Apa yang akan kalian pikirkan jika melihat dua orang aneh dengan kostum yang benar-benar tidak sesuai dengan situasinya? Namun, di medan pertempuran seperti ini, aku harus segera melupakan niat untuk mengolok-olok seragam lawan. Dari cara mereka bergerak saja, sudah jelas bagaimana kualitas mereka sebagai lawan kami. Dua pria itu, satu dengan pakaian layaknya dokter dan satu lagi seperti binaragawan, sama sekali tidak bisa dianggap remeh.
“Mereka?” tanya Stark dengan alis terangkat, menyuarakan kebingunganku juga. Wajahnya tampak bingung, seperti diriku yang mencoba mencerna situasi aneh ini.
“Abaikan seragam aneh mereka. Mereka berdua adalah jenderal teror malam,” seru Kapten Lilyfa, mengingatkan kami semua dengan nada tegas. Aku langsung kembali fokus, menyadari betapa seriusnya situasi ini.
“Kesya,” Kapten Lilyfa menoleh ke arah Kesya yang segera menjelaskan.
“Benar, Kapten. Pria berbadan tegap dengan jubah putih, kacamata laboratorium, dan senjata biologis itu adalah Rey,” kata Kesya, nada suaranya penuh ketenangan, meski suasana di sekeliling kami mencekam.
“Yang satunya lagi, berbeda, berbadan kekar dengan pakaian binaragawan dan tombak emas, adalah Ray,” lanjutnya.
Suasana tiba-tiba menjadi hening. Meski Kesya memberikan penjelasan lebih detail tentang kedua jenderal itu, aku tidak benar-benar mendengarkan. Fokusku kini hanya pada kenyataan bahwa kami harus menghadapi lawan yang sangat kuat, yang layak menyandang gelar jenderal.
“Rey, apakah kali ini kau siap? Lawan kita hanya anak-anak,” ejek Ray dengan nada meremehkan, seolah apa yang ada di hadapannya hanyalah permainan kecil.
“Tidak perlu kau jelaskan, Ray. Aku tidak buta,” balas Rey dengan suara datar.
Perlahan, mereka mulai melangkah mendekat, berjalan beriringan sambil menatap tajam ke arah kami. Suara langkah mereka terasa seperti gemuruh yang semakin mendekat, menambah ketegangan di sekitarku. Jantungku berdegup kencang. Setiap detik yang berlalu membuatku semakin sadar betapa seriusnya ancaman ini.
“Formasi!” seru Kapten Lilyfa dengan tegas.
Kami segera bergerak ke posisi yang sudah ditentukan. Kapten Lilyfa berada di depan dengan Cedric tepat di belakangnya. Setengahnya berada di tengah, sementara aku bertugas menjaga sisi belakang. Aku merasakan ketegangan di seluruh tubuhku, tapi aku mencoba mengendalikan perasaan itu. Mataku fokus pada kedua jenderal yang berjalan dengan santai, seolah mereka hanya akan menghancurkan mainan anak kecil di tengah jalan.
Tiba-tiba, sebuah kilatan cahaya melesat dengan kecepatan yang hampir tak terlihat. Flash!
“Huh!” Kami semua tersentak kaget. Dalam sekejap mata, Rey menghilang, meninggalkan Ray yang masih berjalan santai sekitar 20 meter dari kami.
“Rika!” seru Cedric, suaranya mengandung perintah yang jelas. Aku segera menutup mata, dan dengan cepat mengucapkan perintah kekuatan yang sudah terlatih, “Imagination: Pathography.”
Sekali lagi, aku memasuki mode fokus tertinggi. Aku mencoba merasakan aura Rey, tapi itu tidak mudah. Auranya terasa samar, tidak seperti jenderal pada umumnya, seolah ia berusaha menyamarkan dirinya menjadi bagian dari prajurit biasa di sekitar kami. Namun, setelah beberapa detik yang penuh ketegangan, aku akhirnya menemukannya.
“Di kiri, di atas gedung!” teriakku memperingatkan, membuat yang lain segera menoleh ke arah yang kutunjukkan.
Namun, di saat yang bersamaan, kapten Lilyfa berteriak, “Hey, perhatikan di depan kalian!”
Ray menembakkan senjata railgun-nya yang berbahaya, sementara Rey melompat dengan tombaknya, mengarah langsung ke barisan kami. Cedric, yang berada di belakang Kapten, segera bertindak.
“Barrier: Multi-Layered Barrier Bubble!” teriak Cedric, membentuk lapisan perisai pelindung di sekeliling kami.
