“Freya, Rika, kita harus melindungi markas bawah tanah. Terutama, jaga Luna,” perintah Cedric.
“Baik, Kapten!” jawab kami serentak dan langsung bergerak. Saat keluar dari apartemen Ledakan besar menyambut kami.
“Aku akan menahan mereka. Cepat pergi!” kata Cedric, siaga dengan senjatanya.
Aku menolak. “Kami tak akan meninggalkanmu. Perintahkan kami bertempur!”
Setelah sedikit perdebatan, akhirnya ia mengangguk. “Ambil posisi tempur.”
“Party Alaya akan menunjukkan kemampuannya lagi,” ucap Cedric dengan semangat meski wajahnya tegang.
“Barrier: Armor Barrier!” Tubuhnya langsung diselimuti pelindung kuning, dan ia melesat maju.
Sambil menutupi Cedric dari belakang, aku dan Freya bersiap menembak. “Tembak!” seruku. Panah kami melesat bersamaan dan menghantam sasaran tepat.
Serangan musuh makin intens. Cedric tampak kewalahan. “Kapten, barrier sekarang!” teriakku.
“Barrier: Bubble Barrier!” Sebuah gelembung pelindung muncul, menahan hujan peluru yang datang.
Untungnya, peluru biasa tak mampu menembus perlindungan Hyper. Berbeda dengan senjata kuno seperti panah yang bisa membawa kekuatan khusus.
“Senjata mereka overheat, ayo maju!” Cedric memberi aba-aba.
Dengan semangat, kami menekan balik. Cedric menerobos barisan musuh seperti bola besi.
“Rika, kiri!” Freya memperingatkan. Aku segera membidik dan menembak, menjaga sisi Cedric.
Saat faksi hukum datang, pemimpin mereka menyuruh kami mundur ke bunker. “Evakuasi warga. Kalian, kembali ke garis belakang.”
Kami patuh. “Kapten, mundur!” seruku.
Cedric kembali dengan cepat. Angin kencang menyapu kami.
“Bisa nggak lebih pelan, Kapten?” gerutu Freya, meski wajahnya tetap lucu di tengah kekacauan.
Kami segera lari ke markas pusat. Perjalanan 5km terasa berat. Di tengah jalan, tubuhku mendadak melambat. “Ada aura kuat di depan,” ucapku.
“Auranya terasa dari ratusan meter,” tambah Freya. Namun, kami tetap melanjutkan.
Saat tiba di lokasi bunker, kami terkejut. Mayat bergelimpangan, darah membasahi tanah. “Ini pembantaian,” bisikku.
“Kapten, di atas!” seru Freya. Kami melihat sosok misterius di udara, 15 meter di atas kami, bermata ungu terang dan bersenjata kapak.
Aku menelan ludah. Tubuhku gemetar.
“Barrier: Anti-heat bubble!”
Whoos-BUMMM! Sebuah bom meledak tepat di atas kami. Cedric segera membuat penghalang, menyelamatkan kami dari ancaman meledaknya bom.
“Rika, Freya, kalian baik-baik saja, kan?”
“Ya, baik. Tapi kapan dia melempar bom itu? Aku bahkan tidak bisa melihat gerakan tangannya,” kata Freya, tercengang.
“Itu tidak penting sekarang, kita harus berlindung masuk,” kata Cedric tegas, wajahnya tidak panik sama sekali, meskipun ada tetes keringat di dahinya.
Pintu markas itu tidak jauh dari sini. Kami hanya memiliki 100 meter lagi untuk membuka pintu. Tapi sepertinya ada ujian lain yang harus kami lewati. Pintu itu mulai menutup otomatis, mereka menjalankan prosedur isolasi.
“Aaaaarg!” Cedric berteriak.
“Kalian cepatlah masuk, aku akan menahan pintu ini selama 4 detik,” ucap Cedric dengan suara serak, tangannya gemetar menahan pintu besi seberat 500kg itu. Aura kuning bercahaya memenuhi tubuhnya.
Aku berlari kemudian merangkak masuk. Pintu itu hampir tertutup. Wajah Cedric sudah merah, dia tampak tidak sanggup lagi.
Bum! Pintu itu terbanting ke tanah, tertutup dengan rapat. Cedric terbaring di lantai, nafasnya terdengar keras dan tidak teratur.
“Untunglah posisiku menahan pintu saat sudah berada di dalam,” kata Cedric suaranya patah-patah.
