Aku ingin jatuh cinta. Tak seperti saudari kembarku, yang nampaknya cinta datang beruntun ke dalam hidupnya. Aku hanyalah sebuah bayangan yang tak pernah dilirik dua kali oleh siapapun. Keberadaanku hanyalah tambahan bagi saudariku.
Itu dulu. Sekarang aku hanyalah diriku sendiri. Rasanya terkadang mengerikan, harus menghadapi situasi sosial dan memutuskan untuk diriku sendiri. Kurasa setiap musim kehidupan punya plus dan minus.
Plusnya, saat ada seorang lelaki menunjukkan ketertarikan kepadaku, aku tahu itu untukku. Bukan untuk mendekati saudariku. Lelaki itu adalah Rizwardi, kakak tingkatku. Dia berada di semester 5 saat aku masih semester 1. Rizwardi perlu recourse satu mata kuliah Filsafat Seni karena dia tak ingin ada huruf C dan D di transkrip nilainya.
Awalnya, aku tidak menganggap keberadaannya. Dia hanyalah satu di antara beberapa kakak tingkat yang harus recourse. Setiap pekan, dia duduk di belakangku. Lambat laun aku mulai bertanya-tanya, apakah hal itu hanya kebetulan atau disengaja?
Beberapa pekan sebelum ujian semester, aku mulai memperhatikan penampilanku setiap hendak masuk kelas mata kuliah tersebut. Aku memastikan kerudung dan pakaianku serasi. Aku selalu mengenakan pakaian terbaikku, tapi juga berhati-hati agar tidak mengenakan pakaian yang sama dua pekan berturut-turut. Siapa tahu dia memperhatikan. Saat berbicara dengan temanku, aku berhati-hati agar tidak ceplas-ceplos, yang membuat citraku buruk di matanya.
Saat mengingat-ingat pekan-pekan itu, rasanya hidupku berbeda. Aku selalu menduga-duga akankah aku berpapasan dengannya di koridor atau di kantin. Diam-diam aku selalu memperhatikan sekelilingku saat di kampus, kalau-kalau dia ada. Dan, ketika dia memang ada, aku akan berusaha untuk tidak menatap ke arahnya. Hatiku hangat. Pipiku hangat. Aku jadi lebih ceria di hadapan teman-temanku.
Ujian akhir semester kukira adalah terakhir kalinya aku bertemu dengannya. Bagaimana tidak, dia dan aku berbeda semester. Dia mengambil mata kuliah tingkat atas, jadwal kami berbeda. Sekali lagi, untuk terakhir kali, dia duduk di belakangku saat ujian semester. Aku mengerjakan soal dengan tenang, memaknai saat-saat terakhir aku duduk di depannya di kelas yang sama. Namun, aku kecewa saat dia mengumpul lembar jawabannya lebih dulu dan keluar ruang ujian lebih awal.
Aku menggigit bibir bawahku. Ada perasaan berat menggelayut di dadaku. Kalau diibaratkan dengan warna, suasana hatiku adalah biru agak kelabu. Soal ujian kuselesaikan dengan berlama-lama. Tidak ada alasan untuk keluar lebih cepat.
Atau, kuselesaikan saja cepat-cepat? Berlama-lama di ruangan ini membuat suasana hatiku makin gelap.
***
Di koridor lantai 4, aku menumpukan tubuh pada pagar pembatas, menghadap ke bawah. Memperhatikan para mahasiswa di lantai bawah. Ada yang berjalan tergesa, berjalan santai sambil menatap layar ponsel, ada yang bercanda-canda dengan tiga atau empat temannya.
Masih ada jadwal ujian dua mata kuliah lagi. Setelah itu, aku akan menikmati liburan semester pertamaku sebagai mahasiswi. Aku akan pulang, berkumpul lagi dengan orang tua dan saudari kembarku serta adik lelakiku. Itu akan jadi liburan yang singkat. Semester genap sudah membayang-bayangi. Meski nanti libur, aku akan tetap disibukkan dengan urusan administrasi untuk semester berikutnya.
“Sedang mempertimbangkan kembali keputusanmu masuk jurusan ini?” Tanya seorang lelaki, mengejutkanku. Tanpa menoleh pun aku sudah tahu itu siapa. Aku sudah kenal suaranya, bahkan bayangannya.
Aku tersenyum, masih menatap ke bawah. Bukannya ingin bersikap tidak sopan, aku hanya takut aku tidak bisa berpaling kalau menatap wajahnya. Itu akan sangat memalukan.
