Read More >>"> Evolvera Life (Episode 39) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Evolvera Life
MENU
About Us  

“Keluar atau aku hancurkan kau bersama bangunan ini,” seruan Cedric menggema di antara reruntuhan yang gelap. Hawa dingin dan suasana mencekam menyelimuti kami. Dari balik bayangan, sosok itu muncul perlahan, dan hatiku berdegup kencang saat mengenali wajahnya.

“Cedric, lihat! Itu... Kapten Lilyfa!” Seruan Cedric memecah keheningan, nadanya terdengar tidak seperti biasanya, seolah-olah dia tidak ingin mempercayai apa yang dilihatnya. Mataku terpaku pada sosok itu, dan dadaku terasa sesak oleh harapan yang mulai tumbuh. Mungkinkah Kapten Lilyfa tahu sesuatu tentang Freya dan Luna?

Aku berusaha menahan getaran di suaraku ketika bertanya, “Kapten Lilyfa, kamu melihat Freya dan Luna lari melewati jalan ini?” Nada suaraku penuh harap, bahkan mungkin terdengar putus asa. Kapten Lilyfa hanya berdiri di sana, diam. Tatapannya dingin, hampir tidak menyadari keberadaan kami.

Cedric melangkah mendekat, matanya penuh waspada saat melihat ke sekitar. “Kapten Lilyfa, dimana anggota regumu yang lain?” tanyanya, jelas ingin memahami situasi yang kami hadapi. Namun, jawaban yang diharapkannya tidak datang. Kapten Lilyfa tetap diam, menatap kami tanpa ekspresi, membuat suasana semakin tegang.

Saat itu, rasa takut mulai merayap di benakku, seperti cakar dingin yang mencengkeram hatiku. Ada yang tidak beres, dan instingku berteriak memperingatkan. “Apa yang terjadi?” Aku bertanya lagi, tapi kali ini suaraku bergetar. Aku mulai menyadari bahwa sesuatu yang mengerikan telah terjadi.

Kapten Lilyfa mengalihkan tatapannya dari Cedric ke arahku. Ada rasa sedih bercampur kemarahan yang terpancar dari matanya, membuatku semakin cemas. “Apa terjadi sesuatu dengan regumu?” tanya Cedric, suaranya mengandung kekhawatiran yang sulit dia sembunyikan.

Tiba-tiba, Kapten Lilyfa mengepalkan tangan, suaranya penuh frustrasi. “Kalian seharusnya lebih mengkhawatirkan anggota regu kalian sendiri!” teriaknya. Matanya yang kosong kini menyala dengan amarah, tajam dan menusuk. Kata-katanya menghantamku seperti pukulan keras. Lututku goyah, dan hatiku tenggelam dalam lautan ketakutan. Ini berarti sesuatu yang sangat buruk telah terjadi pada Luna dan Freya.

“Apa yang terjadi dengan mereka?!” Aku mendesaknya, suaraku meluap dengan keputusasaan. Aku butuh jawaban, tapi yang kuterima hanya dingin dan ketidakpedulian. “Tidak ada gunanya kau merengek begitu, Rika,” ucapnya dengan nada yang sama sekali tidak mengenal belas kasihan. Kata-katanya itu seperti pisau yang menusuk jantungku. Aku membeku, mataku menatapnya dengan putus asa, seolah-olah dunia di sekitarku telah runtuh.

“Kalian berdua ikut aku kembali ke markas. Kalian harus melihat sendiri kondisinya.” Suaranya datar, tidak ada ruang untuk protes atau penolakan. Cedric mengangguk tanpa berkata-kata, lalu mengangkatku kembali. Dalam keheningan yang menyesakkan, kami mulai bergerak, mengikuti langkah Kapten Lilyfa yang pasti.

Aku bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara di antara kami. Cedric terus berlari, menyeimbangkan kecepatannya dengan Kapten Lilyfa. Staminanya tampaknya tak ada habisnya, tapi tidak bisa mengurangi kekhawatiranku.

