Tugas ini menantang, tapi seharusnya bisa dikerjakan dengan cepat. Pertama, cari warung atau kedai terdekat. Kedua, minta izin untuk re-branding spanduknya. Ketiga, observasi dan wawancara dengan pemilik warung atau kedai. Keempat, brainstorming ide. Kelima, eksekusi desain. Keenam, asistensi dan finalisasi. Kalau Pak Arya percaya kami bisa melakukan ini dalam seminggu, maka aku juga harus percaya diri bahwa aku sanggup melakukannya. Aku harus mengeksekusi langkah pertama sekarang juga. Meski kelihatannya tugas individu ini mudah, tapi jangan lupa ada tugas mata kuliah lain.
Cari warung atau kedai. Bisa yang dekat kampus, supaya gampang. Yang dekat-dekat sini pasti sudah diklaim sama teman-temanku. Ah, aku tidak boleh pesimis.
“Kak Lysa!” Seru seseorang yang amat kukenal suaranya.
Aku mendecak kesal. Ah, dia lagi. Memasang senyum, aku menoleh ke belakang. Semoga wajahku tidak terlihat masam.
“Ada apa, Ruri?” Tanyaku dengan suara dimanis-maniskan. Anak satu itu sudah mengintilku ke mana-mana sejak awal semester. Seakan dia tidak punya teman lain saja. Aku sendiri sebenarnya lebih suka sendirian. Bertahun-tahun selalu menempel dengan kembaranku dan gengnya, tentu aku sangat menghargai kebebasan individuku sebagai mahasiswi. Namun, cewek bertubuh pendek itu selalu menempel kepadaku. Bukannya body shaming, ya, tapi dia benar-benar tampak seperti anak SD. Apalagi wajahnya yang baby face. Padahal dia hanya setahun lebih muda dariku. Makinlah aku menganggapnya anak kecil. Itu juga alasan dia memanggilku dengan sebutan ‘Kak’, meski kami sama-sama mahasiswi tahun pertama.
“Kak Lysa mau langsung ngerjain tugas yang tadi, ya? Bareng, yuk!”
Bareng? Allahu akbar. Bocah satu ini.
“Kan, tugasnya tugas individu? Masing-masing aja, ya,” dalihku.
“Tapi saya malu nanya-nanya ke pemilik warung kaya yang disuruh Pak Arya gitu,” jawabnya dengan memelas. Sekarang, Ruri sudah berdiri tepat di sampingku. Puncak kepalanya yang bermahkotakan rambut hitam panjang diikat ekor kuda hanya setinggi bahuku. Padahal tubuhku sendiri tidak tinggi-tinggi amat, hanya 150 senti.
“Memangnya kamu gak pernah belanja ke warung? Pernah, kan? Pasti pernah nanya-nanya sama penjualnya, kan?”
“Ya elah! Itu, kan, beda, Kak Lysa…” Ujarnya berlagak gemas. Padahal aku sendiri gemas padanya.
Entah kenapa dia memilihku. Pertama kali kami berkenalan adalah pekan kedua semester satu yang lalu. Waktu itu dia minta tolong untuk menemaninya bikin kartu perpustakaan. Tentu saja aku mau menolongnya. Bukankah menolong saudara muslim itu besar pahalanya? Namun, ternyata bukan sekali itu saja dia meminta tolong kepadaku.
Ruri pernah memintaku meng-install-kan software desain, meminta file materi kuliah yang sudah dibagikan ke grup (dia bilang filenya terhapus dari WhatsApp-nya), bertanya materi kuliah yang tidak cuma sekali, tapi berkali-kali.
“Kalau enggak ngerti, pas di kelas tanya sama dosennya. Jadi dosennya bisa ngasih penjelasan lebih banyak. Kalau aku, mungkin aja salah menjelaskan,” ujarku waktu itu. Padahal maksudku adalah: jadi kamu gak ngerepotin aku lagi.
Ruri menjawab, “Percuma, Kak. Saya ndak ngerti kata-kata dosennya, bahasanya terlalu tinggi. Mending Kak Lysa yang jelasin!”
Di situ aku merasa tidak habis pikir. Bahasa dosennya terlalu tinggi? Ya, memang bahasa belajar di universitas beda dari bahasa guru TK. Sedangkan akulah yang harus menjadi guru TK itu, menjelaskan kepadanya. Menurutku dia yang seharusnya belajar lebih keras secara mandiri. Baca buku lebih banyak, misalnya. Bagaimana kamu bisa menambah kosakatamu kalau membaca saja malas? Ah, pokoknya Ruri bisa membuatku mengomel panjang lebar. Di dalam hati.
“Enggak, Ruri.” Ujarku tegas. Kembali ke masalah saat ini. “Kan, kamu dengar sendiri tadi? Tidak boleh mengerjakan warung yang sama.”
“Iya, habis dari warung Kak Elysa baru cari warung buatku.”
“Tapi aku akan lama.”
“Ndak papa, Kak.”
“Memangnya kamu enggak ada kerjaan lain? Mau nungguin aku?”
“Iya, ndak papa, Kak. Jadi saya bisa mencontoh Kak Lysa, hehehe.”
Aku mendesah, pasrah.
“Baiklah. Ayo!”
***
Aku akan mengadukan kekesalanku terhadap Ruri itu kepada Rizzi. Selalu. Dan setiap kali aku mengadu, Rizzi selalu menertawakanku.
“Kamu itu sudah kayak induk ayamnya Ruri,” ujarnya suatu kali. Kami sedang makan siang ayam geprek di warung dekat kampus. “Dia selalu nyari kamu lagi, kamu lagi.”
