Kelopak matanya sudah menempel erat. Sebentar lagiiii saja, Ben yakin sudah berlayar di alam mimpi, tapi sebuah nada dering khusus menggema di kamarnya yang gelap, membuat rasa kantuk menghilang dengan lesap. Karena ia tahu, seseorang yang menelepon itu sangat penting, walaupun jarum pendek sudah menunjuk angka 11 di jam dinding.
Ben menempel ponselnya ke daun telinga.
"Untung kamu belum tidur."
"Memangnya ada apa, Bun?"
"Boni."
"Boni kenapa, Bun?!"
Ben langsung duduk dari pembaringannya. Ia tidak menyembunyikan nada sarat akan kekhawatiran meski belum tahu Ben khawatir untuk apa. Mereka hanya hidup bertiga. Popy dan Bonita akan selalu menjadi prioritas Ben.
"Ndak usah cemas begitu. Boni baik-baik aja."
Ben mendesah lega. "Ben pikir dia kenapa-kenapa."
"Surat tugas Boni ke Batam sudah keluar. Yeeeey, akhirnya Bunda bisa ketemu anak Bunda yang hilang."
Ben mendengkus geli. Ada alasan mengapa Popy menyebut Ben anak hilang. Ben jarang pulang, dan Ben tidak akan membantahnya.
"Maaf, Ben memang belum bisa ambil cuti. Tahun ini aja Ben belum dapat celah untuk pulang. Jadwal pemeriksaan lagi padat, Bun. Apa lagi di Kepri kantornya tersebar di pulau-pulau. Lebih melelahkan daripada di darat." Si anak lelaki malah curhat.
Tidak berdosa kok lelaki yang mengeluarkan keluh kesah. Bukan berarti dia lemah. Karena kadang kita sebagai manusia hanya butuh didengar ketika ingin mengeluarkan uneg-uneg, tidak melulu soal solusi, walaupun ya ... lelaki memang diciptakan Tuhan sebagai makhluk solusi.
Malam ini, Ben berubah menjadi anak laki-laki ketimbang seorang pria dewasa yang sudah matang di depan ibunya.
"Nggak apa-apa, Nak. Bunda ngerti. Yang penting kamu enjoy sama kerjaan kamu. Bunda nggak pernah nuntut macem-macem, Ben." Ben menarik kedua garis senyumnya ke kiri dan ke kanan.
"Makasih, Bun. Jadi kapan Bunda dan Boni berangkat?"
"Besok."
"Apa?! Nggak terlalu mendadak?"
"Bunda sih ikutin Boni. Setelah Boni dapat surat perjalanan dinas, Bunda langsung beli tiket, dong. Nggak sabar soalnya." Popy terkekeh.
Mendengar suara Popy begitu bahagia, tidak ada hal lain yang Ben cemaskan. Itu yang terpenting. Ben begitu menyayangi bundanya.
"Tapi lusa Ben dinas ke luar pulau, Bun."
"Beneran?" Popy terdengar terkejut.
"Iya."
"Nggak apa-apa. Ketemu sebentar sebelum kamu berangkat dinas aja Bunda udah seneng. Yang penting Bunda bisa ketemu sama si Sabeni ini."
Ibu dan anak itu tertawa lepas. Sabeni adalah panggilan yang disematkan teman-teman SMA-nya dulu. Meski demikian, Popy suka memanggil anaknya Sabeni sesekali. Untuk lucu-lucuan saja.
Dan setelah sepuluh menit bertukar kabar, panggilan berakhir dengan ucapan salam dan selamat tidur.
Ben jadi tergelak sendiri. Malam ini ia ditelepon dua orang tua. Seakan kini Ben telah memiliki orang tua lengkap, walaupun orang tua yang satunya lagi seperti setengah memarahinya tadi. Tidak mengapa. Itu tandanya ia telah dianggap anak oleh beliau. Demi Tuhan, mereka bahkan tidak memiliki hubungan darah.
Dan orang tua yang lain itu adalah Sudjana. Entah sejak kapan Ben menganggap Sudjana adalah orang tuanya sendiri.
Baiklah, mari kita runut sejak Ben berkata, Aku sudah berjanji mengantarkan Cori dalam setengah jam.
Ben telah berjanji pada Sudjana untuk mengantar anaknya pulang secepat mungkin dengan aman. Sebelum berjanji, Ben harus melewati serangkaian kata-kata mutiara dari Sudjana yang merunjam jantungnya lewat sambungan telepon.
Misalnya, Astaga! Kalian masih di luar?! Ngapain malam-malam berdua saja? Cepat antar anakku pulang!