“Iya, kalau kau di luar, pasti tidak bisa masuk dari celah sempit itu dengan badan sebesar itu,” sahut Freya, yang juga terengah-engah.
“Cedric, Freya, cepat kita harus melihat kondisi Luna,” ucapku, mengabaikan pembicaraan dan langsung bergegas ke lorong medis. Markas bawah tanah ini lebih mirip kota bawah tanah, dengan setiap bunker yang terhubung satu sama lain, termasuk ke markas pusat. Aku tidak tahu jumlah total bunker di sini, tapi itu tidak perlu dipikirkan sekarang. Kami terus berlari di lorong, suara sirine kembali terdengar, cahaya merah kelap-kelip memenuhi lorong, dan semua orang panik bergegas ke pos penjagaan masing-masing.
“Inilah usaha terakhir kita. Bagaimanapun caranya, jangan biarkan mereka melewati pintu bunker ini,” ucap seorang prajurit yang berlari bersama rekannya, bersiap melakukan ronde kedua.
“Kapten, apakah faksi teror malam ini sangat berbahaya?” hampir sampai, tapi aku memutuskan untuk menanyakan apa yang terpikirkan dalam kepalaku.
“Aku belum tahu pasti, tapi firasatku mengatakan ini akan buruk,” jawab Cedric.
Setelah 5 menit, kami tiba di lorong medis. Kami mencari ruangan di mana Luna dirawat. Freya berseru, dan aku refleks menoleh.
“Lihat, ada seseorang yang melakukan sesuatu dengan Luna.” Seorang suster sedang memasukkan sesuatu yang mencurigakan ke selang infus Luna.
“Apa yang kau lakukan!” teriakku. Aku tidak tahu kenapa nadaku tiba-tiba naik seperti itu. Freya, kesal karena tidak dijawab, langsung memukul suster itu dengan keras hingga pingsan.
“Rika, jaga suster itu. Aku harus cek kondisi Luna,” kata Freya.
Aku mengangguk, membalikkan badan untuk menatap suster yang tergeletak di lantai. Dia pingsan dengan satu pukulan.
“Ada apa, Freya?” Cedric bertanya saat aku kembali menoleh ke arahnya. Wajahnya kini pucat, tampak kesal dari genggaman tangannya yang gemetar.
“Inilah obat bius total,” kata Freya pelan.
“Tunggu, selama ini Luna hanya dibius dan baik-baik saja?” tanya Cedric, wajahnya masih merah karena ingin marah.
“Aku tidak mengatakan ini baik-baik saja, karena tubuhnya mungkin lumpuh karena overdosis bius,” jelas Freya.
“Apa yang kau lakukan, Yeriko, bajingan!” Cedric membalikkan badannya dan bergegas keluar dengan tangan yang mengepal keras.
“Eh, hey, Kapten, mau kemana?” Aku mencoba menahannya. Langkahnya terhenti sejenak saat melirik ke belakang.
“Tunggu di sini, aku akan membawa kita pergi dari sini. Sekarang, tugas kalian adalah memastikan Luna baik-baik saja,” ucap Cedric sebelum melanjutkan keputusannya sendiri. Bahunya perlahan mulai hilang di balik lorong. Aku ingin menghentikan Cedric, tapi aku tidak bisa bergerak sama sekali seolah di tahan sesuatu. Beberapa menit setelah Cedric pergi, Freya menemukan sesuatu yang aneh.
“Ternyata mereka tidak seburuk itu, ya,” katanya.
“Ada apa dengan Luna?” tanyaku bingung.
“Mereka juga memasukkan cairan penyembuhan tulang yang keropos dan patah. Obat bius itu ternyata juga berguna untuk membuat Luna tidak merasakan sakit secara langsung,” jelas Freya, yang dulunya adalah seorang tenaga medis. Penerawangannya dan hipotesisnya dapat dipercaya.
“Jadi kita salah paham?”
“Bisa di bilang begitu, namun—kenapa mereka memanipulasi data medis untuk menjadikan status Luna sebagai pasien koma?
“Apa yang sebenarnya mereka rencanakan?” tambah Freya
BUM! “Huh.” Sentakan kaget membuat kami berdua terbelalak. Aku dan Freya saling menatap, wajah panik kami tidak terbendung.
“Rika, cepat kejar Cedric. Jangan biarkan dia mengamuk sekarang.”
Aku mengangguk mantap, membenamkan ketakutanku. Keputusan itu harus diambil.