“Enggak, kok. Aku betah di sini.”
Aku berharap aku mengatakan lebih banyak. Tapi apa?
“Baguslah. Kebanyakan mahasiswa semester satu merasa salah jurusan, lebih baik mundur segera sebelum masuk terlalu jauh. Membuang waktu dan usia.”
“Kakak sendiri? Merasa salah jurusan?”
“’Kakak’? Panggil Rizzi saja.”
Rizzi. Aku tahu, teman-temannya memanggilnya begitu.
“Awalnya, sih, iya. Lama-lama, aku menyukainya. Makanya aku mengambil ulang beberapa mata kuliah, karena aku sering gagal di semester-semester awal.”
“Beberapa? Tapi kita hanya sekelas di mata kuliah Filsafat Seni,” tanyaku penasaran. Kali ini aku menoleh padanya. Keningku berkerut karena bingung.
Rizzi tersenyum. Entah kenapa aku merasa matanya, alisnya, bahkan seluruh tubuhnya, ikut tersenyum. “Memang. Aku sudah mengambil beberapa mata kuliah saat semester pendek. Beberapa lagi akan kuambil semester depan. Kita akan ketemu lagi di semester depan, jangan sedih.”
Aku tertawa dan menunduk, menggeleng dengan gelengan kecil. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu. Namun, tebakannya memang benar. Aku memang sedih bila tak bertemu lagi dengannya semester nanti.
Dia lalu bertanya, “Ada WhatsApp, gak, Elysa?”
Maksudku… siapa sih yang tidak punya? Pipiku terasa hangat. Aku suka ketika dia menyebut namaku.
***
“Chatting sama siapa, ukhti? Itu ponsel nempel terus di tangan, gak pernah dilepas,” tegur Erica.
Aku cepat-cepat mengunci layar dan menelungkupkan ponselku. “Apa, sih!”
“Cowok, ya? Ih… ukhti-ukhti gak boleh pacaran. Haram!”
Aku mendelik sebal. Kembaranku itu masih suka memanggilku ‘ukhti’ dengan niat mengejek. “Nah, kan tahu haram. Situ sampai tiga pacarnya!”
Erica tergelak. Dia tidak terlihat menyesal atau malu. “Maaf, Lys. Aku bukannya ingin ikut campur. Terserah kamu mau pacaran atau enggak, itu hak kamu. Tapi… aku mau kita habisin waktu bareng-bareng. Mumpung libur!”
“Ya udah. Mau apa?”
Erica menyebutkan beberapa hal di dalam daftarnya. Khas Erica. Dia memang selalu mempersiapkan rencana. Dan aku selalu manut padanya.
Tak apa. Aku jadi punya bahan untuk kuceritakan pada Rizzi.
***
Bagi mahasiswi tahun kedua sepertiku, bisa terlibat dengan proyek tugas akhir senior adalah sebuah pengalaman berharga. Waktu Rizzi mengajakku ikut membantu proyeknya, tentu saja aku bersedia. Selain karena alasan yang lebih personal.
“Tenang aja, akan ada fee, kok.” Ujar Rizzi.
“Aku memang gak mau melakukannya cuma-cuma,” dalihku. Padahal, aku bersedia melakukannya cuma-cuma. Membuatku merasa dibutuhkan oleh Rizzi saja sudah menjadi bayaran yang cukup. Maksudku, kenapa meminta bantuanku, bukannya orang lain? Memikirkan bahwa Rizzi ingin menghabiskan lebih banyak waktu denganku membuatku tersenyum.
Segera setelah sidang tugas akhir Rizzi, kami mengeksekusi rencana. Kurang lebih dua minggu waktu yang kuhabiskan dengan intens bersamanya. Kami bertemu hampir setiap hari untuk menyelesaikan proyek itu tepat waktu. Rizzi akan membuat pameran interaktif tentang edukasi lingkungan. Aku membantunya menyelesaikan desain yang sudah dia selesaikan konsepnya, merangkai props pameran yang 50% harus dikerjakan dengan tangan, serta menyusun display satu hari sebelum pameran.
Kami mengerjakannya sebisa mungkin di tempat umum. Di perpustakaan, kafe, open space kampus.
Saat hari terakhir pameran, hari ketiga, aku membantu Rizzi menutup pameran. Dosen pembimbing Rizzi memberi selamat kepadanya. Menurut beliau, pameran ini sukses. Tentu aku ikut bangga!
