Whoos!
Suara itu memecah konsentrasi dengan keras. Aku merasa terhempas keluar dari kegelapan yang dalam. Mataku perlahan terbuka, merespons cahaya silau yang menyakitkan. Aku mengerjap, mencoba fokus, dan seketika rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhku—bahu, kaki, bahkan punggungku. Napasku tertahan, seolah tubuhku baru saja melewati pertempuran sengit. Setiap otot berdenyut nyeri.
“Ini sudah selesai?” tanyaku, mencoba memahami situasi. Di hadapanku, Halley berdiri dalam wujudnya yang biasa—seorang anak kecil. Namun, kehadirannya membuat atmosfer terasa berat. Waktu di sekitar kami seperti berhenti, sesuatu yang dia lakukan dengan mudah, sesuka hati.
“Aku punya hadiah untukmu,” katanya tiba-tiba, tatapannya menembus ke dalam jiwaku. “Tapi kamu harus menanggung resikonya.”
“Resiko?” Aku menelan ludah, tenggorokanku terasa sangat kering. Jantungku berdebar tak karuan. Tawaran dari Halley jarang muncul tanpa konsekuensi. Dia selalu punya rencana di balik setiap tindakan, dan kali ini, aku merasa seperti berdiri di tepi jurang.
Aku menunduk, menatap kakiku yang terasa berat. Pikiran-pikiran berserakan di kepalaku, mencoba memperhitungkan apa yang mungkin terjadi jika aku salah mengambil keputusan. Apa yang akan terjadi pada semua orang?
”Baiklah,” ucapku akhirnya setelah menarik napas panjang. Keputusan ini bukan hal mudah. ”Aku akan menggunakan permintaan itu sekarang.”
”Sampaikanlah, teman,” balas Halley dengan senyum tipis. Matanya yang seperti galaxy berputar, menyiratkan kekuatan yang hampir tak terbayangkan. “Anggap saja ini bayaran atas semua yang telah kau lewati.”
”Aku ingin semuanya kembali hidup,” kataku, suaraku bergetar sedikit. Ini adalah permintaan yang besar, tapi harapanku juga besar. Semua teman-temanku... mereka pantas hidup kembali.
Namun, Halley mengangkat alisnya. “Semua? Termasuk musuhmu?”
“Tidak, musuhku jangan.” Aku menggeleng cepat. Aku tak punya belas kasihan untuk mereka yang telah menghancurkan hidupku dan teman-temanku.
Halley diam, seolah merenung dalam-dalam. Aku bisa merasakan ketegangan di udara, napasku terhenti menunggu apa yang akan dia katakan.
“Maaf, Rika. Mustahil bagiku untuk mengembalikan nyawa,” katanya akhirnya. Ada nada penyesalan di balik kata-katanya, tapi juga kejujuran yang tak bisa dihindari. “Aku mungkin bisa mengembalikan nyawa teman-temanmu, Freya dan Luna, tapi hanya mereka.”
Hatiku jatuh. Antara senang dan kecewa. Senang karena ada harapan untuk Freya dan Luna, tapi kecewa karena yang lain harus tetap pergi.
”Kenapa yang lain tidak bisa?” tanyaku, suaraku hampir berbisik. Ini lebih berat dari yang aku bayangkan.
“Rika, aku hanya entitas dimensi keempat,” Halley mulai menjelaskan dengan nada datar. “Kemampuan tertinggi yang aku miliki hanyalah memanipulasi partikel. Aku tidak bisa menciptakan jiwa dari ketiadaan.”
Aku terdiam. Pikiranku berputar, mencoba mencerna apa yang dia katakan. ”Apa maksudnya?”
”Itu artinya aku tidak bisa menciptakan sesuatu yang tidak ada,” lanjutnya, matanya sedikit menurun, menunjukkan rasa iba. “Konsepsi jiwa itu kompleks, jauh di luar pemahaman manusia dimensi ketiga. Mungkin suatu hari nanti kalian akan mengerti.”
Aku terpaku dalam diam. Bagaimana mungkin? Semua yang terjadi di sini, semua yang telah kami lalui, terasa seperti mimpi buruk yang tak pernah berakhir. Harapan yang baru saja membuncah kini terasa kembali mengempis.
”Lalu bagaimana dengan Freya dan Luna?” tanyaku, mencoba meraih secercah kepastian di tengah kekacauan perasaan ini.
Halley tersenyum kecil, senyumnya berubah sedikit nakal. ”Mereka?”
Aku mengangguk, masih tidak yakin apa yang sedang dia rencanakan.
Tiba-tiba, tawa Halley pecah. ”Ha-ha-ha! Maaf-maaf. Sebenarnya mereka tidak mati!” tawanya menggema, membuatku terbelalak tak percaya. “Aku hanya jahil! Jiwa mereka hanya ku bekukan, jadi terlihat mati dan tidak bernyawa. Itu saja.”
