Saat Stark mulai menceloteh dengan nada sinis, aku merasakan sedikit keraguan dalam diriku sendiri.
“Kalau begitu, bagaimana kau bisa menggunakannya?” katanya dengan nada skeptis.
Aku menggigit bibir, merasakan sedikit ketidakpastian menyusup. “Sebenarnya... yang kumaksud adalah, aku ingin menciptakan kekuatan teleportasi, supaya bisa kugunakan.”
Wajah mereka semua berubah seketika—kaget, terheran-heran, dan penuh rasa penasaran. Mata Riko paling besar saat ia melontarkan pertanyaannya, “Kau bisa menciptakan kekuatan?”
Aku mengangguk pelan. “Tapi ada satu hal,” lanjutku. “Aku perlu membayangkan setiap unsur penggerak untuk menciptakan kekuatan itu.”
Kesya, yang dari tadi mendengarkan, menatapku tajam sebelum berkata, “Jadi, kamu perlu tahu bagaimana teleportasi bekerja?”
Aku hanya bisa mengangguk lagi. Tidak mudah bagiku untuk menjelaskan apa yang ada dalam pikiranku saat ini. Aku tahu aku punya potensi, tapi kemampuan ini tidak pernah kucoba sebelumnya.
Kesya berbalik menatap Stark dan menggerakkan alisnya ke arah atas, sedikit menggoda, seolah memberinya tanda untuk berbicara. Stark, dengan mendesah frustasi, akhirnya menyerah.
“Iya, iya, aku tahu. Huh,” katanya sambil berjalan mendekat. “Orion, buka layar hologram!”
Dalam hitungan detik, panel layar hologram muncul di hadapanku. Aku melihat berbagai penjelasan tentang teleportasi, dan rasanya kepalaku mulai berdenyut sedikit. Semua ini terdengar sangat teknis.
“Tidak banyak yang bisa kujelaskan,” kata Stark sambil menunjuk layar. “Intinya, teleportasi bisa dilakukan jika ada dua titik—titik pengirim dan titik penerima. Masalahnya adalah bagaimana memahami cara kerja partikel di dunia kuantum. Menurut hukum fisika, ini hampir mustahil dilakukan.”
Aku menatap layar, melihat diagram dan rumus yang terpampang di hadapanku. Jujur saja, aku tidak mengerti sebagian besar dari penjelasan itu. Tapi aku mencoba untuk tetap fokus. Setidaknya, ada gambar dan video yang membantu otakku memahami konsep dasarnya.
“Ada kemungkinan berhasil, walau hanya 10%,” lanjut Stark. “Itu cukup banyak untuk dikatakan tidak mustahil. Kau hanya perlu memindahkan partikelmu seperti pesan online.”
Kata-katanya menggantung di udara, membuat aku terdiam. Hanya 10% kemungkinan berhasil? Itu persentase yang sangat kecil... Namun, di tengah kekacauan ini, itu lebih baik daripada tidak ada sama sekali.
“Baguslah,” Cedric mendesakku. “Kalau begitu, lakukan, Rika. Kita tidak punya banyak waktu.”
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri dan memfokuskan pikiranku. Tapi sebelum aku sempat memulai, Stark kembali menghentikan.
“Bentar!” katanya.
Aku mengerutkan kening. “Ada apa?”
Stark mendesah frustasi lagi. “Aku belum selesai. Lagipula, aku belum memberitahumu risikonya.”
“Risiko?” jantungku berdegup lebih cepat.
“Iya. Risiko kegagalan sangat besar,” jawab Stark dengan nada serius. “Jika gagal, kau mungkin akan mati. Atau lebih buruk lagi, tubuhmu bisa meledak, atau eksistensimu hilang begitu saja karena partikelmu tidak berhasil muncul di titik penerima. Masalahnya, kau harus memindahkan setiap partikel atom yang menyusun tubuhmu, dan jumlahnya... sangat besar.”
Aku menelan ludah, merasakan ketakutan perlahan merayapi tubuhku. “Berapa persen kemungkinan itu terjadi?” tanyaku dengan suara yang sedikit bergetar.