“Kayak gak ada teman lain aja,” ujarku sewot.
“Kalau ada kamu, kenapa harus yang lain? Hahaha.”
“Enggak gitu juga. Apa dia enggak pernah merasa sungkan gitu karena minta tolong ke orang yang sama terus menerus? Sebenarnya bukan itu masalahnya. Masalahnya aku merasa dia itu gak pernah berusaha. Gak mau berusaha. Gak cukup berusaha buat melakukan segalanya sendiri. Harus selalu ada yang bantuin dia. Aku ngerti, dia dari desa kecil, mungkin kurang ngerti beberapa hal. Tapi, sudah hampir setahun di Yogya, masa masih belum beradaptasi? Maksudku, aku juga dari luar Yogya, kan? Tapi aku bisa beradaptasi, karena aku punya kemauan.”
Kalau aku sudah menumpahkan uneg-unegku panjang lebar begitu, Rizzi hanya mengangguk-angguk dan mengiakan. Memang hanya itu yang kubutuhkan. Aku tidak butuh lawan debat. Sebenarnya aku bukan tipe orang yang suka bercerita kepada orang lain, bahkan dulu aku selalu menjadi pendengar curhat Erica dan sangat jarang aku curhat balik. Namun, sejak mengenal Rizzi, entah mengapa aku jadi sering curhat kepadanya. Aku merasa dia adalah teman bercerita yang asik dan aku merasa nyaman dengannya.
Tentu saja bertahun-tahun kemudian aku menyadari tidak seharusnya aku terlena dengan rasa nyaman terhadap lawan jenis yang bukan mahramku. Itu bisa menjadi pintu masuk setan dan membuat patah hati yang seharusnya tidak perlu ada.
“Eh, tapi pernah gak sih kamu mikir…” ujar Rizzi. “Bisa jadi, dia begitu ke kamu, karena dia lihat kamu orangnya penyendiri. Dia sebenarnya pengen jadi teman kamu.”
“Aku gak butuh,” ujarku.
“Hus! Jangan sombong begitu.”
Astaghfirullah. Ya, aku sadar aku telah bersikap congkak dengan berkata begitu. “Ya, maaf. Maksudku, aku merasa nyaman sendirian, tidak dibuntuti dan direpoti terus.”
Ucapanku ternyata menjadi bumerang.
Meski aku tidak pernah menolak terang-terangan untuk membantu Ruri, tapi aku seringkali membentaknya karena aku kesal. Aku memperlakukannya seperti orang bebal yang tidak paham-paham saat kujelaskan. Aku tahu tidak seharusnya aku bersikap seperti itu, tapi waktu itu aku terbawa perasaan.
Suatu kali, aku datang ke kampus dan melihat Ruri sedang mengobrol dengan temanku di kelas. Vivi namanya. Bukan sekadar mengobrol, tapi Vivi sedang menjelaskan sesuatu dan Ruri bahkan mencatat. Dia mencatat! Aku bertukar sapa dengan Jihan dan duduk di sampingnya. Jihan kembali menekuni layar ponselnya yang sedang menampilkan TikTok, sementara aku menguping pembicaraan Ruri dan Vivi.
Vivi menjelaskan materi pekan lalu dan materi-materi sebelumnya. Dia menjelaskan dengan sabar, meski Ruri bertanya berulang-ulang tentang satu hal yang sama. Kalau aku mungkin akan berpikir: begitu saja kok tidak mengerti? Tetapi Vivi tetap sabar menjelaskan ulang. Dia bahkan mencoba berbagai perumpamaan untuk menjelaskan konsep itu kepada Ruri, hal yang tidak pernah kulakukan sebelumya.
Mengapa aku tidak terpikir melakukan itu sebelumnya? Kalau kulakukan, mungkin Ruri jadi lebih cepat paham.
Aku menjadi merasa bersalah. Selama ini, aku merasa Ruri tidak cukup berusaha. Namun, bagaimana jika dia sebenarnya sudah berusaha sampai batas kemampuannya? Akunya saja yang kurang sabar. Lain kali, aku harus lebih sabar, seperti Vivi.
Namun, tidak ada lain kali.
Ternyata, Ruri tidak pernah lagi mendatangiku untuk meminta bantuan. Dia tidak pernah lagi merepotiku. Bukankah ini yang kuinginkan? Namun, aku merenung. Entah mengapa ada rasa sesal di dalam hati.
Ketika kita membantu memudahkan seorang muslim yang kesulitan, Allah akan memudahkan kita juga saat kita kesulitan. Terlebih lagi kesulitan di akhirat. Aku tahu itu. Selama ini, untuk beberapa waktu, aku diberikan kesempatan untuk memudahkan urusan orang lain, tapi apa yang kulakukan? Aku justru tidak sabar dan ‘menolak’ kesempatan itu.
Seandainya saja aku lebih sabar…
Ah, tidak boleh berkata “seandainya saja”, karena itu membuka pintu godaan setan untuk tidak rida pada takdir Allah. Mungkin, Allah “menitipkan” kepadaku Ruri untuk sementara waktu saja, dan waktu itu sudah berakhir. Namun, aku menyesali karena tidak menyadari kesempatan berharga itu. Aku bahkan cemas, apakah perbuatan baikku diterima di sisi-Nya atau tidak?
Astaghfirullah.
Kecongkakanku mungkin telah membuat hati seorang muslimah terluka. Kesombonganku yang merendahkan sesama telah membuatku kehilangan keutamaan untuk membantu menghilangkan kesulitan saudari seimanku. Kini, pintu kesempatan itu telah tertutup dan mungkin tidak ada kesempatan kedua.