Lalu ada juga kata-kata seperti, Papa tahu kalian berdua sudah sama-sama dewasa dan bisa menjaga diri. Tapi tetap saja, yang ketiga adalah setan. Tidak baik berdua-duaan sampai malam, Nak. Demi Tuhan, Coriander adalah anakku satu-satunya. Jaga anakku, Benjamin! Telepon Papa kalau sudah sampai di rumah. Bukan. Bukan telepon. Tapi video call bersama putriku.
Percayalah, saat suara berwibawa sarat ancaman itu merambat ke gendang telinganya, membuat jiwa dan tulang-belulangnya sempat gemetar sesaat. Perasaan gelisah menyusup ke hatinya. Itu sebabnya bagaimanapun caranya, Ben harus membawa Cori pulang malam itu dengan selamat. Sifat tanggung jawabnya langsung diuji malam itu juga.
Namun, ada satu hal penting yang harus dilakukannya besok pagi sebelum ia meninggalkan Pulau Batam. Ben harus melihat Cori tersenyum. Ia harus meminta maaf atas kekacauan yang seharusnya tidak perlu terjadi yang ia buat di halaman rumah Agni. Meskipun kekacauan itu tidak sepenuhnya salah Ben.
***
Cori sudah berusaha bangun lebih awal agar bisa keluar mengendap-endap dari kompleks ini tanpa ketahuan tetangga nomor empat. Namun, rencananya langsung ambyar ketika mendapati seorang pria sedang tersenyum canggung di depan pintu rumahnya sendiri.
"Hai."
Pria itu berusaha memamerkan senyumnya yang paling tulus dan ceria. Sayangnya tidak berefek. Yang ada Cori malah bete, ada sesosok wujud jangkung menyebalkan yang menudung tubuhnya.
"Bang Ben ngapain di depan pintuku?!"
"Aku mau ajak kamu berangkat bareng."
"Aku udah pesen ojek." Cori memamerkan aplikasi hijau di ponselnya.
"Batalkan, ya?" mohon Ben. "Sekalian temani aku sarapan di pasar Mega Legenda. Aku dapat rekomendasi mi Bangka yang enak di sana dari Bu Farida."
"Kasihan mbak ojeknya kalau dibatalin. Lagian bentar lagi mbaknya nyampe." Cori tidak mau ambil pusing dan mengunci pintunya.
"Nggak masalah. Tetap tunggu mbaknya, biar aku yang bayar. Tapi untuk kali ini aja, kita pergi bareng, ya?"
"Bang Ben..."
"Aku ingin menjelaskan kejadian semalam."
"Masih pagi, lho. Hariku masih panjang untuk mendengarkan cerita sinetron. Terlalu berat untuk mengawali pagi. Nggak bisa nunggu sampai nanti pulang kerja?!" ketus Cori.
"Aku rapat sampai malam dan besok pagi kami berangkat ke Natuna." Ben meringis.
"Natuna?"
"Ya."
Cori langsung menghitung kemungkinan berapa lama dan jauhnya jarak dan waktu yang akan memisahkan mereka. Pada akhirnya ia mengalah dan berkata, "Baiklah."
Kepala Ben serasa diguyur air pegunungan nan segar. "Terima kasih, Coriander. Terima kasih."
Tidak butuh waktu lama bagi si Brio putih membelah aspal pagi menuju Mega Legenda. Mereka berangkat lebih awal dan dapat menghindari macet panjang.
Di sinilah dua manusia itu berada, tengah menghadapi sarapan masing-masing di pusat jajanan dan sarapan pagi Pasar Mega Legenda.
Ben tidak mau lagi menyia-nyiakan waktu. Dua puluh lima menit sebelum memulai hari mereka di kantor, Ben harus menyelesaikan semuanya.
"Kamu pasti kaget melihat apa yang Agni lakukan padaku."
Cori mengangkat kepalanya dari piring paratha. "Kan kalian pernah dekat. Jadi ya, wajar aja, kan?" katanya datar.
Sayang, isi hati Cori bertolak belakang dengan ucapan dan raut wajahnya. Cori masih kesal dengan ingatannya semalam.
Dan Ben? Dia berharap mempunyai kemampuan mengendalikan waktu Doctor Strange agar bisa mencegah kejadian semalam.
Sebelum pulang, tiba-tiba Agni memeluk Ben dan mengatakan, "Ben, aku tahu kamu memang selalu bisa aku andalkan. Sekali lagi terima kasih, Ben.", tepat ke telinganya dan kecupan ringan mampir di pipi kanannya.
Benar-benar sebuah bencana!
Ben membeku ketika pintu mobilnya dibanting. Saat itu juga Ben menyentak pelukan Agni dan segera menjauhkan diri. Selama dalam perjalanan pulang ke Kluster Kepodang, Cori diam sejuta bahasa, membuat Ben berharap menjadi makhluk transparan saat itu juga.