“90% kemungkinan gagal,” jawab Stark tegas.
90% kemungkinan gagal? Aku merasakan dingin menjalari punggungku. Rasanya seperti dihantam oleh kenyataan yang sangat keras. Peluang keberhasilan hanya 10%, dan kegagalan berarti... kematian. Ini benar-benar gila. Tapi aku tahu, tidak ada pilihan lain.
Aku mengepalkan tangan, merasakan keringat dingin di telapak tanganku. “Aku tetap melakukannya,” jawabku tegas, meskipun rasa takut menyelimuti hatiku. Cedric, yang sedari tadi memperhatikan, segera menghentikanku.
“Tunggu, Rika. Ini terlalu berisiko,” katanya, suaranya dipenuhi kekhawatiran.
Aku menatapnya, rasa frustasi mulai memuncak dalam diriku. “Tidak ada pilihan lain, Cedric.”
“Pasti ada. Aku yakin,” jawabnya keras kepala.
Aku menghela napas dalam-dalam, mencoba meredam rasa kesalku. “Cedric, kau tidak ingat apa yang kukatakan di markas komando?”
Ucapan itu membuatnya terdiam. Perlahan, ia melepaskan cengkeraman tangannya di bahuku. Pandangannya berubah sedikit melunak, meskipun kekhawatiran masih tergambar jelas di wajahnya.
Tiba-tiba, seseorang berseru memanggilku dari belakang. Aku berbalik, menatap ke arah suara itu.
“Rika, kita masih bisa mencoba kekuatanmu dengan benda mati,” saran seseorang.
Aku terdiam sejenak, merenungi saran itu. “Begitu, ya... Tapi bagaimana dengan Rey?”
Roki maju ke depan, wajahnya penuh tekad. “Biarkan kami yang mengurusnya,” katanya dengan tegas.
“Iya,” tambah Stark. “Aku sudah menganalisis kemungkinan. Selama kita tidak membunuhnya, transformasinya tidak akan menjadi masalah.”
Aku mengangguk, sedikit lega mendengar rencana baru yang muncul. Mungkin ini bukan solusi sempurna, tapi setidaknya memberiku waktu untuk mencoba kekuatan ini dengan cara yang lebih aman.
Cedric berdiri paling depan, mengepalkan tangannya, memancarkan aura kepemimpinan yang kuat.
“Baiklah, tim,” serunya dengan semangat yang kembali menyala. “Ayo maju!”
“Ya!” teriak mereka serempak.
Flash! Flash!
Bum!
Suara pukulan menggema di kejauhan, sebuah tanda bahwa pertempuran masih berlangsung sengit. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha meredam segala keraguan yang membuncah di dadaku. Aku harus fokus pada tugas yang ada di depanku, sebuah kemampuan yang bahkan aku sendiri tak yakin bisa kulakukan.
“Baiklah, tidak ada waktu untuk memikirkan hal lain. Saatnya fokus,” bisikku pada diri sendiri. Tanganku mulai merentang—satu mengarah ke sebuah batu di kiri, dan satunya lagi ke batu lain di kanan. Aku memejamkan mata, mencoba menyelam lebih dalam ke dalam fokusku.
Butuh dua menit penuh untuk masuk ke dalam ruang sunyi dan gelap yang selalu muncul ketika aku berada dalam tingkat konsentrasi tertinggi. Di sini, dalam kegelapan pikiran, hanya ada aku dan bayangan dua batu yang harus kupindahkan.
Aku mulai membayangkan kedua batu itu. Setiap detil kecil dari bentuknya, teksturnya, hingga susunan atom yang menyusunnya. Dalam ruang pikiranku, partikel-partikel atom mulai muncul, berputar di sekitarku seperti bintang-bintang kecil yang bersinar. Mereka tampak sama seperti ilustrasi dalam buku fisika yang pernah kulihat. Aku mulai menghitung, juga menghapal posisi atom, berusaha memindahkan partikel-partikel itu dengan cepat dan tepat.
Pelan-pelan, partikel atom mulai bergerak, saling bertukar tempat. Rasanya seperti memainkan puzzle paling rumit di dunia, tapi kali ini aku sedang mempertaruhkan nyawa, bukan hanya sebuah permainan. Keringat mulai mengalir di pelipisku meskipun pikiranku terfokus pada hal ini.
