Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ben & Cori
MENU
About Us  

Pulang kerja, Cori langsung ke daerah Nagoya untuk mencari keberadaan toko roti Romaine Bakery. Tidak sulit menemukannya karena bangunan ruko dua tingkat itu terletak di pinggir jalan utama dan terlihat berbeda dari bangunan di kiri dan kanannya.

Modern. Elegan. Harum. Ramai.

Empat kata itu cukup untuk menggambarkan keadaan Romaine Bakery sore ini. Cori hanya berdiri di halamannya, mengamati tanpa berniat untuk berkunjung. Setidaknya untuk hari ini. Barangkali nanti, kalau hatinya sudah siap bertemu lagi. Misalnya, berpura-pura membeli roti tawar, barangkali?

Perempuan tua itu sedang mondar-mandir di depan etalase bening berisi berbagai macam roti dan kue-kue menggiurkan, membuat Cori meremas tali kecil ranselnya.

"Mama..." lirihnya sendu.

Usianya sudah 27 tahun, usia yang dianggap cukup matang untuk bisa memroses masa lalu buruk menjadi sebuah pelajaran berharga dan hidup berdampingan dengannya dengan perasaan nyaman.

Tapi mengapa melihat mamanya hidup dengan baik membuat hatinya sakit? Ada bagian dirinya yang tidak mau menerima kebahagiaan Mutia dengan anaknya yang entah di mana. Jiwa kecilnya masih memberontak tidak terima dengan tindakan Mutia yang telah meninggalkannya sejak usia beberapa jam. Mengapa dirinya begitu tidak diinginkan sedangkan mamanya mempunyai anak dari laki-laki lain? Mengapa?

Sungguh, saat ini Cori sangat membutuhkan penjelasan paling logis atas kejadian bertahun-tahun silam. Sebab, jawaban yang dia dengar dari mulut mamanya terasa ... tidak masuk akal.

Andai dia tidak pernah mencuri dengar fakta apa pun mengenai sejarah kelahiran dirinya. Terkutuklah rasa keingintahuannya yang tinggi! 

Cori mundur pelan-pelan, menjauhi Romaine Bakery yang makin mengabur dari pandangannya. Justru memori menyakitkan itu kian menajam ketika dia benar-benar meninggalkan toko roti Mutia Adnan.

Usianya saat itu baru sembilan belas tahun. Cori datang ke restoran Sudjana dengan hati meledak saking gembiranya karena ingin berbagi kebahagiaan kelulusan sidang skripsi yang baru selesai dua jam yang lalu. Masih dengan kemeja putih dan rok hitam, menenteng bunga kelulusan dari teman-temannya, tas ransel berat berisi beberapa literatur, dan skripsi tebal hasil kerja kerasnya beberapa bulan terakhir.

Cori langsung diarahkan oleh asisten Sudjana ke lantai dua karena si pemilik restoran sedang menerima tamu. Baiklah. Dia akan sabar menunggu papanya selesai demi kabar baik ini.

Ketika sampai di lantai dua, suara dua orang yang sedang beradu argumen memenuhi ruangan senyap itu hingga sampai ke rungunya, membuat Cori tertarik untuk mendengar lebih. Sebab, ia mengenali salah satu suara yang sedang meninggi: suara Sudjana.

Kakinya tanpa diperintah membawa diri ke depan ruangan Sudjana yang tak tertutup rapat. Dan apa yang Cori dengar setelahnya membuat cerita indah Sudjana tentang Mutia yang telah dibangun sedemikian rupa, runtuh seketika.

***

"Bun, Ben belum bisa pulang. Pak Deputi kenapa lama sekali bicaranya?"

Ben mengomel sambil berbisik, membuat Popy terkekeh di teras rumah anaknya.

"Jangan pikirin yang macem-macem. Rapat aja yang bener. Ketahuan ngedumel bahaya, Ben. Nggak hormat juga sama pimpinan namanya."

"Tapi Ben mau temenin Bunda. Besok pagi Ben udah berangkat ke Natuna, Bun. Natuna. Lima ratus kilo dari Batam."

"Bunda tungguin. Bunda nggak akan tidur sebelum kamu pulang."