Setiap langkah terasa berat, seolah-olah aku dibebani oleh perasaan takut yang tak terdefinisikan. Berbeda dengan Cedric, yang tetap fokus dan profesional, aku bisa merasakan kerapuhan hatiku. Aku tahu dia sadar akan kondisi Luna dan Freya, tapi dia tetap tak menunjukkan emosi, menutupi perasaannya dengan kedewasaan yang membuatku merasa semakin kecil.

Perjalanan dari titik pertemuan menuju markas terasa seperti selamanya. 15 menit berlalu seperti mimpi buruk yang tak berujung. Suara hiruk pikuk kota yang kumuh dengan puing-puing bangunan yang hancur telah hilang, digantikan oleh suara langkah kaki, teriakan prajurit, dan gemuruh pertempuran yang semakin mendekat. Jalanan becek dan penuh lumpur membuat setiap langkah terasa semakin sulit.

Ketika kami akhirnya tiba di markas, pemandangan di depan kami hampir tak bisa dipercaya. Tenda-tenda putih dengan bendera fraksi hukum berkibar di atasnya, dikelilingi oleh prajurit dan petugas medis yang sibuk. “Front di timur masih belum berhasil ditahan,” aku mendengar seorang prajurit melaporkan kepada komandannya di lapangan. Di dekatnya, beberapa prajurit lainnya berteriak meminta bantuan medis, “Medis! Medis, kami butuh medis!” Suara mereka menembus keramaian, penuh kepanikan dan keputusasaan.

Aku merasa tubuhku semakin berat, dan dengan suara lemah, aku berkata, “Cedric, kau bisa menurunkanku sekarang. Aku bisa berjalan sendiri.” Tanpa ragu, dia menurunkanku, meskipun aku bisa melihat kekhawatiran di matanya.

Suasana di sekitar kami penuh dengan suara teriakan dan langkah kaki yang terburu-buru. Tidak ada waktu untuk beristirahat, semuanya tampak seperti berada di bawah tekanan waktu yang terus berdetak. Aku memperhatikan sekeliling, dan mataku tertuju pada satu tenda medis putih yang menarik perhatianku. Di sana, aku melihat Yeriko bersama beberapa prajurit dan jenderal lainnya. Ada sesuatu yang tidak beres, dan perasaanku menjadi semakin buruk.

Cedric juga memperhatikan tenda yang sama, lalu dengan nada kaku dan sedikit kaget, dia bertanya, “Apa yang terjadi, Kapten Lilyfa?”

Namun, respons yang dia terima sangat jauh dari yang diharapkan. “Apa yang terjadi? Seharusnya aku yang bertanya sebaliknya. Apa yang terjadi dengan otakmu, hah?” suaranya tiba-tiba meninggi, kemarahannya jelas terlihat. Kata-katanya menggema di pikiranku, membuat ketakutan dan kecemasan yang sudah menumpuk di dadaku semakin parah.

Cedric tidak segera menjawab. Dia hanya berdiri di sana, diam membeku, matanya menatap jauh, seolah mencari jawaban di tempat yang tidak bisa dijangkau. Aku bisa melihat ketegangan yang jelas di wajahnya. Ada sesuatu yang berkecamuk di dalam dirinya, sesuatu yang dia tahu tapi belum siap untuk diucapkan.

Tanpa peringatan, *pack!* Suara tamparan Kapten Lilyfa memecah keheningan. Tamparan itu tidak hanya mengejutkan Cedric, tapi juga diriku. Mataku terbelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Rasa sakit bukan hanya pada wajahnya, tapi juga di hatinya. Kulihat Cedric menggertakkan gigi, menahan rasa perih yang melanda hatinya.

“Aku kecewa,” kata Kapten Lilyfa dengan suara yang penuh ketegasan dan amarah tertahan. “Aku tidak percaya seorang kapten seperti kamu berani meninggalkan setengah anggota di kondisi buruk.”