Setelah persiapan selesai, aku membuka mata. Aku bisa merasakan jantungku berdebar lebih cepat. Gugup. Takut. Jika aku gagal, aku harus mengulangi semuanya lagi, dan itu akan sangat melelahkan.
“Imagination: Teleportation!”
Zip! Batu itu hilang. Tapi bukan berpindah tempat seperti yang kubayangkan. Batu itu benar-benar menghilang, seolah-olah ditelan oleh ketiadaan. Tidak ada debu, tidak ada jejak apapun. Rasanya perutku mengerut. Ini bukan hasil yang kuharapkan.
“Aku gagal,” gumamku, suara penuh frustrasi. “Baiklah, aku coba lagi.” Aku kembali memejamkan mata, berusaha mengulang proses yang sama. Aku mencoba empat kali berturut-turut, tapi hasilnya tetap sama. Kadang batunya hancur, kadang juga hilang tanpa jejak. Setiap kali mencoba, rasanya pikiranku semakin kacau, dan tubuhku semakin lelah.
“Ini aneh. Aku sudah memindahkan setiap partikel atomnya,” aku merenung, berusaha memahami apa yang salah. Tapi sebelum aku sempat menemukan jawabannya, sebuah *ledakan besar menggelegar, membuyarkan konsentrasiku.
Bum!
“Orion, tembak!” terdengar seruan dari kejauhan.
Bum! Ledakan terus menggema, mereka semua masih berjuang, berusaha memberikan waktu yang kubutuhkan. Aku menatap batu di depanku. Apa aku akan menyerah begitu saja? Tidak, ini belum selesai.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa putus asa yang mulai merayap di dadaku. “Aku harus lebih fokus lagi.”
“Imagination: Teleportation!”
Zip! Batu itu berpindah tempat. Berhasil! Aku menatapnya dengan perasaan campur aduk antara lega dan takjub. Batu itu bersinar putih sebentar sebelum menghilang dan muncul di tempat yang baru. Dalam satu kedipan mata, batu itu sudah berpindah ke posisi yang baru.
“Semuanya, aku sudah siap!” teriakku. Ini saatnya rencana dimulai.
Dalam sekejap, yang lain muncul di kanan dan kiriku. Cedric, dengan tatapan tenang dan percaya diri, segera memasang absolute barrier. Dia sudah semakin ahli sejak menggunakan cincin kristal biru itu. Semua terlihat bersiap, mata mereka penuh dengan determinasi.
“Sekarang, Rika!” teriak Cedric. Aku mengangguk, kembali memejamkan mata dan masuk ke dalam ruang sunyiku. Ruangan itu gelap dan sunyi, tempat di mana semua kekuatan yang ingin kuciptakan bisa dibayangkan dengan jelas.
Namun kali ini jauh lebih rumit. Aku harus membedakan partikel atom dari Stark, Kesya, Cedric, Riko, dan diriku sendiri. Kepalaku mulai terasa sakit, lebih sakit daripada sebelumnya. Di hadapanku, butiran-butiran atom yang tak terhitung jumlahnya berputar, semuanya terurai dengan begitu kompleks. Aku harus mengingat setiap butir partikel, memastikan tidak ada yang terlewat.
“Aaaaargh!” aku berteriak, rasa nyeri di kepalaku semakin menjadi-jadi, seperti ditindih oleh puluhan ton beban. Suara-suara mulai terdengar samar-samar, menyusup ke dalam ruang fokusku.
“Rika, apa yang terjadi? Hey!” Suara Cedric terdengar, sayup-sayup menembus kabut pikiran.
Aku menarik napas panjang, mencoba meredakan kekacauan di dalam pikiranku. Aku harus tetap fokus. Aku mulai menghitung dengan lebih presisi, mencari satu partikel kecil yang bisa kupegang, memastikan ingatanku tetap tajam untuk setiap butir atom.
