aslinya. Karena sangat sedikit ingatannya menyimpan memori tentang ayah kandungnya. Namun pasti rasanya sangat bingung, bahwa kenyataannya tetap ada batasan antara ia dan Moon yang sudah ia anggap seperti saudara kandungnya sendiri.
Senyum senior kembali merekah, selanjutnya ia mengalihkan topik pembicaraan dan megajakku berjalan memasuki ruangan kafe kembali. Ia membuat lelucon yang membuat aku terpingkal. Aku merasa kami di perhatikan seseorang dari balik tirai, entah mengapa aku mendadak 'lebay’ dengan respon juga tingkah laku-ku. Sengaja tertawa keras-keras, entah siapa yang ingin kucuri perhatiannya.
Senior memang orang baik, mungkin sedikit polos, secepat ini ia kembali ceria setelah beberapa menit lalu kulihat ada bara terpendam ketika mengungkapkan isi hatinya mengenai keluarga Moon.
Setidaknya sekarang aku tahu, bahwa kotak pos merah itu telah ada sebelum tragedi akhir tahun 2001 terjadi.
Bersambung