Ziiiiiiiiiiiing! Suara railgun Rey menggema, dengan cepat mengikis setiap lapisan barrier yang dibuat Cedric. Aku bisa melihat lapisan demi lapisan mulai retak, dan aku tahu, jika ini terus dibiarkan, tembakan itu akan menembus dan membunuh kami.
Buuum! Ray dengan kekuatannya yang dahsyat, menghantam barrier dengan tombaknya, membuat lapisan terakhir dari barrier itu hancur berkeping-keping. Detik berikutnya, serangan dari railgun Rey hampir mencapai kami.
Namun, tepat pada saat kritis itu, seseorang berteriak dengan suara lantang, “Barrier: Absolute Barrier!”
BUMMM! Cahaya biru terang tiba-tiba memenuhi pandanganku, hampir menyilaukan mataku. Suara tembakan railgun melengking, memekakkan telinga, dan tombak panjang Ray masih mencoba menembus perisai yang baru muncul ini, tapi semuanya sia-sia.
“Bagaimana caranya, Cedric?” tanyaku dengan nada terpesona, melihat cahaya biru yang indah itu. Rambut Cedric berkibar-kibar oleh angin yang tercipta dari kekuatan barrier, menambah ketampanannya yang semakin tampak di bawah sinar biru itu.
“Aku tidak tahu, Rika. Tubuhku bergerak sendiri membuat perisai ini,” jawabnya dengan nada bingung, sama seperti saat kejadian di stadion.
Aku hanya bisa terdiam, merasa kagum sekaligus terkejut. Di tengah kekacauan ini, perasaan takut dan kagum bercampur aduk di dalam diriku. Meski kami baru saja selamat dari serangan mematikan, aku tahu ini baru permulaan.
Suasana terasa tegang. Jantungku berdegup cepat seiring dengan kekacauan di sekitar kami. Ketika Stark menanyakan apakah tameng Cedric akan bertahan lama, aku bisa melihat garis kecemasan di dahinya. Aku mencoba tersenyum, meski di dalam hati, aku sendiri tidak yakin seberapa lama kami bisa bertahan. “Kita akan aman,” jawabku, suara mencoba terdengar tenang. “Tameng ini mustahil ditembus.” Tapi aku tahu, semuanya mungkin.
Mereka semua mundur, kecuali Cedric yang masih berada di depan, mempertahankan barrier dengan kedua tangannya yang gemetar. Sorotan tajam matanya tidak pernah lepas dari musuh, seakan dia tidak akan membiarkan mereka melewati kami. Di sisi lain, Stark sudah bersiap.
“Constellation: Orion!” serunya lantang, melafalkan mantra dengan kepercayaan diri yang menular. Cahaya bercahaya mulai membentuk titik-titik di udara, konstelasi Orion terbentuk di depan kami. Perlahan, Orion—sang pemburu mitologis—terlihat jelas, memegang busur besarnya.
Ketika Orion menarik busur, dunia seolah berhenti sejenak. Aku bisa mendengar detak jantungku, serasa ada di telingaku sendiri. Mataku terpaku pada Rey, jenderal dengan railgun biologisnya yang berbahaya. “Tembak!” seru Stark, memecah keheningan.
Anak panah Orion terlepas, membelah udara dengan kecepatan tinggi. Dalam sekejap, tembakan railgun yang melesat kencang itu terbelah dua oleh anak panah bintang. BUM! Hampir saja mengenai moncong railgun Rey. Mereka terpaksa mundur. Namun, aku tidak merasa lega. Ini baru awal.
“Rey, mundur!” seru Ray dengan tombaknya. Flash! Rey mendarat dengan mulus, tetapi wajah mereka tidak terlihat khawatir. Ada diskusi singkat di antara mereka, sementara kami menunggu dengan waspada. Tubuhku tegang, persiapanku selalu siap menghadapi apa pun yang akan terjadi selanjutnya.
Ray memandang kami dengan tatapan menantang, senyum jahat terukir di wajahnya. “Kalian cukup hebat,” katanya, suaranya terdengar menggema.
“Kalian juga,” balas kapten Lilyfa dengan tenang, meskipun aku bisa merasakan ketegangan yang merayap di bawah permukaan.
Ray tertawa, tawa jahat yang terdengar di telingaku seperti lonceng kematian. Atmosfer di sekitar kami berubah, semakin berat dengan setiap kata yang dia ucapkan. “Aku mengerti sekarang,” lanjutnya. “Lawan yang hebat adalah yang bisa saling mengenal.”
Rey, yang mengambang di udara, tampak tidak sabar. “Ray, cepatlah,” gumamnya. “Aku tidak punya waktu untuk ini.”