"Janji ya, Bun?"

"Iya, iya. Ini anak." Popy tertawa kecil. Lalu matanya menangkap sesosok perempuan berjalan seperti siput sambil menunduk mendekati rumah nomor lima. "Ben, anaknya Djana itu yang tinggi, badannya gemuk, rambutnya panjang?"

"Cori baru pulang?!" Ben terdengar lumayan kaget bagi pendengaran Popy. "Udah jam delapan malam lho ini. Pantesan tadi Om Djana nelepon Ben. Soalnya ponsel Cori nggak aktif."

Popy menelengkan kepalanya menatap Cori yang semakin dekat dengan teras rumahnya.

"Itu anak kok Bunda lihat murung banget? Mirip Boni waktu diputusin pacarnya yang terakhir itu," lapor Popy ke anaknya.

"Cori kenapa, Bun?!" Suara Ben otomatis berubah khawatir, membuat Popy bertanya-tanya. "Nanti Ben telepon dia aja. Bun, udah dulu ya. Kayaknya ceramah Pak Deputi hampir selesai."

"Iya. Hati-hati pulangnya."

"Siap, Bunda."

Klik.

"Nak," panggil Popy cepat. Sebab Cori hampir saja masuk ke rumahnya.

Ketika berbalik, Cori menemukan seorang perempuan paruh baya berhijab mendatanginya dengan tersenyum. Ia sedang menerka-nerka, kenapa senyum ibu itu mirip senyum tetangganya? 

"Ya, Bu?"

"Kamu Cori, kan? Anaknya Djana?"

"Ibu kok tahu..." Kalimatnya menggantung di udara.

"Saya Bundanya Ben. Baru datang tadi siang."

Rasa penasaran Cori terjawab sudah. Cori langsung mencium punggung tangan Popy.

"Abang nggak kasih tahu Cori kalau Tante mau datang. Kalau gitu kan, Cori bisa cepat pulang supaya bisa temenin Tante. Setahu Cori, Abang pulangnya telat hari ini."

"Tante juga dadakan kasih tahu Ben." Popy tersenyum, sambil memperhatikan raut wajah Cori yang lelah dan ... sendu. "Kamu udah makan malam?"

"Hm, belum sih, Tan."

Cori tiba-tiba kehilangan selera makan. Padahal, di saat-saat seperti inilah nafsu makannya diperlukan untuk melupakan gundah gulananya. Seperti yang sudah-sudah.

"Nah, pas banget. Tante bawa lauk kesukaan Ben. Kita makan sama-sama bareng Boni ya, di dalem?"

"Ada Boni juga, Tan?"

Cori mendengar cerita tentang Boni dari Ben hanya lewat foto. Bertemu langsung tentu sebuah pengalaman yang berbeda.

"Iya. Dia ada tugas beberapa hari di sini dari kantornya."

"Bagaimana kalau makannya di rumah Cori aja, Tan? Soalnya Cori nggak yakin perlengkapan makan Bang Ben cukup untuk kita bertiga." Cori menggigit bibir bawahnya, takut Popy tersinggung.

Namun, yang Cori dapati adalah tawa seorang ibu yang lembut mengalun di pendengarannya. Membuat hatinya menghangat entah sebab apa.

***

Setelah membersihkan diri, Cori mengundang keluarga Adriansyah masuk dan mengisi meja makan mungilnya yang terlalu lama kosong. Terakhir itu ya, beberapa bulan yang lalu ketika Sudjana dan Ben sarapan bersama.

Melihat dua sisi mejanya terisi saja sudah memenuhi hatinya. Ternyata Cori suka keramaian. Cori senang ada suara-suara lain selain suara piring dan sendok.

Namun, selintas memori pahit dengan tidak sopannya lewat di momen bahagianya. Cori terpaksa meremas sendok agar memadam emosi yang tiba-tiba berkobar karena rekaman suara Mutia yang tak pernah menginginkannya hadir di kepalanya. 

“Mas Djana, dengar ya! Dari awal aku nggak pernah menginginkan anak itu lahir. Kenapa Mas masih maksa aku bertemu dia, sih? Udah untung aku masih bertahan mengandung dia.”