"Kami memang pernah dekat. Tapi aku dan dia tidak sedekat itu lagi sampai nyaman untuk berpelukan dan melakukan hal lain."
Seperti mencium pipiku, sambungnya dalam hati.
"Yeah, terserah Abang. Bukan urusanku juga, kan?" Tangannya mengaduk kuah kari tanpa minat.
Cori mengangkat bahunya tidak peduli, karena hatinya sudah lelah menyaksikan pemandangan malam itu. Kalau dipikir-pikir, untuk apa capek-capek melelahkan hati kalau hubungan mereka tak lebih dari teman SMA, tetangga, dan rekan kerja? Masalahnya, hatinya berkhianat karena terlalu berharap banyak dari hubungan mereka yang tak lebih itu. Itulah bagian menyedihkannya.
Menyedihkan karena dirinya yang seperti ini tidak pantas menyukai seorang Benjamin Malik Adriansyah.
Selama Cori diam, Ben berpikir keras untuk menata dan merangkai kata-katanya agar tidak membuat gadis chubby-nya marah, sambil menandaskan mi Bangka yang gurih, kuah bening nan panas, dengan toping daging ayam, sayur sawi, dan sepotong pangsit isi ayam dalam hitungan beberapa kali seruput. Dan setelah mangkoknya licin, Ben mulai bicara.
"Aku tahu Agni bukan urusan kamu. Tapi biarkan aku menceritakan sedikit masa lalu kami." Sebelum Cori sempat protes, Ben cepat-cepat memotong. "Karena aku pikir, hubungan kami yang sudah usai pun bisa menjadi penghambat bagi masa depanku."
"Masa depan Abang?!" tanya Cori tidak percaya.
Bagaimana dengan masa depanku? rengek Cori dalam kepalanya.
"Ya. Masa depan yang ingin aku perjuangkan dengan benar kali ini."
"Terserah Abang aja, lah!"
"Baiklah. Dengarkan aku baik-baik. Coriander."
"Bang, cepetan!"
Ben memutar bola matanya gemas. "Baik, baik. Selama menjadi kekasihku, Agni pernah mengalami pelecehan seksual di salah satu mal Jakarta."
Cori terkesiap prihatin. "Astaga..."
"Kejadian itu sangat membuatnya terpukul. Aku ikut andil menjadi bagian pemulihan Agni selama beberapa bulan hingga dia kembali percaya diri lagi menghadapi dunia."
"Oh, Tuhan. Mbak Agni...."
Ya Tuhan, lindungilah kami semua dari predator seksual, doa Cori seketika.
"Begitulah, Cori. Tapi aku bersumpah aku tidak lagi menemukan alasan untuk tidak move on darinya. Pengkhianatannya membuat aku percaya bahwa dia bukanlah yang terbaik untukku. Tuhan telah menampakkannya sebelum kami sempat menggelar acara lamaran."
"Tapi Abang langsung menjemput Mbak Agni saat itu juga. Kan aku jadi mikir yang enggak-enggak."
Ben merasa hampir memenangkan 'perjudian' perasaannya pada si Chubby. Makin membengkak bahagia hati Ben dibuatnya. Ia membiarkan hatinya membuncah senang tanpa tahu isi pikiran Cori.
Sebuah tindakan yang beresiko patah hati, Ben.
"Karena aku tahu trauma Agni, Cori. Aku tidak ingin dia sendirian saat mengalami kejadian traumatis itu ketika hanya aku yang mengetahui masa lalunya dan dia 'sendirian' di pulau ini. Aku hanya datang untuk memberikan dukungan moral. Tidak lebih."
Karena Cori diam saja, Ben kembali bersuara. "Jadi, kamu percaya padaku, kan?"
"Untuk saat ini, ya."
Ben memutar bola matanya. "Untuk saat ini?"
"M-hm." Gadis itu mengangguk sekali. Lalu Cori melanjutkan menghabiskan sisa parathanya yang tinggal seperempat.
Baiklah. Setidaknya kamu memercayaiku, pikir Ben.
Kedua siku Ben ditumpukan ke meja, ingin mengamati lebih dekat si Gadis Ketumbar yang mengunyah dengan cara ... menggemaskan.
Apa sih yang enggak menggemaskan dari Cori, Ben?
"Jadi, apa yang kamu pikirkan waktu aku menjemput Agni?"
Sendoknya berhenti beberapa detik di udara, tapi setelahnya, Cori memotong se-ujung roti khas India itu.
"Abang terlihat sangat cemas. Sepertinya hubungan kalian baik-baik aja. Seperti masih..."
"Masih apa, Coriander?!" desak Ben.
"Pak Malik! Kok kalian bisa sarapan berdua?"
Percayalah, dua manusia itu terlompat kaget dari kursinya.
Bersambung