“Bekerjalah dengan perut kenyang,” celetuk bos santai.
Persis ketika aku memasukkan suapan pertama pai susu buatan senior. Kemudian ia menyudahi sarapannya dan berlalu meninggalkan kami dengan tatapan dingin mengarah padaku.
Lagi-lagi aku hampir memuntahkan isi mulutku begitu saja namun kutahan baik-baik, terlalu sayang membuang makanan mahal.
Sebenarnya tak ada yang salah dengan perkataan bos, tetapi ia mengatakan itu dengan ekspresi muka seakan mengejekku dan tentu saja nada bicara yang seolah santai tapi ketus.
Senior menepuk pipiku lembut melihatku menghentikan kunyahan pertama.
“Sudah tak usah hiraukan, ia bermaksud baik.”
“Apanya?” protesku kesal.
“Bos sering mengingatkanku untuk memberimu sarapan.” Senior setengah berbisik menjelaskan.
Aku memonyongkan bibir tak percaya. Senior tersenyum, membulatkan matanya melihatku.
“Mukanya sedingin es batu,” ujarku lagi.
Pikiranku masih pada bos tetapi senior mengetuk-ngetuk meja berusaha membuat diriku kembali meneruskan sarapan. Aku tersenyum menyadarinya. Senior yang tampan dan baik ini, aku beruntung mengenalnya.
Aku bukannya tak merasa, pupil mata senior akan membesar saat menatapku. Tapi untuk saat ini, aku hanya akan nyaman menganggapnya senior kerja yang baik hati. Meskipun kadang aku sedikit gugup dibuatnya.
Dear seseorang di tahun 2001
Aku menulis ini dengan gemetar, degup jantung seperti terbang lalu cepat jatuh kembali.
Ini tentang senior tempat aku bekerja. Ia tampan dan baik hati. Kedua matanya bercahaya ketika melihatku. Aku takut, takut muncul perasaan yang harus kuabaikan. Maka segera kutimbun di jurang hati terdalam tanpa sempat berkembang. Ia menemaniku pada hari-hari aku memerlukan dukungan. Ia sigap menutupi tubuh kecilku saat bos memulai pertengkarannya denganku. Mencarikan seribu alasan keterlambatanku bekerja akibat dosen yang memundurkan jam kuliah.
Ia membuatku nyaman sebagai wanita. Memastikan aku aman hingga tiba di rumah dengan selamat tiap malam. Mengusap ujung kepalaku lembut saat aku pura-pura tua juga pura-pura kuat.
Aku yang sok mengeluarkan kata-kata bijak yang berjejalan meluncur dari bibir ketika menolak bantuan senior dalam masalahku.
Aku terlalu pengecut untuk menyambut uluran tangannya. Aku takut, senior baik hati itu akan berubah seperti ayahku.
Perjalananku terlalu rumit jika harus tercampur dengan bisik perasaan rindu.
Aku memiliki pengalaman pahit, seseorang yang menganggapku kekasih mempermalukan diriku di depan umum. Membentak dengan keras untuk hal yang sangat bisa dikompromi. Bahkan ia pernah mendatangi kafe tempatku bekerja karena tak terima kuputuskan sepihak. Senior menyelamatkanku pada waktu yang tepat. Bahkan mengancam lelaki temperamen itu untuk menjauh dariku.
Aku lega terlepas dari hubungan toxic. Sama sekali tidak kupedulikan panggilan telepon dari lelaki temperamen itu. Walaupun ratusan bahkan ribuan kali dia mencoba menghubungi kembali.
Dulu, dia kawan sekelas di SMA. Lucu dan membuatku tertawa tak menjamin sosoknya akan selalu baik. Perangainya berubah setelah menjadi bintang sekolah dan banyak menerima pujian. Saat itu aku tak tahu apa itu cinta, menyetujui pacaran dengannya hanyalah sebuah kesalahan akibat teman-teman yang terus menyoraki kami.
Aku muak dengan percintaan. Selalu yang awalnya manis berakhir memilukan.
Tapi kini wajah senior selalu menghantui malam-malam kesepianku. Aku tak ingin, tapi hal ini datang begitu saja tanpa ketukan pintu. Mendobrak masuk dan tiba-tiba saja ia telah ada dalam ruang hatiku.
Salli, 2023
***
Bersambung