“Kita tim yang hebat,” kata Rizzi sambil memberi acungan jempol kepadaku.
Mau tak mau pikiranku traveling jauh ke masa depan. Kami tim yang hebat. Mungkin kami ditakdirkan untuk ‘bekerja sama’ dalam proyek yang lebih besar. Menjadi pasangan. Membangun rumah tangga bersama. Mungkinkah?
Angan-angan itu tidak bertahan lama. Tak lama setelah pameran tugas akhir itu, aku dihantui ketidakjelasan. He ghosted me. Awalnya, kukira mungkin dia masih disibukkan dengan tetek bengek administrasi wisuda, sehingga dia tak sempat mengirim pesan. (Tapi sesibuk-sibuknya, masa sih tidak sempat berkabar? Apa susahnya mengatakan bahwa dia sedang mengurus kelengkapan wisuda?) Namun, saat tak sengaja bertemu di kampus, dia terkesan menghindar. Andai waktu itu aku sedang tidak buru-buru ke kelas berikutnya, pasti aku sudah mengejarnya. Menuntut penjelasan.
Aku merasa tidak berharga. Saat ini, rasanya memang konyol kalau aku merasa begitu, tapi memang itulah yang kurasakan waktu itu. Merasa tidak berharga. Seperti sampah yang habis manis dibuang begitu saja. Tidakkah waktu yang kami habiskan bersama berharga? Tidakkah dia ingin mempertahankan kebersamaan kami ke jenjang lebih serius?
Memang, kami tidak melabeli hubungan kami. Hubungan kami mengalir begitu saja. Mungkin, di satu sisi, aku tahu berhubungan dengan lawan jenis hingga melibatkan perasaan begitu, seperti kata Erica: haram, sehingga aku merasa ‘aman’ di dalam hubungan tanpa status. Aku mengelabui diriku sendiri, mencari dalih dari perbuatan dosa dan berkata, “kami kan tidak pacaran.” Padahal, andai aku tegas kepada diriku sendiri, tidak membuat lelaki mana pun mudah mendekatiku, aku tidak akan patah hati seperti ini.
Beberapa bulan berlalu.
Kupikir, ya sudahlah. Toh dia sudah tidak berada di kampus ini. Perasaanku tidak akan lebih tersiksa lagi. Namun, aku keliru. Lelaki itu, yang namanya tak pernah lagi kusebutkan bahkan di dalam diari, mengirim sebuah pesan. Sebuah undangan pernikahan. Saat itu aku tahu, aku belum betul-betul merelakannya. Aku hanya menyibukkan diriku dengan tugas-tugas dan proyek-proyek bersama dosen untuk mengalihkanku dari kecemasan mengenai hubungan kami. Pesan itu diawali dengan:
Assalamu ‘alaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Tanpa mengurangi rasa hormat, kami mengundang …
Tanpa mengurangi rasa hormat apanya! Aku langsung menutup pesan itu. Aku sedang ada kuliah, biar kubaca nanti. Namun, sepanjang sisa kuliah hari itu, aku tidak bisa berkonsentrasi. Ponselku terasa membakar ketika kupegang. Pada saat ini, yang kuinginkan adalah pesan itu sirna bersama sang pengirim pesan.
Aku tidak bisa menahan diriku ketika kuliah ketiga berakhir, aku langsung mencari tempat duduk di tempat sepi untuk membaca pesan itu dengan tenang. Tak peduli perutku yang menuntut makan siang. Itu bisa menanti. Dengan tangan gemetar, entah karena lapar, entah karena marah, aku membuka pesan dari Rizzi dan membacanya dengan teliti.
Setiap kata yang tersapu mataku, menusuk-nusuk jantungku. Kupingku terasa panas, aku merasakan tekanan seperti ketika sedang menyelam. Makin lama makin menekan. Setetes air mata yang panas mengalir dari ujung mataku.
Aku pulang ke rumah kost dan mengunci diriku di kamar. Dadaku sakit. Teramat sakit. Apa yang harus kulakukan dengan rasa sakit ini?
Sebuah nama muncul dalam benakku. Kak Maira, kakak kelas yang cukup dekat denganku di SMA. Aku mengirim sebuah tanya ke nomer ponselnya.
Kak, amalan apa yang perlu dilakukan jika kita merasa teramat kecewa?