Sejauh ini sudah cukup baik. Aku hanya perlu menemukan titik penerima. Untungnya, aku sudah menentukan titik itu sebelumnya, jadi yang tersisa hanyalah memindahkan setiap materi berskala kuantum ini dalam satu hentakan.
Selama 10 menit, aku menghafalkan jutaan, bahkan miliaran partikel kuantum, dibantu oleh ingatan photographic yang kumiliki. Keringat mulai mengalir deras di dahiku, tubuhku mulai gemetar karena ketegangan yang luar biasa.
Akhirnya, aku membuka mata. Segalanya sudah siap.
“Semua bersiap, dan jangan banyak bergerak!” seruku dengan suara tegas. Mereka semua mengikuti perintahku, dan aku bisa merasakan detik-detik kritis semakin mendekat.
“Imagination: Teleportation!” Kalimat perintah itu keluar dari bibirku, dan seketika cahaya terang muncul, menutupi seluruh pandanganku. Kaki-kakiku terasa tidak lagi menyentuh tanah. Aku merasakan sensasi melayang dan jatuh.
Zip! Aku membuka mata perlahan. Cahaya itu hilang, dan sekarang kami... kami sudah di luar kubah penjara.
“Berhasil, Rika!” teriak Kesya, suaranya penuh kegembiraan. Sebelum aku sempat merespons, dia sudah melompat dan memelukku erat. Aku merasa sedikit terhuyung, tetapi tak bisa menahan senyum. Rasanya lega, meski tubuhku masih gemetar akibat ketegangan dari teleportasi barusan.
Namun, kegembiraan itu tak berlangsung lama. Dari balik kubah penjara, aku bisa melihat Rey. Matanya penuh amarah, dan dia mulai memukul-mukul dinding kubah dengan kekuatan yang mengerikan.
Dub! Dub! Bum!
Suara hantaman itu begitu keras hingga dadaku ikut bergetar. Aku menahan napas, berharap dinding penjara itu cukup kuat untuk menahan amukannya.
“Cedric, sekarang!” seru Stark dengan nada mendesak. Cedric segera mengangguk, merentangkan tangannya ke depan. Dari telapak tangannya, cahaya biru mulai menyala, berkilauan dengan intensitas yang membuatku terpana. Kilatan cahaya itu membentuk sebuah kubah baru yang menyelimuti kubah penjara, seperti lapisan pelindung kedua.
Aku menelan ludah, lega namun tetap tegang. Dengan dua lapisan ini, setidaknya kami punya waktu lebih lama sebelum Rey bisa meloloskan diri.
“Apa yang kalian lakukan?” Suara tajam dan penuh otoritas tiba-tiba terdengar, membuat kami semua terkejut. Sekilas aku berpikir itu musuh baru, tetapi ternyata itu hanya Kapten Lilyfa.
Rasa lega langsung mengalir, meski kehadirannya tetap membuatku sedikit gugup. Kapten Lilyfa berdiri tegap di hadapan kami, tubuhnya penuh luka dan debu, tapi tatapannya masih setajam biasa. Dia sosok wanita yang tegar dan tak kenal lelah, meskipun jelas dia baru saja melewati pertempuran berat.
“Kapten, di mana Rey?” tanya Stark, suaranya terdengar cemas.
“Seharusnya aku yang bertanya, di mana Rey?” Kapten Lilyfa balas bertanya, tatapannya menusuk kami satu per satu. Wajahnya penuh kekesalan, tubuhnya terluka, tetapi masih berdiri tegap, menunjukkan ketangguhan yang selalu ku kagumi darinya.
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian untuk bicara. “Izin, Kapten.” Aku mengangkat tangan, sedikit gemetar. Tatapannya langsung tertuju padaku, dingin dan penuh tuntutan.
“Ada apa? Cepat katakan,” katanya dengan nada keras.
“Anu... Jenderal Rey sudah ada di dalam kubah itu. Aku... aku memindahkannya sekalian.” Aku menunjuk kubah besar di hadapan kami. Kubah itu tampak kokoh, berdiri setinggi 10 meter dengan radius sekitar 20 meter.