”Jahil?!” Rasanya seperti darahku mendidih. Bagaimana mungkin dia bisa bermain-main dengan nyawa orang seperti itu? Rasa marah dan lega bercampur aduk, hampir membuatku ingin berteriak, tapi aku hanya bisa menggeram pelan. Dia benar-benar tak bisa diprediksi!
”Yasudah, ayo segera bergerak,” Halley berkata dengan santai, seolah-olah tidak ada hal serius yang terjadi. “Teman-temanmu akan pulih dengan sendirinya. Aku tidak punya waktu berlama-lama di dimensi ketiga ini.”
Dengan perasaan masih campur aduk, aku berjalan mengikuti Halley menuju markas tempat tubuh Freya dan Luna dibaringkan. Setiap langkah terasa berat, pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan yang belum terjawab.
”Halley,” panggilku akhirnya, suaraku agak serak karena kelelahan mental. ”Sebenarnya kau ini makhluk apa? Manusia? Tumbuhan? Atau apa?”
Halley tersenyum kecil, seolah pertanyaan ini sudah sering dia dengar. ”Hm, apa ya.” Dia berpikir sejenak, lalu menjawab. ”Kurasa aku lebih mirip makhluk gaib.”
”Makhluk gaib? Hantu?” tanyaku, semakin bingung dengan jawaban-jawabannya yang samar. ”Tidak, aku bukan hantu. Aku adalah makhluk dimensi keempat,” katanya sambil tertawa kecil. “Kalian manusia tidak bisa melihat wujud asliku, dan kalian tidak akan pernah bisa datang ke dimensi tempat asalku. Kita tidak berada di alam yang sama.”
”Lalu ini tubuh anak kecil ini?” tanyaku lagi, mencoba memahami meski kepalaku mulai pusing dengan semua ini.
”Tubuh anak kecil ini hanya proyeksi yang aku gunakan untuk berkomunikasi dengan kalian,” jawabnya ringan. “Ini hanya bentuk visual agar aku bisa berinteraksi dengan dimensi ketiga.”
“Jika begitu, artinya kau tuhan?” tanyaku, masih berusaha mencerna apa yang dikatakan Halley. Kepalaku terasa penuh oleh pertanyaan yang tak terjawab.
Halley tertawa kecil, suaranya berderai seperti gemericik air. “Tuhan? Ouuuh, sosok maha besar itu. Aku sendiri tidak bisa memastikannya ada atau tidak. Jika pun ada, maka dia jauh di atas dimensi 4, mungkin saja di dimensi 8 atau lebih tinggi.”
Kata-katanya seperti kabut yang membingungkan, melingkupiku. “Bentar, berarti ada dimensi yang lain?” tanyaku sambil berusaha menahan kebingungan yang semakin membesar di dalam diriku.
“Tentu, walaupun hanya sebatas teori. Karena bagaimana pun, mencari makhluk di atas dimensi yang ditinggali adalah hal mustahil. Satu-satunya cara adalah menjelajahi anomali kuantum.”
Kalimatnya makin membuat otakku berputar. Semuanya semakin rumit. Aku tidak paham. Apa yang dia bicarakan seperti berasal dari dunia lain—secara harfiah. Aku menggelengkan kepala, mencoba fokus pada yang ada di depanku.
“Sudahlah, jangan dipikirkan,” Halley melanjutkan. “Seseorang di masa depan akan menjelaskan kepadamu tentang dimensi keempat dan yang lain.”
Aku menghela napas, merasa seperti sedang terombang-ambing di antara realitas dan imajinasi. “Kenapa tidak dari kamu saja, Halley?” tanyaku, berharap dia bisa memudahkan pemahamanku.
Dia tertawa lagi, tawanya seperti angin yang dingin. “Aku? Tidak-tidak, perjalananmu masih panjang, teman. Lebih seru, kan, jika plot cerita tidak di-spoiler dari awal?”
”Begitu ya...” Aku tersenyum masam, pandanganku beralih ke depan. Kami hanya tinggal beberapa menit dari tujuan. Di depan kami, markas terlihat sangat ramai. Suara tangis dan desahan memenuhi udara, disertai dengan pemandangan prajurit yang terluka terbaring di atas alas, sementara yang gugur dibalut kain putih. Suasana begitu suram dan mencekam.
Ketika akhirnya kami tiba, suara tangisan pecah di dalam tenda putih. Tangisan yang penuh haru dan syukur. Freya dan Luna... mereka hidup kembali. Melihat mereka bergerak, bernapas, mataku terasa panas. Ini lebih dari sekadar mukjizat. Dunia medis mungkin menyebutnya mati suri, tapi aku tahu apa yang Halley lakukan jauh di luar itu. Dia menyelamatkan mereka, mengangkat mereka dari kematian.