Dan dalam sekejap, tanpa peringatan, Ray melesat cepat dengan tombaknya mengarah ke depan, siap menusuk siapa pun di hadapannya. Kapten Lilyfa langsung bereaksi, pedang pendeknya—katana kecil yang tersembunyi di antara lipatan celananya—menghadang tombak tersebut dengan kilatan suara yang tajam. Ziiing! Ziiing!
Gerakan mereka begitu cepat, sulit untuk diikuti dengan mata telanjang. Setiap benturan antara pedang dan tombak menciptakan percikan cahaya, keduanya bergerak seperti bayangan yang saling mengejar. Tetapi aku tahu, kapten Lilyfa sedang kesulitan. Ray terlalu kuat.
Sementara itu, Rey bersiap menembakkan railgunnya lagi. Aku bisa merasakan hawa panas di sekitar senjatanya, siap melepaskan serangan mematikan.
“Tameng di kanan!” seru kesya dengan cepat.
“Barrier: absolut barrier!” Cedric melafalkan kekuatan pertahanan, membentuk lapisan perlindungan untuk menahan tembakan railgun yang segera datang.
Ziiiiiiing! Railgun melepaskan tembakannya. Cahaya biru terang bersinar, suara ledakan terdengar begitu keras, menciptakan gelombang kejut yang menggetarkan tanah di bawah kaki kami. Tapi barrier itu bertahan, walau perlahan mulai retak.
“Stark, tembak!” Kapten Lilyfa berteriak lagi, memimpin dengan ketegasan luar biasa. “Orion, tembak!”
Piuuu! Anak panah Orion terbang lagi, memecah gelombang railgun menjadi serpihan yang tidak berbahaya. Tapi itu tidak menghentikan Ray, yang melesat ke arah kami dengan tombaknya terhunus, siap menyerang.
“SIAPAPUN BELAKANG!” Seruan panik dari Kesya membuatku segera berlari ke posisi belakang.
“Barrier: transparent shield!” Aku memanggil perintah pertahanan lainnya, tetapi kali ini, serangan Ray terlalu kuat. Buuum! Ledakan besar menghancurkan shield-ku, membuatku terhempas beberapa meter ke belakang. Rasa sakit menjalar di tubuhku, tapi aku masih hidup. Cedric segera berlari menghampiriku, wajahnya tegang.
“Kau baik-baik saja, Rika?” tanyanya.
Aku mengangguk, meskipun tubuhku gemetar. “Kita tidak bisa mundur sekarang,” bisikku, dan dalam hatiku,
Pertempuran ini berlangsung intens dan tanpa ampun. Lawan tidak memberi kami ruang untuk bernafas. Tembakan railgun mereka menggema di udara, menghantam barrier Cedric berulang kali selama lebih dari sepuluh menit. Dentuman demi dentuman bergema, menegaskan betapa genting situasi ini. Setiap tembakan railgun menambah ketegangan yang menekan dada kami.
“Barrier: absolute barrier!” Cedric mengerahkan kekuatannya lagi, menciptakan pelindung di sekeliling kami. Tembakan railgun bertubi-tubi menabrak barrier, menyebabkan getaran hebat. Aku bisa merasakan energi Cedric yang semakin terkuras, tapi dia bertahan—seperti tembok yang tak tergoyahkan.
Di luar barrier, kapten Lilyfa bertarung dengan gigih. Dia sesekali berhenti sejenak, menyeka keringat di dahinya, kemudian kembali meluncur ke arah musuh dengan kecepatan dan ketepatan yang mencengangkan. Namun, aku bisa melihat tubuhnya semakin melemah. Luka di bahunya terlihat parah—darah mengalir deras dari luka terbuka di perutnya, memperlambat regenerasinya.
“Kesya, Stark, kondisi kapten memburuk,” ucap Roki, suaranya cemas. Aku pun ikut cemas, tak tahu berapa lama lagi kapten bisa bertahan.
“Aku tahu,” jawab Stark dingin, seolah tak terganggu. Sikapnya selalu tenang, namun aku bisa merasakan ketegangan dalam suaranya.
“Menyelesaikan ini dengan cepat mustahil,” tambah Kesya, suara getirnya mempertegas situasi yang kacau ini. Kami terperangkap dalam pertempuran yang seakan tidak memiliki akhir.
Tiba-tiba, Rey, sang jenderal musuh, menghentikan tembakannya dan berteriak marah, “Coba tahan yang satu ini. Molecular manipulation: toxic smoke!”