Kilas balik percakapan menyakitkan itu terus-terusan menghantam nalarnya di tengah makan malam damai ini.

"Kalau tugas kamu udah selesai, kita cari isi dapur buat Abang kamu ya, Bon."

"Baik, Bun."

"Bukannya kamu menginginkan anak, Ti? Itu mimpi kita berdua, kan? Atau hanya mimpiku saja?"

"Kasihan, masa di dapurnya cuma punya mangkok, piring, garpu, sendok, masing-masing dua buah." Popy mendesah kecil.

"Tapi kan ada Kak Cori, Bun. Abang nggak bakal kekurangan deh, kayaknya," timpal Boni. Lirikan Boni penuh dengan makna tersembunyi.

"Hush, nggak boleh gitu."

Sayang, Cori sedang tersesat dalam memori masa lalu yang menjerat hati. Kemampuan mendengar Cori turun drastis.

"Enggak, di saat aku sedang mempersiapkan diri untuk kompetisi itu, Mas. Mual, muntah, nggak bisa makan. Aku sampai bed rest dan batal ikut lomba patisserie bergengsi se-Asia Tenggara. Aku juga melewatkan kesempatan besar mendapatkan beasiswa sekolah pastri ke Perancis setelah melahirkan dia. Semua gara-gara anak itu. Dia membawa sial. Membawa petaka."

"Please, Ti. Jangan salahkan Cori. Dia sebuah keajaiban, sebuah berkah. Aku tidak menyesal dia hadir dalam hidupku. Kamu seharusnya melihat bagaimana dia tumbuh menjadi anak yang sehat, baik, dan pintar. Cori loncat kelas dua kali, Ti. Betapa luar biasanya Cori. Kamu harus berbangga dengan anak kita."

"Anak kita? Bagaimana bisa aku bangga padanya? Dia menghancurkan masa depanku! Aku akan tetap menyalahkan dia. Kamu turut andil, Mas. Kamu nggak pakai pengaman waktu itu. Demi Tuhan. Kita bahkan melakukannya menjelang menikah."

"Mutia, aku tahu kita berdua sama-sama menginginkannya saat itu. Jangan bebankan kesalahan berdua padaku saja! Dan ingat, jangan pernah menyalahkan anak kita!" Suara Sudjana menggeram rendah.

"Ck!"

"Aku sangat mencintaimu, Ti. Cintaku nggak lekang bahkan setelah kamu pergi. Sampai saat ini aku masih sendiri. Aku menunggumu, Ti."

"Bullsh*t. Jangat bawa-bawa perasaan sekarang, Mas Djana."

"Kamu tahu, ketika tahu kamu hamil, aku berteriak seperti orang gila karena mendapatkan buah hati yang akan menggabungkan keunggulan masing-masing dari kita. Walaupun aku menyesal karena perbuatan kita salah, Ti, sungguh, tapi kehadiran Coriander tidak pernah membuatku menyesal."

"Haaaah." Tak sadar helaan napas keluar begitu saja dari mulut Cori, membuat dua pasang mata menatapnya penuh tanda tanya.

Nggak cukup dibuang Mama, aku juga lahir terlalu cepat. Anak haram? Yang benar saja, sarkas Cori dalam kepalanya.

"Hah. Coriander!" Cori bisa mendengar nada cemoohan walau hanya dari suaranya saja.

"Ingat, namanya Coriander Romaine Sudjana, Ti. Gabungan hal kesukaan kita. Sebab, dia ada karena kita. Benih kita berdua."

"Nak Cori."

"Kak. Kak Cori kenapa?"

Bonita dan Poppy menunggu Cori dalam keheranan. 

"Aku nggak peduli." Suara Mutia terdengar dingin, membuat Cori merinding di balik pintu. "Kamu dan anakmu menghancurkan hidupku dan karirku. Jangan pernah meminta aku lagi untuk bertemu dia, Sudjana!"

Karena tidak direspon, Popy dan Bonita saling pandang penuh arti.

"Cori, kamu baik-baik saja?"

Seseorang terkesiap. Sentuhan di punggung tangannya membuyarkan kilas balik menyakitkan itu.