Waktu itu, aku tidak berpikir panjang. Aku melakukan satu-satunya hal yang menurutku paling cepat untuk mengatasi perasaanku. Aku bahkan tidak berpikir untuk berbasa-basi, mengingat kami sudah beberapa tahun tidak bertukar kabar. Aku hanya tahu, dia orang baik, dia akan selalu siap sedia ketika seorang teman membutuhkannya. “Itulah gunanya saudara,” begitu ucapnya setiap kali aku merepotkannya. Jadi, ketika pesanku langsung dibalas saat itu juga, aku merasa telah melakukan hal yang tepat.
Istighfar, Lys.
Astaghfirullah. Ampuni Elysa, Ya Rabb.
Aku bahkan tidak berpikir untuk membalas pesan Kak Maira. Begitu membaca balasannya, hati dan bibirku otomatis menyebut istighfar. Ponselku kubiarkan tergeletak begitu saja sementara aku meringkuk di atas kasur, tak henti-henti mengucap permohonan ampun kepada Al Ghaffar.
Air mataku tidak berhenti mengalir. Bahkan sampai mataku terasa bengkak. Terkadang aku berhenti terisak. Lalu, seakan tak mau pergi, perasaan sesak, sedih, kecewa, kembali memicu air mataku. Aku terisak lagi. Dan lagi. Dan lagi.
Teganya dia meninggalkanku seperti itu? Dia pergi tanpa penjelasan, lalu berani-beraninya mengirim undangan. Dia membiarkanku merasa bahwa aku berharga bagi hidupnya, lalu begitu saja mencampakkanku.
Pikiranku mencari-cari alasan logis mengapa kejadian itu menimpaku. Aku memang salah. Aku membiarkan perasaanku mendominasi, mengabaikan logikaku yang memberi peringatan bahwa yang kulakukan itu salah. Aku sengaja menabrak aturan, berinteraksi berlebihan dengan lelaki itu di luar yang dibenarkan, lalu aku sendiri yang menanggung akibatnya.
Meskipun perbuatanku salah, aku menolak menerima bahwa itu semua salahku. Dia lelaki yang tidak bertanggung jawab. Masih untung kamu tidak diapa-apakan, suara kecil di pojok tersembunyi benakku berkata. Ya, itu benar. Namun, bukan berarti aku bisa mengabaikan tindakannya begitu saja. Kami berdua manusia dewasa. Dia lelaki dewasa. Aku yakin dia menyadari tindakannya. Apapun alasannya, dia telah menyakitiku.
Aku mengingat obrolan-obrolan kami di WhatsApp. Hampir tak pernah absen setiap hari. Makanan-makanan yang dia kirimkan lewat ojek online ke kostku. Dia hafal minuman kesukaanku. Selalu menyempatkan menemaniku saat di kampus, meski untuk mengobrol selama 5 menit di perpustakaan atau menemaniku ke ruang kuliah berikutnya.
Ya, dia telah memperlakukanku dengan istimewa dan membuatku merasa istimewa. Namun, semua itu ternyata tidak ada artinya tanpa komitmen. Semua itu tidak bernilai. Apakah aku hanya dijadikan ajang latihan bagaimana dia memperlakukan istrinya kelak? Hatiku geram menyadari aku telah bermain api dengan jodoh orang lain. Aku menanam rasa sayang hanya untuk digilas mati oleh kenyataan bahwa dia memilih menikahi perempuan lain.
Astaghfirullah. Selama ini aku pura-pura bodoh. Selama ini aku pura-pura tidak tahu tentang hukum Allah. Allah melarang setiap perbuatan yang mendekati zina, bukan? Kurasa, ini cara Allah menyadarkanku, bahwa setiap hal yang Dia larang adalah untuk kebaikanku sendiri.
Itu adalah patah hati pertamaku terkait lelaki. Semoga juga yang terakhir.
Mulai saat itu aku bertekad tidak akan membuka hatiku untuk lelaki mana saja, kecuali dia yang berkomitmen melindungi keselamatan hati dan jiwaku, dunia dan akhiratku. Mulai saat itu, aku berdoa agar Allah menyembuhkan hatiku dan menjadikanku jatuh hati hanya kepada lelaki yang menjadi jodohku.
Dari mana aku akan tahu kalau seorang lelaki adalah jodohku?
Jujur, aku tidak tahu. Namun, yang kutahu adalah Allah tidak akan pernah menelantarkan seseorang yang bergantung sepenuh hati kepada-Nya.