Seketika, peluru railgun-nya ditembakkan lagi, namun kali ini dilapisi dengan asap beracun. Peluru itu menghantam barrier Cedric dengan suara menggelegar. Bum! Asap beracun mulai menyebar di depan kami, menembus celah kecil dalam barrier yang tidak mampu menahan serangan non-fisik seperti ini. Aku merasakan jantungku berhenti sejenak. “Cedric!” teriakku ngeri, asap beracun mulai memenuhi ruang di dalam barrier.
Jika kami tetap di sini, kami akan mati. Cedric segera menyadari hal itu. “Semuanya, berpencarlah sejauh mungkin! Aku akan membuka barrier.”
Keputusan harus diambil dalam sekejap. Kami tidak punya waktu untuk berpikir panjang. “Tahan napas kalian!” seru Cedric. Kami semua segera menutup mulut dan hidung, bersiap melarikan diri dari asap beracun yang semakin mendekat. Cedric memberikan hitungan mundur dengan jarinya. Asap itu sudah merayap ke dalam, semakin pekat, semakin mencekam.
“Sekarang!” Cedric membuka barrier, dan kami semua melesat ke segala arah. Rey segera menyadari pergerakan kami dan mulai menembakkan railgun-nya ke arah kami dengan keganasan yang luar biasa.
“Kalian pikir bisa kabur, hah?! Molecular manipulation: explosive powder!”
Aku mendengar dentuman keras di belakangku. Bum! Ledakan dari tembakan railgun Rey terjadi hanya sedetik setelah aku melompat ke samping, menghantam tanah dan membuat tubuhku terpental beberapa meter. Ledakan itu tidak berhenti di situ. Aku terus melindungi diri dengan perisai transparan yang kupanggil, tapi tembakan bertubi-tubi dari Rey menghujaniku tanpa ampun.
Bum! Bum! Dua tembakan lagi menghantam perisai, membuatnya retak. Aku bisa merasakan tekanan di tubuhku, seolah-olah akan hancur bersamaan dengan perisai yang mulai goyah.
“Rika, tutup telingamu!” seru Kesya tiba-tiba. Tanpa berpikir panjang, aku segera menutup kedua telingaku rapat-rapat.
“Flute: Scream!” Gelombang suara memecah udara, menghantam peluru-peluru peledak Rey di udara sebelum sempat menghancurkan perisaiku. Bum! Ledakan terjadi di udara, sedikit menjauhkan ancaman dari diriku.
Namun, perhatian Rey kini tertuju pada Cedric. Aku melihatnya, Cedric sudah berada di belakang Rey, melompat dengan kecepatan luar biasa, tangannya terkepal siap menghantam.
Bum! Pukulan Cedric, diperkuat dengan barrier-nya, menghantam tubuh Rey telak. Rey terlempar ke tanah dengan keras. Tapi dia segera bangkit lagi, meskipun tubuhnya jelas sudah terpukul. Tangannya gemetar saat menopang tubuhnya yang kini terluka. Meski begitu, Rey tidak menyerah. Dia melayang lebih tinggi, jauh dari jangkauan Cedric.
“Bagaimana kita bisa menyerangnya kalau dia setinggi itu?” keluh Stark, nadanya frustasi.
Kesya juga tampak berpikir keras. “Mustahil kalau kita hanya saling tembak, dia hanya akan mengulur waktu kita,” gumamnya.
Suasana tiba-tiba sunyi, semua sibuk mencari solusi dalam kepala masing-masing. Rasanya seperti kebuntuan yang sulit dipecahkan.
Lalu Cedric berbicara, memecah keheningan, “Tidak, ini tidak mustahil.”
Aku menatapnya, terkejut dan penasaran. “Bagaimana caranya?” tanyaku, suaraku penuh harapan.
Namun, Stark segera memotong, “Jangan dengarkan dia, Kesya!” Wajahnya menunjukkan keraguan yang mendalam, tapi di mataku, Cedric punya rencana.
Kesya menggeleng pelan, tapi dengan senyum lembut yang selalu membuat suasana lebih ringan. Senyum yang sama sejak awal, seolah-olah dia adalah satu-satunya yang benar-benar mengerti kami, satu-satunya yang tidak menyimpan dendam, meskipun banyak alasan untuk melakukannya. Rasanya lega melihat senyumnya, bahkan di tengah kekacauan seperti ini.
“Mereka hanya mencoba mencari jalan keluar,” katanya, suaranya tenang. “Kecuali kamu punya cara lain, Stark.”