Saat melihat Freya yang terisak, pelukan teman-teman kami yang lain membuat dadaku sesak. Aku menatap Halley di sudut mataku. Dia... dia lebih dari makhluk apa pun yang pernah kutemui. Dia mendekati bayanganku tentang sosok tuhan yang benar-benar hadir, yang benar-benar membantu ketika dibutuhkan.
Tapi sekarang, dia akan pergi.
“Aku akan segera pergi, kembali ke dimensi keempat, tempat asalku,” katanya sambil berjalan keluar tenda. Semua mata tertuju padanya. Bagaimana bisa mereka tidak memperhatikannya? Aura dinginnya masih menyelimuti tubuhnya, seperti kabut misterius. Pakaian Halley yang mirip dengan kostum putri dari negeri dongeng hanya menambah keanehannya. Putri dari film Frozen? Pikiranku mencoba mengaitkan hal-hal yang tidak relevan dalam kekaguman dan ketidakpercayaan.
Bisik-bisik mulai terdengar di sekitar.
“Siapa itu?”
“Kekuatan apa yang dia miliki?”
Tiba-tiba, Halley mengangkat tangannya dan tanpa peringatan, tubuhnya melayang ke udara. Jantungku berhenti sesaat. Apa yang dia lakukan?
”Oi, Halley! Apa kau akan menembus langit?” Aku berteriak, merasa jantungku berdegup semakin kencang. Semua orang mendongak, mata mereka tertuju ke langit. Gadis kecil itu, dengan pakaian aneh dan kekuatan yang tak terbayangkan, terbang di antara mereka. Tapi dia tidak menjawab. Aku merasa semakin gelisah.
“Halley! Apa yang kau lakukan?” Aku berteriak lagi, kali ini lebih keras. Suara hatiku menekan keras di dalam, tak bisa membiarkan dia pergi begitu saja tanpa penjelasan.
Akhirnya, suaranya yang bergema seperti lonceng angin terdengar dari atas sana. “Aku tidak bisa membiarkan kejadian ini menciptakan dunia paralel yang lain, Rika.”
Dunia paralel? Apa maksudnya?
“Aku akan mengatur ulang ingatan semua orang yang melihat dan mengetahui kejadian ini.” Ucapannya tegas, tetapi ada nada mengancam yang membuat bulu kudukku merinding. Suara anak kecil yang begitu lantang, membuat para prajurit yang berani mati pun terdiam ngeri.
Halley mulai merentangkan tangannya, tubuhnya bergetar lembut di udara, dikelilingi oleh angin yang semakin kencang. Pakaiannya yang berkilauan bergerak dalam tarian halus di antara arus angin. Sekilas, dia terlihat seperti dewa penguasa langit, memancarkan cahaya kebiruan dari seluruh tubuhnya.
”Imagination: memory recovery,” perintahnya menggema, diiringi dengan kilauan cahaya biru yang menyelimuti seluruh area. Cahaya itu menyebar seperti gelombang, menyelimuti ribuan meter di sekeliling kami. Kota ini... seluruh kota terbenam dalam cahaya terang. Mata kami hampir tertutup oleh silau yang menyesakkan.
Saat itu, hanya ada satu suara yang menyentuh telingaku di tengah semua kegelapan yang menyusul.
“Rika, temanku. Aku tidak akan pernah mengubah ingatanmu. Jadikan ini pembelajaran untukmu. Aku tidak akan menolong siapa pun lagi setelah ini.”
Dan perlahan, suara itu menghilang bersama dengan cahaya. Semuanya kembali normal. Orang-orang mulai bergerak lagi, seolah mereka baru saja bangun dari tidur panjang. Tak seorang pun yang ingat apa yang baru saja terjadi. Tidak ada yang mengingat Halley. Tidak ada yang mengingat keajaiban itu—kecuali aku.
Aku menatap langit kosong di mana Halley berada, merasakan kehampaan. Tapi tak ada waktu untuk merenung. Ketika aku berbalik, Yeriko dan rombongannya telah kembali. Mereka membawa Cedric yang terkapar di atas tandu, tubuhnya penuh luka bakar yang mengerikan. Tangan kanannya rusak parah, dan tubuhnya penuh luka luar dan dalam. Kematian begitu dekat dengannya.
Satu hari berlalu. Pemakaman resmi para pejuang yang gugur dilakukan di pemakaman umum kota. Tempat itu selalu sunyi dan damai, namun hari ini, kesunyian itu terasa begitu berat, membawa beban kesedihan dan kehilangan yang mendalam. Aku berdiri di sana, merasakan setiap emosi bercampur aduk dalam diriku, sambil merenung... tentang segala hal yang telah terjadi, tentang Halley, dan tentang tugas berat yang masih menanti kami semua.