Cedric terdiam sejenak, sebelum mencoba membela diri. “Aku tidak meninggalkan mereka, merekalah yang—“

“Mereka?” Potong Kapten Lilyfa dengan nada suara yang semakin meninggi. “Kau penuh emosi, kapten! Dirimu dipenuhi ambisi. Ini memang misi besar kalian, tetapi bukan berarti harus mengorbankan segalanya demi misi.”

Kata-kata itu menghujam Cedric seperti panah beracun. Aku melihatnya semakin terpuruk, wajahnya yang sebelumnya keras kini tampak hancur. Dia ingin melawan, tapi di balik kata-kata Kapten Lilyfa, ada kebenaran yang tidak bisa diabaikan.

“Berhenti menatapku seolah ini akan selesai di sini,” Kapten Lilyfa mengakhiri kalimatnya dengan suara yang rendah dan dingin. Dia menurunkan tangannya, lalu berbalik dan segera meninggalkan kami. Aku melihat punggungnya menjauh, hatiku terasa hancur melihat sosok yang dulu kukagumi pergi dengan cara yang begitu menyakitkan.

Cedric tidak bergerak. Dia hanya berdiri di sana, diam seperti patung di tengah hiruk-pikuk orang-orang yang sibuk berlalu-lalang. Aku menatapnya dengan perasaan campur aduk. Kesedihan dan rasa bersalah menyelimuti hatiku. Aku tahu, aku harus melakukan sesuatu, tapi apa?

Hatiku terasa berat. Cedric adalah seseorang yang telah memberiku harapan dan senyuman di tengah kegelapan masa lalu. Namun sekarang, aku melihatnya murung, dan aku tak tahu harus berbuat apa. Aku ingin mendekat, ingin mengatakan sesuatu yang bisa mengurangi bebannya, meskipun hanya sedikit.

“Kapten...” Panggilanku hampir tidak terdengar di antara keramaian. Aku mengulurkan tangan, hendak menyentuh bahunya, tetapi sebelum aku sempat menyentuhnya, Cedric berbalik dan berlari meninggalkanku. Hatiku mencelus, dan tanpa berpikir panjang, aku mengejarnya dengan sisa tenaga yang kumiliki.

“Kapten, tunggu!” Aku berteriak sekuat tenaga, tapi suaraku terdengar sesak, tertahan oleh rasa sakit di kakiku dan hatiku. Cedric tidak merespons, dia hanya terus berlari menuju tenda medis yang semakin dekat. Di kejauhan, aku bisa melihat kerumunan prajurit dan petugas medis yang mengenakan jubah putih.

Cedric berhenti di depan tenda itu, tubuhnya kaku dan tangannya mengepal erat. Aku mencoba mengejarnya, tapi tubuhku terasa berat, seolah-olah jiwaku ditarik oleh ketakutan yang mendalam. “Kapten, berhenti!” Aku memanggilnya lagi, namun dia tetap tidak bergeming.

Cedric melangkah masuk ke dalam tenda putih itu. Aku mengejarnya, meskipun tubuhku terasa semakin lemah. Namun, ketika aku akhirnya berhasil masuk ke dalam, pemandangan yang kulihat membuat tubuhku lemas. Aku jatuh terduduk, kakiku tidak lagi mampu menopang beban kenyataan yang baru saja kutemui.

“Cedric, itu bukan Luna dan Freya, kan?” Aku memaksa suaraku keluar, meskipun dalam hati aku sudah tahu jawabannya. Aku tidak ingin mendengar apa yang sebenarnya telah terjadi, tapi aku tahu aku harus tahu.

Cedric menatapku dengan mata kosong, tanpa emosi, hanya keheningan yang dingin. “Iya, itu Luna dan Freya,” jawabnya datar. Kata-katanya seperti palu yang menghancurkan sisa harapan di hatiku. Tubuhku mulai bergetar, air mata jatuh tanpa bisa kutahan. Di depan mataku, Luna dan Freya terbaring kaku di atas tempat tidur. Tubuh mereka penuh luka dan lebam, ditutupi kain putih yang lembut, tapi tidak cukup untuk menutupi kesan dingin yang terpancar dari tubuh mereka. Wajah mereka yang biasanya penuh senyum kini memucat, bibir mereka tidak lagi mengeluarkan kata-kata manis yang biasa kudengar.