“Jangan takut, Rika. Hanya kamu yang bisa diandalkan sekarang. Aku mohon, jangan biarkan dia semakin marah. Bisa-bisa seluruh lorong runtuh bukan karena musuh, tapi karena Cedric.”
Aku mengangguk sekali lagi, lalu bergegas keluar dari ruangan, menyusuri lorong dengan langkah cepat. Baru dua menit berlalu, tapi langkahku terhenti di persimpangan empat lorong. “Apa yang terjadi di sini? Kenapa para penjaga terkapar semua?” Jejak pukulan jelas terlihat. Cedric pasti menuju ruangan berteknologi tinggi itu.
Tidak lama kemudian, aku sudah melihat bahunya. Hendak berseru memanggil, tapi bibirku membeku. Tubuhku terkunci, bergetar keras. Aku menggigil, apakah rasa takut telah mengalahkan kendali tubuhku?
“Kapten, be-be-ber.” Argh, aku berharap hanya satu kata saja. Tidak apa-apa. Aku mohon, tubuhku, bergeraklah. Kuatkanlah diriku. Aku mohon, kalahkanlah ketakutanku.
“A-a-aku.” Tubuhku tidak merespon. Aura kuning pekat menyelimuti lorong, menghisap semua kegembiraan.
Tiba-tiba, terbersit ide di benakku. Aku tidak tahu apakah akan berhasil, tapi aku harus mencoba. Aku fokus, memejamkan mata, dan mengucapkan kalimat perintah.
“I-imaji-nation:_” Bisikan kecil terdengar, nafasku terengah-engah. Cedric terus berjalan, menghilang di antara lorong-lorong. Dia belok ke kanan, hanya 10 meter lagi dari pintu baja itu.
Aku masih memejamkan mata, fokusku tertuju pada tujuan. Ini tidak mudah. Lelehan keringat membasahi wajahku saat aku berusaha membuat lekukan tulisan di dinding logam yang keras. Tekanan tinggi membuatku kesulitan berkonsentrasi. Satu menit berlalu, dan tepat di hadapannya, sebuah tulisan terbentuk rapi. “Berhentilah, Kapten,” tulisanku membuat Cedric berhenti tepat 5 meter sebelum pintu baja itu. Setelah membaca tulisanku, dia melirik ke arahku. Namun, aku salah. Dia tidak bisa dihentikan hanya dengan tulisan.
“Tubuhku mulai bisa bergerak lagi. Aku harus mengejarnya.”
“Eh, tunggu sebentar. Aku harus membuat perisai seperti sebelumnya.”
Aku merasakan kekuatan menyelimutiku. Sepertinya aku semakin ahli dalam mengendalikan kekuatan ini. Tapi, apakah aku mampu menahan tekanan sebesar ini? Sekarang bukan saatnya untuk berpikir berlebihan.
Aku terus mengejar Cedric, mencoba mendekatinya. Tapi rasanya semakin sulit. Auranya terasa mendorongku menjauh, seperti angin kencang hendak menyeretku pergi.
“Aku masih takut, tapi aku yakin bisa. Ayo, Rika, fokuslah.” Aku terus menyemangati diriku sendiri. Akhirnya, hanya tinggal satu langkah lagi untuk menyentuhnya.
“Ayo, sedikit lagi. Bahkan sentuhan jari pun tidak masalah.”
Akhirnya, aku menyentuhnya. “Kapten, maksudku, Cedric, sadarlah. Mereka tidak seburuk yang kita kira.” Tapi dia tidak merespons. Aku harus menariknya.
Aku memeluknya erat dari belakang. Tubuhnya terasa kuat. Aku menariknya dengan segenap tenaga. Akhirnya, amarahnya mereda, dan aura kuning yang pekat itu perlahan memudar.
Gelap pekat tadi berubah menjadi lebih cerah, tetapi ekspresi wajahnya tidak berubah sedikit pun. Aku bingung dengan laki-laki ini. Sebenarnya, dia sedang kesal atau biasa saja?
Cedric menghela nafas, lalu mulai berbicara. “Rika, aku akan pergi menemui Yeriko sebentar.”
“Tidak...” Aku menggeleng tegas.
“Tenanglah, Rika. Aku tidak akan membunuh—”
“Seharusnya kamu yang tenang, Cedric!” Bentakan kerasku membuat wajahnya berkerut. Dia menunduk, tidak berani menatapku. “Lihatlah di sekitarmu, banyak yang menjadi korban. Sejujurnya, aku juga kesal dengan Yeriko dan sangat ingin marah. Tetapi aku tahu ini bukan saat yang tepat. Lihatlah di luar sana, banyak petarung yang mempertahankan hak wilayah dan keluarga mereka. Tetapi sekarang kamu justru merusak dari dalam.”