Stark terdiam. Aku bisa melihat kemarahan di matanya—bukan hanya kepada Cedric, tetapi juga kepadaku. Dia melotot tajam, seolah-olah itu bisa mengubah keadaan, tapi aku tidak mengalah. Aku balas menatapnya dengan intens, berusaha menahan rasa bersalah yang mulai merayap ke dalam hatiku.
Cedric, yang tetap tenang seperti biasanya, akhirnya angkat bicara. “Jendral Rey tidak bisa menggunakan kemampuannya di jarak dekat, kan?”
Yang lain mengangguk setuju, meskipun dengan keraguan di mata mereka. Aku bisa merasakan ketidakpastian yang menggantung di udara.
“Kalau begitu, kita hanya perlu menjebaknya,” Cedric melanjutkan.
“Perangkap?” tanya Roki dengan alis terangkat. Aku bisa mendengar keraguan dalam suaranya.
“Iya, perangkap. Seperti yang kulakukan waktu latihan melawan Roki,” Cedric menjelaskan, dengan nada yang terdengar lebih yakin dari sebelumnya.
Aku melihat Kesya menatapnya dengan tatapan berpikir, mencoba mencari logika di balik rencana itu. “Apa itu akan efektif terhadap jenderal sekuat Rey?” tanyanya.
Stark, yang tak pernah berhenti meragukan apapun, segera menambahkan, “Kurasa tidak. Itu bisa saja berubah menjadi bom bunuh diri buat kita.”
Cedric menggeleng pelan, tapi kali ini dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. “Ini rencana yang sempurna, Stark. Kita akan membuat dua barrier—satu untuk menjebaknya dan satu untuk melindungi kita. Dengan begitu, kita bisa memaksimalkan serangan jarak dekat tanpa khawatir terkena serangan balik.”
Keheningan menyelimuti kami sejenak. Aku bisa merasakan pikiran semua orang berputar cepat, mempertimbangkan setiap skenario buruk yang mungkin terjadi. Mungkinkah ini benar-benar berhasil? Atau apakah ini akan menjadi akhir yang tragis bagi kami?
“Tidak buruk,” Kesya akhirnya berbicara, memecah keheningan dengan nada optimis yang langka. Dia mengangguk pelan, menyetujui rencana Cedric. Aku merasakan sedikit kelegaan.
Namun, Stark tidak begitu mudah diyakinkan. “Tapi itu berisiko. Bagaimana kalau dia menggunakan kekuatan yang sangat besar saat kita juga terjebak di dalam barrier?”
Kesya menatap Stark dengan tatapan penuh pengertian, mengingatkannya dengan lembut, “Apa kau tidak ingat barrier biru sebelumnya? Itu sudah membuktikan bahwa kita bisa bertahan. Percayalah pada mereka, Stark. Aku tahu mereka bersalah karena membuat Freya dan Luna terbunuh. Aku tahu kamu mencintai Freya, dan aku mengerti kenapa kamu begitu kesal pada mereka. Tapi manusia tidak luput dari kesalahan, meskipun mereka bijak sekalipun.”
Setiap kata yang diucapkan Kesya menusuk hati. Aku merasa seluruh tubuhku membeku mendengar nama Freya dan Luna disebut. Kenangan tentang mereka melintas cepat di pikiranku—tawa mereka, harapan mereka, dan kesalahan fatal yang telah membawa kami semua ke titik ini. Rasa bersalah itu semakin berat, tapi di tengah semuanya, ada secercah harapan. Harapan bahwa kami bisa menebus kesalahan itu.
“Mereka layak mendapatkan kesempatan untuk membuktikan diri. Satu-satunya yang bisa kita lakukan sekarang adalah mempercayai mereka,” lanjut Kesya, suaranya penuh keyakinan.
Stark terdiam, terpaku di tempatnya. Untuk sesaat, aku melihat konflik batin di wajahnya—perjuangan antara amarah, rasa sakit, dan logika. Akhirnya, dia menghela napas panjang, menundukkan kepala sejenak sebelum berkata, “Oke, oke. Aku paham semuanya. Aku tidak seburuk itu, Kesya.”
Aku merasakan beban yang terangkat sedikit dari bahuku saat mendengar kata-kata itu. Stark mungkin masih marah, tapi setidaknya dia bersedia memberi kami kesempatan.
“Bagus,” kata Kesya, tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. Tatapannya kembali beralih ke Cedric. “Ayo, kita lakukan rencana ini.”
Cedric mengangguk mantap, membalas senyum Kesya dengan ekspresi penuh keyakinan. Kami tahu ini bukan tanpa risiko. Tapi sekarang, dengan rencana di tangan, kami hanya punya satu pilihan—berjuang, dan membuktikan bahwa kami layak untuk kesempatan kedua.
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22