Cori mendapatkan tatapan keibuan paling tulus yang tidak pernah dia dapatkan sebelumnya dari siapa pun. Kehangatan di tangannya ikut menghangatkan jiwanya. Ah, bolehkan ia menangis di pundak bunda Ben? 

"Kak, apa kami mengganggu waktu istirahat Kak Cori?" tanya Boni pelan.

“Enggak dong, Boni. Kenapa mikirnya begitu? Ayo lanjut makan Tante, Boni,” dusta Cori. 

Genggaman tangan Popy mengerat. Ia meremas lembut seakan berusaha mengalirkan ketenangan. Ia memutuskan untuk membiarkan Cori menyimpan apapun yang membuat dirinya teralihkan dari dunia. Popy menghormati kesedihannya. 

"Ya udah. Cobain abon daging buatan Tante. Ini tuh kesukaan Ben. Itu anak bisa habisin sekilo sendirian, lho."

***

Pukul 10.30 malam Ben baru sampai di rumahnya. Hari ini benar-benar melelahkan. Bukan karena pekerjaan, walaupun pekerjaannya seperti biasa segudang banyaknya. Itu karena pikirannya terlalu sibuk memikirkan tidak adanya kesempatan bertemu Cori seharian ini selain tadi pagi.

Lampu rumah Cori sudah padam, membuat Ben mendesah lelah. Padahal ia ingin sekali mengobrol barang sebentar saja demi mengganti waktu yang hilang seharian ini. Ben menyandarkan tubuhnya yang lelah di jok kemudi, menatap nanar rumah nomor lima.

Ting!

Suara notifikasi WhatsApp mengalihkan pikiran Ben sejenak.

"Pesan dari Cori?"

Tak sadar garis senyum Ben tertarik ke kiri dan ke kanan.

"Apa dia belum tidur? Apa dia ... menungguku?" Cepat-cepat Ben buka aplikasi WhatsApp-nya. 

Coriander Romaine Sudjana
Besok Abang berangkat jam berapa?

Anda
Jam delapan ke bandara.

Coriander Romaine Sudjana
Berapa lama di Natuna?

Anda
Tujuh hari.

Coriander Romaine Sudjana
Lama banget! 😩

Untuk sesaat, hati Ben seperti balon. Menggelembung bahagia sampai membuatnya terbang ke angkasa.

Anda
Mau bertemu sebentar denganku?

Coriander Romaine Sudjana
Temui Bunda Abang, gih. Tante kangen sama anaknya, tau!

Duar!

Balon tadi meletus.

Ben tergelak, meningkahi rasa kecewanya tak dapat bertemu Cori. Padahal ia akan berada di Natuna selama seminggu. Bagi Ben, seminggu bukan waktu yang sebentar, apalagi ia harus menerima kenyataan bahwa ia mesti berpisah dengan si tetangga.

"Aku kangen kamu, tau!" lirih Ben di antara senyum kecewanya.

Alih-alih mengatakan itu, dia mengirim ini.

Anda
Kalau gitu kita video call sebentar, yuk?

Coriander Romaine Sudjana
Enggak mau! 😝

Jiwa Ben melayang sepersekian detik.

Anda
Coriander... πŸ˜₯


Coriander Romaine Sudjana 
Maunya ketemu langsung 😚

Anda
Ayoook.

Baru saja tangannya hendak menggapai pintu, sebuah pesan menyurutkan semangatnya. Lagi-lagi Ben kecewa.

Coriander Romaine Sudjana
Besok ya, Abang Benjamin Malik Adriansyah. Besok kita akan ketemu. Udah, aku mau bobok cantik dulu. Daaah... πŸ™‹

Sementara itu di kamar rumah nomor 5...

"Aku nggak bisa ketemu Abang dengan kondisiku begini. Padahal ... aku kangen berat ..." bisik si pipi chubby di antara isaknya di balik selimut.