Cedric masih diam, semakin menundukkan wajahnya.
“Maafkan aku, Rika,” Cedric menjawab lemah, suaranya penuh penyesalan. Aku merasa juga telah melampaui batas dengan marahku. Aura kekuatan mulai memudar sampai tidak terasa.
“Aku akan tetap masuk.”
“Eh, tunggu sebentar.”
BUM-BARG! Pintu itu roboh di pukul dengan keras.
“Kenapa kau menghancurkan fasilitasku, Cedric?” Suara itu aku tahu siapa. Dialah alasan kami berada di sini. Karena rencana liciknya, kami terjebak dengan iming-iming fasilitas untuk perawatan Luna.
“Jelaskan tentang Luna padaku yang sebenarnya.” Suara Cedric meninggi. Yeriko menjawab dengan suara yang tenang dan berwibawa.
“Tidak ada yang bisa kujelaskan. Mantan dokter muda seharusnya bisa memahaminya hanya dengan melihat cairan.”
“Kenapa kau tidak jujur, huh?”
“Aku bisa saja jujur, tapi kalian membuatku terpaksa melakukan ini. Lihatlah di luar sana, perang dimana-mana. Ini perang perebutan wilayah kekuasaan yang kosong. Tidak hanya di negara ini, tapi di luar sana. Mungkin kita akan kembali terjajah seperti 200 tahun lalu. Aku hanya ingin mengembalikan kedaulatan bangsa ini, Indonesia menjadi pelopor utama teknologi energi bersih.”
“Negara apa yang kau maksud? Negara ini sudah berantakan. Berhentilah mengoceh seolah ini demi kepentingan publik.” Cedric masih tersulut amarah.
Yeriko diam sejenak, kemudian menghela napas panjang. Dia berkata dengan suara yang sangat pelan. “Aku tidak menyangka kata-kata itu keluar dari seorang pahlawan bagi anak pertamaku dan pembunuh bagi anak keduaku.” Ruangan menjadi sunyi, wajah Cedric dan aku tampak terkejut, mencoba memahami setiap kata yang baru saja diucapkannya.
“Apa maksudmu?” Suara Cedric mereda.
“Kebakaran 20 Maret di Tower BUMN,” Yeriko berbicara, nadanya lebih menyeramkan kali ini. Aku juga terkejut mendengar kejadian besar itu. Itu adalah kejadian yang pernah menimpa aku.
“Apa yang kau bicarakan?” Cedric bertanya, suaranya lebih serius kali ini.
“Masih lupa? Kau menyelamatkan 30 orang dan membunuh salah satu putriku.”
“Tapi itu anak dari Menteri BUMN.”
“Kau tidak mengingat wajahku. Aku adalah Pak Menteri.” Aku hampir berteriak kaget, hampir tidak percaya.
“Kalian tidak mengenaliku sebenarnya?”
Aku mengangguk.
“Pantas saja,” Yeriko tertawa kecil. “Wajahku terbakar pada hari yang sama ketika aku kehilangan salah satu anakku.” Wajahku masih terkejut, mulutku terbuka hampir berteriak tidak percaya. Anak seumur Cedric, bahkan mungkin lebih muda, adalah Pak Menteri itu.
“Aku terpaksa menjalani operasi wajah dan berakhir dengan wajah yang rusak seperti ini. Terlihat lebih tua, mungkin itu yang membuat kalian tidak mengenaliku.” Jelas Yeriko, nadanya mereda perlahan. Aku merasa prihatin mendengar apa yang telah dialaminya.
“Ti-ti-ti.” Cedric tergagap, tubuhnya gemetar, matanya kosong ke depan.
“Hei, Kapten, tenanglah. Aku di sini.” Aku tidak mengerti persis apa yang terjadi, tetapi melihat reaksi Kapten seperti mengingat masa lalu yang buruk. Aku bisa merasakannya dari genggaman tangannya.
“Jadi, sekarang kau mengingat semuanya, ya. Secara logika, kedua anakku tidak mungkin selamat, aku harus mengorbankan salah satunya.”
“Namun, keberanianmu patut mendapat penghargaan karena berhasil menyelamatkan putraku saat itu,” ujar Yeriko dengan tenang.