Mereka telah pergi. Dunia yang kejam ini telah merenggut mereka dariku, dan aku tidak berdaya untuk menghentikannya.

“Apa yang terjadi dengan kalian?” terdengar suara seseorang, mungkin seorang jenderal, tapi aku tidak bisa mengenalinya. Pandanganku kabur oleh air mata. Aku duduk di sana, merintih dan menangis, suaraku tercekik oleh kesedihan yang tak terucapkan. Aku memanggil-manggil nama mereka, berharap ini semua hanya mimpi buruk. Berharap ini semua hanya candaan yang kejam dan mereka akan bangkit kembali, tersenyum padaku, mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.

Tapi tidak ada jawaban. Yang ada hanyalah kesunyian yang menghantamku dengan kejamnya.

“Aaaaaaa!” Aku berteriak sekuat tenaga, sebuah teriakan penuh keputusasaan dan rasa sakit. Aku merangkak mendekati tempat tidur mereka, memegang tangan mereka yang kini dingin seperti es. Rasanya dingin, terlalu dingin. Aku tidak bisa menerima kenyataan ini, aku memanggil-manggil nama mereka lagi, “LUNAAAA! FREYAAA!” Aku memukul-mukul lantai, meskipun aku tahu tidak ada gunanya. Namun setidaknya, rasa sakit di dalam hatiku bisa berkurang, meskipun hanya sedikit.

Di sisi lain, Cedric keluar dari tenda tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya berjalan keluar, wajahnya kosong, tidak ada setetes air mata pun yang mengalir dari matanya. Bahkan amarah yang dulu menyala di dalam dirinya kini tampak beku, tertahan oleh dinding dingin yang telah dibangun oleh kesedihan yang terlalu mendalam untuk diungkapkan.

20 menit berlalu. Tangisanku akhirnya mereda, meskipun rasa sakitnya masih menusuk di hatiku. Para petinggi dan jenderal lainnya telah pergi, kecuali Yeriko. Dia berdiri di sana, tidak berbicara, tidak menyapaku, bahkan tidak menyentuhku. Dia hanya menunduk, memperhatikan aku dengan tatapan yang sulit diartikan.

Aku masih duduk di samping tempat tidur, kedua tanganku menggenggam erat tangan Freya yang kini dingin. Aku menatap wajahnya, wajah yang dulu penuh dengan kehidupan. Dengan hati-hati, aku merapikan rambutnya yang berantakan, mencoba memperbaiki penampilannya, seolah-olah dia hanya tertidur.

Aku mulai berbicara, kata-kata yang keluar terasa hampa dan penuh dengan rasa rindu. Aku berharap dia bisa mendengarku, di mana pun dia berada. Berharap bahwa meskipun dia telah pergi, dia masih bisa merasakan cintaku, masih bisa mendengar suaraku yang memanggilnya. Tapi, yang tersisa hanya keheningan, dan aku hanya bisa berharap, berharap dia tahu betapa aku merindukannya.

“Freya, terima kasih telah menemukan aku di rumah orang tuaku,” bisikku pelan, suaraku hampir tertelan oleh udara yang dingin di sekitar kami. Rasanya sulit mengucapkan kata-kata ini, seolah setiap kata membawa beban yang tak tertahankan. “Mungkin jika bukan karena kamu, aku tidak akan ada di sisimu hari ini.”

Aku menatap wajah Freya, yang meskipun kini kaku, masih memancarkan ketenangan yang menyesakkan hatiku. Rasa syukur dan penyesalan bercampur menjadi satu, membuatku ingin mengulang semua dari awal, untuk bisa mengubah nasib yang menimpa kami. Tapi aku tahu, itu mustahil.