Di bawah pohon-pohon beringin yang rindang, dedaunannya bergoyang lembut ditipu angin sejuk. Suasana di sekitar penuh kesedihan. Wajah-wajah di sekelilingku begitu masam, mengungkapkan perasaan yang sama: kesedihan yang dalam. Meski aku ikut merasa kehilangan, aku tahu bahwa aku bukan yang paling merasakan duka. Anggota regu Constellation, mereka... terlihat begitu terpukul. Mata mereka merah dan wajah mereka pucat, tampak begitu hampa setelah kehilangan begitu banyak. Kesedihan mereka mengalir seperti gelombang yang menyapu kami semua.
Di tengah pusaran duka itu, berdiri sosok yang paling gagah di antara kami, Yeriko. Ia kini pemimpin tunggal kota Nusantara. Dengan penuh wibawa, ia berdiri tegak di hadapan kami, menyampaikan pidato singkat namun penuh makna.
“Terima kasih untuk seluruh petarung yang telah berkorban demi fraksi ini, demi hukum negara ini, dan demi kebangkitan nasional yang baru,” ucapnya, suaranya berat, nyaris bergetar, namun tetap tegar.
Aku menatapnya, merasakan betapa beratnya beban yang kini dipikulnya. Dalam pandangannya, tersirat kekuatan dan juga kesedihan yang sama dengan kami semua. Yeriko, sosok yang pernah menjadi kawan seperjuangan, kini harus memimpin di tengah kehancuran dan kehilangan yang tak terhingga.
Setelah pidato Yeriko selesai, suasana upacara pemakaman berlangsung khidmat. Nama-nama petarung yang gugur satu per satu disebutkan. Setiap kali sebuah nama disebut, dadaku terasa sesak, seolah-olah sebilah pisau menancap lebih dalam. Hingga akhirnya, terdengar nama-nama yang paling sulit untuk kudengar—Kapten Lilyfa, Jenderal 3, Jenderal 2, dan yang paling menghancurkan hati kami, Panglima.
Ketika nama mereka disebutkan, tangis mulai pecah di antara kami. Tapi aku tetap berdiri di sana, mencoba menahan air mata yang mengancam jatuh. Lagu hening cipta mulai mengalun, menyelimuti kami semua dalam keheningan yang menyayat hati. Angin yang sejuk kini terasa dingin menusuk, seolah alam turut menangis bersama kami.
***
Dua hari berlalu sejak pemakaman. Waktu seperti melambat. Kota masih berduka, dan kami semua, regu Alaya, mencoba bertahan dengan menjalani tugas-tugas harian. Tidak banyak yang bisa kami lakukan selain membantu memperbaiki fasilitas kota yang rusak, mengumpulkan dana dari misi-misi kecil yang dikeluarkan oleh pemerintah kota, yang dulu dikenal sebagai Fraksi Hukum.
Setiap kali kami berkeliling kota, jejak kehancuran selalu mengingatkan kami pada betapa besar pertempuran yang telah terjadi. Tiap bangunan yang runtuh, tiap jalan yang berlubang, adalah saksi bisu dari kekacauan yang kami lalui. Namun, di balik semua itu, ada secercah harapan. Kami tahu, di tengah kehancuran ini, masih ada yang bisa dibangun kembali.
Hari demi hari, perlahan tapi pasti, kami mulai pulih—baik fisik maupun mental. Dan setelah dua hari penuh kerja keras, akhirnya kami siap. Regu Alaya kini telah memiliki cukup persediaan, uang, dan yang terpenting, semangat untuk melanjutkan perjalanan kami. Dunia telah berubah, dan begitu pula kami. Tapi satu hal yang pasti: petualangan kami belum berakhir.
Pemimpin regu kami. Dia tersenyum samar, tapi aku bisa melihat kegembiraan di matanya. Kami telah kembali, lebih kuat dari sebelumnya. Jakarta Underwater menjadi tujuan berikutnya. Sebuah tempat misterius, penuh tantangan yang menanti. Adrenalin mulai mengalir dalam darahku. Ini adalah awal baru.
“Berikutnya, kita ke Jakarta Underwater!” Cedric mengumumkan, suaranya penuh semangat. Kami semua bersorak. Di dalam hati, aku merasakan campuran antara kegugupan dan antusiasme yang mendidih.
“GOOO!!” teriakan serempak kami menggetarkan udara.
Dan begitulah, petualangan baru dimulai. Kami tahu ini tidak akan mudah. Tapi dengan semangat dan keberanian yang terbarukan, kami siap menghadapi apa pun yang ada di depan sana.
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22