“KAU TIDAK MUNGKIN PAK MENTERI!!!” Cedric masih histeris, suaranya menggema di ruangan yang setengah gelap. Yeriko tetap tenang, mengeluarkan sesuatu dari dalam bajunya: sebuah kalung. Di ujung kalung itu terdapat lambang Garuda emas dengan angka 45 di tengahnya.
“Lihatlah ini, ini adalah tanda pengenal ku sebagai salah satu dari 45 sayap Garuda emas.”
Sayap Garuda emas? Aku pernah mendengarnya di internet. Katanya, itu adalah program pendidikan khusus untuk murid terpilih yang memiliki kecerdasan paling tinggi sejak lulus SD dan diseleksi secara nasional. Lalu, hanya 45 siswa yang terpilih, dan mereka yang lulus dari program itu disebut sebagai 45 sayap Garuda emas. Lulusan program ini akan ditempatkan sebagai menteri atau di kabinet kerja sesuai dengan kemampuan mereka untuk membantu mengatur negara. Sekarang aku mengerti mengapa kami mudah terjebak dalam rencananya sejak awal. Pria ini sangat berbahaya.
“Cedric, kau pahlawan sejati,” kata Yeriko, mengulurkan tangan. “Bergabunglah denganku. Kita akan membangun kembali Indonesia lewat faksi ini. Itulah tujuan dari 45 Sayap Garuda Emas.”
Cedric masih terdiam, seolah goyah oleh bujukannya.
“Kau dan timmu akan hidup damai. Setelah kota ini pulih, kita akan membangun pemerintahan baru bersama.”
“Kapten, jangan terpengaruh!” seruku, melihat Cedric mulai goyah.
Yeriko melanjutkan, “Kau punya dua pilihan. Bergabung denganku dan pimpin pasukan, atau tolak dan mati di tangan faksi teror malam, ku beri 5 detik untuk memutuskan.”
Sunyi sejenak. Cedric masih berpikir keras. Yeriko mulai menghitung.
“Satu… dua… tiga…”
Cedric masih menunduk.
“Empat… Lima, waktumu habis. Apa keputusanmu, Kapten Cedric?”
“Aku pilih… pilihan pertama.”
“KAPTEN?!” aku nyaris menjerit.
“Maaf, Rika. Ini pilihan terbaik untuk saat ini,” jawabnya pelan, bahkan tanpa menoleh.
Sesaat kemudian, seorang prajurit datang melapor, “Gerbang utama sudah ditembus!”
Yeriko segera memberi perintah, “Aktifkan alarm, siapkan pasukan utama!”
Setelah pasukan mundur, aku bertanya lirih, “Jadi apa sekarang?”
Yeriko menatapku, “Bukankah kau tidak ingin bertarung? Atau hanya membenciku tanpa alasan?”
“Aku tak punya pilihan. Kapten sudah memutuskan, dan aku harus patuh.”
“Cedric, ambil Combat suit. Siapkan timmu.”
“Baik, Tuan,” jawab Cedric cepat.
“Kenapa kau memanggilnya ‘Tuan’?!” protesku.
“Aku tak bisa jelaskan sekarang,” katanya. “Kalau kita tidak bertarung, Luna akan mati sia-sia.”
***
Dua puluh menit setelah gerbang dijebol, kami berkumpul bersama pasukan. Tim dibentuk, tiga hingga lima orang per grup. Aku dan Freya ikut bertarung, tapi bukan demi Yeriko. Demi Luna.
“Periksa perlengkapan kalian!” teriak komandan misi. Kami semua bersiap, dengan senjata masing-masing.
“Aku siap mati di sini,” gumamku, tak sengaja terlalu keras.
Komandan menoleh. “Apa tadi?”
“Uh, aku bilang, aku siap mati di sini…”
Tiba-tiba ia tertawa keras. “Salut untuk Hyper Rika! Kalau gadis kecil ini siap mati, kita semua seharusnya lebih siap!”
“YEAAAAH!!” Semua pasukan bersorak, semangat membara.
“Siap senjata!”
Pintu perlahan terbuka. Jantungku berdebar hebat. Aku siap menghadapi kematian—sampai Cedric menggenggam tanganku.
“Rika… jadilah yang terakhir bertahan,” katanya pelan.
Aku menatapnya. Mungkin dia tahu niatku. Tapi saat ini… aku hanya bisa mengangguk.
Pintu terbuka. Pertempuran menanti.
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.