Freya tidak bisa menjawabku lagi, namun dalam diamnya, aku merasa dia berbicara lebih dari kata-kata. Aku bisa merasakan rasa sakit yang dirasakannya sebelum ini, dan aku ingin menghiburnya, meskipun sudah terlambat.

“Tidak, justru ini bukan kebahagiaan buatku,” lanjutku dengan suara yang semakin bergetar. “Aku tidak tahu harus mengatakan apa... Kau seperti ibuku, sangat persis.” Suaraku tercekat, aku harus menelan air mataku agar tidak tersedak oleh emosi yang memuncak. “Sekarang aku kehilangan ibu untuk kedua kalinya.”

Air mataku mengalir lagi, tapi aku berusaha keras untuk tetap tegar. Di sisi kiriku, aku bergeser untuk meraih tangan Luna yang kecil. Genggaman tangannya yang kini dingin dan tak berdaya membuat hatiku serasa hancur. Aku merapikan rambutnya, berusaha membuatnya tetap terlihat cantik seperti yang selalu dia inginkan. Meski begitu, senyum tipis masih tersisa di bibirnya, seolah dalam momen terakhirnya, dia ingin meyakinkan semua orang bahwa dia baik-baik saja.

Aku tertawa kecil, meskipun rasanya lebih seperti tertawa yang tercekik oleh kesedihan. “Maaf, aku tertawa karena mengingat tingkahmu yang lucu,” ucapku, berusaha menghapus air mata yang terus saja mengalir di pipiku. Mungkin Luna, di mana pun dia sekarang, bisa merasakan bahwa aku masih mencoba menenangkan diri.

“Luna, hidupmu pasti berat,” kataku lagi, kali ini dengan nada lembut, penuh kasih. “Aku tahu itu. Kamu tidak perlu berpura-pura tersenyum.” Aku bisa membayangkan betapa berat beban yang dia pikul, meskipun dia adalah yang termuda di antara kami. “Umurmu yang paling muda, tapi juga merasakan beban dunia paling berat. Berusaha menjadi idol di dunia seperti ini?” Suaraku terdengar pahit, mengingat betapa kerasnya hidup yang telah dia jalani.

Aku kembali tertawa, meski hati terasa semakin pedih. Mengingat cita-cita konyolnya yang begitu menggelikan namun sekaligus menyentuh. “Lihatlah, kau memang idol terbaik di dunia ini. Bahkan aku masih bisa tertawa saat kehilanganmu.”

Air mata kembali jatuh, tanpa bisa kucegah. Aku menundukkan kepala, berbisik dengan bibir yang bergetar, “Terima kasih untuk kerja kerasnya.”

***

Sepuluh menit berlalu begitu saja. Rasanya waktu seperti berhenti, tapi air mataku akhirnya hampir kering. Aku menatap ke belakang, di mana Yeriko masih duduk, matanya tak pernah lepas dari diriku. Rasanya sedikit aneh melihatnya di sana, hanya diam menatapku, seolah dia tidak punya tempat lain untuk pergi.

“Kenapa kau masih di sini?” tanyaku dengan nada risih. Aku ingin menangis sekuat-kuatnya, tetapi kehadirannya membuatku merasa terhalang. Ruangan ini, yang seharusnya menjadi tempatku meratapi kesedihan, masih menyisakan dirinya.

“Aku tidak bisa meninggalkan tempat ini sebelum kau baik-baik saja,” jawabnya, suaranya tenang, namun ada sesuatu di dalamnya yang terasa begitu dalam.

“Kenapa?” Aku bertanya lagi, kali ini lebih pelan, dengan keingintahuan yang lebih besar.

“Aku tidak tahu,” jawabnya jujur, “hanya saja ini tanggung jawabku.”

Aku menghela napas, merasa sedikit kesal. “Aku tidak peduli, pergilah,” ujarku sambil sesekali menarik ingus yang hampir keluar. Aku merasa sesak, terhimpit oleh emosi yang bercampur aduk.

“Tidak, aku tidak akan pergi,” tegasnya.