“Apa yang kalian lakukan dengan mereka berdua? Huh?!” Wajah Kapten Lilyfa memerah, penuh amarah. Aku merasa seperti anak kecil yang baru saja dimarahi orang tua. Tapi sebelum aku sempat merasa lebih bersalah, Kesya segera melangkah maju dan menjelaskan semua kejadian dengan tenang. Syukurlah dia ada di sini, pikirku.
Namun, penjelasan itu tak sempat diselesaikan karena tiba-tiba ada kilatan cahaya terang yang menusuk mata kami.
BUUMMM!
Ledakan besar mengguncang tanah, seolah-olah sebuah bom nuklir meledak. Aku bisa merasakan getarannya di sekujur tubuhku. Seluruh energi yang besar itu tertahan di dalam dua lapisan kubah, dan aku hanya bisa menatap terperangah.
“Apa ini akan aman?” tanya Kapten Lilyfa, suaranya terdengar lebih tenang sekarang, meskipun wajahnya masih dipenuhi ketegangan.
Aku mengangguk, mencoba memberi penjelasan. “Aman, Kapten. Absolute barrier milik Cedric bisa menahan apapun tanpa tertembus,” jawabku dengan yakin, meskipun jauh di dalam hati, aku masih merasakan sedikit keraguan.
Kilatan cahaya itu perlahan mulai mereda, menyisakan asap tebal yang begitu pekat hingga tak ada cahaya sedikit pun yang bisa menembusnya.
Aku menutup mataku dan mengaktifkan kemampuanku. “Imagination: Pathography.” Melalui mata batinku, aku mencari tanda-tanda kehidupan dari dalam kubah, tetapi yang kutemukan hanyalah kehampaan.
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara, “Kedua jenderal sudah dikonfirmasi meninggal, Kapten.” Kata-kata itu meluncur dari bibirku dengan perasaan campur aduk. Lega, tapi juga sedikit pahit.
“Yes!” Sorak kemenangan langsung terdengar dari Kesya yang melompat kegirangan, memelukku lagi. Stark tersenyum tipis, Cedric tertawa lebar, dan Riko mengangguk sambil ikut tersenyum. Bahkan Kapten Lilyfa, meskipun tetap diam, terlihat tersenyum kecil dengan bibir merah mudanya.
Waktu berlalu, mungkin sekitar lima menit setelah ledakan itu, ketika para jenderal mulai berdatangan. Mereka berkumpul di sekitar kami, penasaran dengan ledakan yang baru saja terjadi. Mereka mungkin bisa melihat kilatan cahaya itu dari seluruh kota, bahkan di siang hari yang cerah.
“Kapten Lilyfa, laporkan situasi!” perintah Jenderal 1 dengan nada tegas.
“Baik, Jenderal,” jawab Kapten Lilyfa, memberi hormat sebelum melanjutkan laporannya. Aku hanya bisa mengamati dari tempatku berdiri, merasakan lega yang perlahan mulai mereda.
Tapi kedamaian itu hanya bertahan sekejap. Dalam hitungan detik, suasana yang tadi penuh kemenangan berubah menjadi mimpi buruk.
Ctar!
Kilatan petir tiba-tiba menyambar dari langit, menghantam tubuh Jenderal 2 dengan kekuatan dahsyat. Aku melihat tubuhnya terlempar jauh ke belakang, dan dalam sekejap, dia tak lagi bernyawa.
“Pasang tameng!” seru Jenderal 1, suaranya penuh kepanikan. Dia baru saja melihat rekannya tewas di depan matanya.
“Barrier: Absolute Barrier!” teriak Cedric, berusaha memunculkan pertahanan dengan cepat.
Aku mencoba melakukan hal yang sama. “Imagination: Transparent Shield—uhh!” Namun, sebelum perisai itu terbentuk, tiba-tiba dadaku terasa sesak. Darah segar menyembur dari mulutku, dan aku bisa merasakan cairan hangat mengalir dari telingaku. Pandanganku buram, tubuhku terasa begitu lemah, seolah-olah semua energiku habis dalam sekejap.
Aku jatuh terduduk di atas tanah, tubuhku bergetar, sementara suara Cedric yang berteriak memanggil namaku terdengar samar-samar di telingaku.
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22