Bersambung

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Menggenggam Harapan
404      273     0     
Short Story
Sampai kapanpun, dua hati yang tak pernah jujur akan perasaannya satu sama lain, berarti pemiliknya hanyalah menggenggam perasaan, menggenggam harapan.
Lukisan Ilalang
227      194     1     
Short Story
Aku memandangi senja dalam lukisan padang ilalang itu, lukisan yang tertempel di dinding kamarku yang putih. Lukisan yang menjadi kunci dalam membuka masalaluku. Ayah, sekarang aku tidak perlu lagi berusaha untuk mencuri senja, karena sekarang aku sudah punya senjaku sendiri. Hadiah pertama dan terakhir dari ayah. Ayah aku mencintaimu dan aku bahagia bisa menyebutmu Ayah. Ayah, aku tidak pernah m...
Renjana: Part of the Love Series
256      209     0     
Romance
Walau kamu tak seindah senja yang selalu kutunggu, dan tidak juga seindah matahari terbit yang selalu ku damba. Namun hangatnya percakapan singkat yang kamu buat begitu menyenangkan bila kuingat. Kini, tak perlu kamu mengetuk pintu untuk masuk dan menjadi bagian dari hidupku. Karena menit demi menit yang aku lewati ada kamu dalam kedua retinaku.
Jalan Yang Kau Pilih
1582      662     3     
Romance
Berkisah tentang seorang ayah tunggal yang mengurus anaknya seorang diri. Ayah yang sebelumnya seorang militer kini beralih profesi menjadi seorang pemilik kafe. Dia bertemu dengan wanita yang adalah wali kelas anaknya. Terlebih lagi, mereka adalah tetangga dan anaknya menyukai wali kelasnya itu.
lintas cerita gue buat loe
789      472     0     
Short Story
LINTAS CERITA GUE BUAT LOE Maratul ulumiyah Dari beberapa lintasan fikiran gue banyak ide ide yang bermunculan, dan bingung gue harus tulis apa yang bisa membuat seseorang tertarik untuk membacanya dan bermanfaat bagi semuanya. Entah bagaimana caranya mendapat ide yang bagus dari berbagai cara gue lakukan dari gue baca buku cerita cerita orang, telah terfikir dari benak gue jalan cerintanya sep...
Sampai Kau Jadi Miliku
1642      773     0     
Romance
Ini cerita tentang para penghuni SMA Citra Buana dalam mengejar apa yang mereka inginkan. Tidak hanya tentang asmara tentunya, namun juga cita-cita, kebanggaan, persahabatan, dan keluarga. Rena terjebak di antara dua pangeran sekolah, Al terjebak dalam kesakitan masa lalu nya, Rama terjebak dalam dirinya yang sekarang, Beny terjebak dalam cinta sepihak, Melly terjebak dalam prinsipnya, Karina ...
Peri Hujan dan Sepucuk Mawar Merah
913      541     8     
Short Story
Sobara adalah anak SMA yang sangat tampan. Suatu hari dia menerima sepucuk surat dari seseorang. Surat itu mengubah hidupnya terhadap keyakinan masa kanak-kanaknya yang dianggap baginya sungguh tidak masuk akal. Ikuti cerita pendek Peri Hujan dan Sepucuk Mawar Merah yang akan membuatmu yakin bahwa masa kanak-kanak adalah hal yang terindah.
My Teenager’s Diary
385      244     2     
Short Story
Kata orang, masa muda itu masa yang indah. Masa muda juga menempati masa terindah di benak orang, contohnya ketika kita berani memimpikan sesuatu yang belum tentu terjadi atau mungkin tidak terjadi. Ini adalah sedikit kisah masa mudaku, kisah yang akan terkenang sebagai bagian perjalanan hidupku.
Kompilasi Frustasi
4213      1242     3     
Inspirational
Sebuah kompilasi frustasi.
PALETTE
529      289     3     
Fantasy
Sinting, gila, gesrek adalah definisi yang tepat untuk kelas 11 IPA A. Rasa-rasanya mereka emang cuma punya satu brain-cell yang dipake bareng-bareng. Gak masalah, toh Moana juga cuek dan ga pedulian orangnya. Lantas bagaimana kalau sebenarnya mereka adalah sekumpulan penyihir yang hobinya ikutan misi bunuh diri? Gak masalah, toh Moana ga akan terlibat dalam setiap misi bodoh itu. Iya...