Aku tidak membalas lagi. Aku membiarkannya di sana, mungkin karena aku tahu, dia tidak akan pergi kecuali aku benar-benar baik-baik saja. Namun, seiring berjalannya waktu, aku yakin para jenderal akan segera memanggilnya. Situasi di medan perang sangat buruk, dan aku yakin mereka tidak bisa menunggu terlalu lama.

Benar saja, beberapa menit kemudian, seorang prajurit muncul di balik pintu kendaraan, memanggil Yeriko. “Lapor tuan, jenderal memanggil di ruang rapat.”

Yeriko menatapku sejenak sebelum menjawab. “Sebentar lagi aku akan ke sana,” katanya, tetap tenang seperti biasanya.

Prajurit itu mengangguk hormat dan segera pergi, meninggalkan tenda tanpa banyak bicara.

Aku merasa kesabaranku semakin habis. Yeriko lebih mirip penguntit daripada seseorang yang benar-benar prihatin. “Hey,” panggilku, memecah keheningan yang mulai menyesakkan.

“Iya?” jawabnya singkat.

“Bisakah kau pergi ke pertemuan itu?” tanyaku, suaraku sedikit memohon, meskipun aku tidak ingin terlihat lemah.

“Aku tidak akan pergi sebelum—“ dia mulai bicara, tapi aku memotongnya.

“Iya, aku tahu, sebelum aku baik-baik saja, kan?” Aku menatap matanya kali ini, berusaha menembus dinding ketenangan yang selalu dia perlihatkan. Tapi yang kulihat membuatku terkejut. Matanya merah, seperti seseorang yang telah lama menangis. Aku merasa ada sesuatu yang tidak pernah kutahu tentang Yeriko, sesuatu yang lebih dalam dari yang dia tunjukkan.

Aku menghela napas panjang, mencoba mengatur perasaan. “Aku akan baik-baik saja dan pergi dari tempat ini,” kataku dengan suara yang lebih tegas. “Jadi, aku perlu strategi untuk melawan pemimpin mereka.”

Yeriko tidak segera menjawab. Dia menatapku dalam-dalam, seolah mencoba membaca setiap isi pikiranku. Akhirnya, dia mengangguk, menyerah pada keteguhanku. “Baiklah, aku akan pergi. Dan dalam 20 menit lagi, mari kita bertemu kembali,” katanya sebelum berbalik dan meninggalkanku.

Aku mengangguk, membiarkannya pergi tanpa balasan lebih lanjut. Tapi sebelum dia benar-benar hilang di balik daun pintu, aku memanggilnya lagi. “Bentar, satu lagi, tolong urus Cedric di luar. Dia dari tadi memukul-mukul pohon dan batu. Takutnya, tanah ini rata karena dia.”

Yeriko hanya mengangguk sebelum akhirnya menghilang sepenuhnya, meninggalkanku sendirian dengan pikiran dan perasaanku yang kacau.

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • silvius

    Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.

    Comment on chapter Episode 22
  • silvius

    Halo pembaca. Ini merupakan novel pertama saya. Saya sangat senang jika mendapatkan kritikan atau saran atau mungkin hal bagus yang membangun. Mari bersama membangun komunitas terbaik. Terimakasih telah membaca dan memberikan tanggapan yang jujur

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Nyanyian Laut Biru
2001      708     9     
Fantasy
Sulit dipercaya, dongeng masa kecil dan mitos dimasyarakat semua menjadi kenyataan dihadapannya. Lonato ingin mengingkarinya tapi ia jelas melihatnya. Ya… mahluk itu, mahluk laut yang terlihat berbeda wujudnya, tidak sama dengan yang ia dengar selama ini. Mahluk yang hampir membunuh harapannya untuk hidup namun hanya ia satu-satunya yang bisa menyelamatkan mahluk penghuni laut. Pertentangan ...
Anak Magang
45      42     1     
Fan Fiction
Bercerita sekelompok mahasiswa yang berusaha menyelesaikan tugas akhirnya yaitu magang. Mereka adalah Reski, Iqbal, Rival, Akbar. Sebelum nya, mereka belum mengenal satu sama lain. Dan mereka juga bukan teman dekat atau sahabat pada umumnya. Mereka hanya di tugaskan untuk menyelesaikan tugas nya dari kampus. Sampai suatu ketika. Salah satu di antara mereka berkhianat. Akan kah kebersamaan mereka ...
Pertualangan Titin dan Opa
3027      1181     5     
Science Fiction
Titin, seorang gadis muda jenius yang dilarang omanya untuk mendekati hal-hal berbau sains. Larangan sang oma justru membuat rasa penasarannya memuncak. Suatu malam Titin menemukan hal tak terduga....
Cute Monster
621      346     5     
Short Story
Kang In, pria tampan yang terlihat sangat normal ini sebenarnya adalah monster yang selalu memohon makanan dari Park Im zii, pekerja paruh waktu di minimarket yang selalu sepi pengunjung. Zii yang sudah mencoba berbagai cara menyingkirkan Kang In namun selalu gagal. "Apa aku harus terbiasa hidup dengan monster ini ?"
CHERRY & BAKERY (PART 1)
3621      890     2     
Romance
Vella Amerta—pindah ke Jakarta sebagai siswi SMA 45. Tanpa ia duga kehidupannya menjadi rumit sejak awal semester di tahun keduanya. Setiap hari dia harus bertemu dengan Yoshinaga Febriyan alias Aga. Tidak disangka, cowok cuek yang juga saingan abadinya sejak jaman SMP itu justru menjadi tetangga barunya. Kehidupan Vella semakin kompleks saat Indra mengajaknya untuk mengikuti les membuat cu...
Yu & Way
899      474     28     
Romance
Dalam perjalanan malamnya hendak mencari kesenangan, tiba-tiba saja seorang pemuda bernama Alvin mendapatkan layangan selembaran brosur yang sama sekali tak ia ketahui akan asalnya. Saat itu, tanpa berpikir panjang, Alvin pun memutuskan untuk lekas membacanya dengan seksama. Setelah membaca selembaran brosur itu secara keseluruhan, Alvin merasa, bahwa sebuah tempat yang tengah dipromosikan di da...
HOME
259      187     0     
Romance
Orang bilang Anak Band itu Begajulan Pengangguran? Playboy? Apalagi? Udah khatam gue dengan stereotype "Anak Band" yang timbul di media dan opini orang-orang. Sampai suatu hari.. Gue melamar satu perempuan. Perempuan yang menjadi tempat gue pulang. A story about married couple and homies.
Khalisya (Matahari Sejati)
2405      816     3     
Romance
Reyfan itu cuek, tapi nggak sedingin kayak cowok-cowok wattpad Khalisya itu hangat, tapi ia juga teduh Bagaimana jika kedua karakter itu disatukan..?? Bisakah menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi..?? Semuanya akan terjawab disini. Ketika dua hati saling berjuang, menerobos lorong perbedaan. Mempertaruhkan hati fan perasaan untuk menemukan matahari sejati yang sesungguhnya &...
Dunia Gemerlap
19085      2791     3     
Action
Hanif, baru saja keluar dari kehidupan lamanya sebagai mahasiswa biasa dan terpaksa menjalani kehidupannya yang baru sebagai seorang pengedar narkoba. Hal-hal seperti perjudian, narkoba, minuman keras, dan pergaulan bebas merupakan makanan sehari-harinya. Ia melakukan semua ini demi mengendus jejak keberadaan kakaknya. Akankah Hanif berhasil bertahan dengan kehidupan barunya?
Code: Scarlet
21698      4058     15     
Action
Kyoka Ichimiya. Gadis itu hidup dengan masa lalu yang masih misterius. Dengan kehidupannya sebagai Agen Percobaan selama 2 tahun, akhirnya dia sekarang bisa menjadi seorang gadis SMA biasa. Namun di balik penampilannya tersebut, Ichimiya selalu menyembunyikan belati di bawah roknya.