"Maafkan Papa..."
Cori terpaksa mengangkat kepalanya yang sudah nyaman menyandar di bahu Sudjana.
"Kenapa Papa minta maaf?"
Suara Sudjana yang berubah serak dan sendu membuat Cori menegakkan tubuh dan memutar badan sepenuhnya pada Super Dad-nya.
"Mungkin Arga meninggalkanmu karena dosa kami dulu," ucapnya putus asa.
"Papa tahu itu nggak benar!" Cori benar-benar tidak terima. "Papa sudah menebusnya dengan tidak pernah meninggalkan Cori sepicing mata pun dan dengan menjadi orang tua terbaik untuk Cori. Enggak ada hal yang lebih baik di dunia ini selain Papa yang selalu ada untuk Cori. Jadi Cori mohon, jangan salahin diri Papa. Masa lalu Papa nggak memengaruhi jalan hidup Cori. Kandasnya hubungan kami bukan gara-gara masa lalu Papa, Pa," mohon Cori.
Helaan napas lelah keluar begitu saja dari mulut Sudjana. Dia pikir, dia telah selesai dengan masa lalu. Sudjana pikir, dengan merawat Cori dengan cara terbaik yang bisa dia usahakan, Sudjana bisa meneruskan hidupnya dengan hati lapang. Namun, masa lalu itu terus membayangi ke mana pun dia bergerak di muka bumi. Dampaknya yang tidak main-main telah mempermainkan kehidupan putri satu-satunya.
Tangan tua itu mengusap puncak kepala Cori dan berlama-lama di sana.
"Apa dia pergi karena ... statusmu?"
"Ya Tuhan, ini lagi." Cori memutar bola matanya.
Cori memutuskan mematikan televisi dan fokus seribu persen pada papanya. Cori memang sedang berduka, tapi dia tidak mau membuat papanya ikut bersedih karena dirinya.
"Kan udah Cori bilang, Mas Arga milih orang lain ketimbang Cori karena ... fisik Cori, Pa. Lihat Cori." Cori menyapu tubuhnya dengan sekali lambaian tangan. "Bukan berarti Cori nggak mau berubah. Cori mau banget malah. Tapi... "
Nggak semudah itu, Pa... sambungnya dalam hati.
"I've told you so many times, Young Lady! There is nothing wrong with you and your body! Yang penting adalah kamu sehat fisik dan mental. That's all matters. Papa tidak suka kamu merendahkan dirimu seperti ini." Urat rahangnya mengeras. Sudjana harus mengubah pikiran pendek anaknya bagaimanapun caranya.
"Tapi itu kenyataannya." Cori mengangkat kedua bahunya ringan.
"He just doesn't deserve you at all, my Precious One. Hanya berarti satu hal, dia memang tidak pantas untuk anak Papa. Titik!"
"Yeah, mungkin."
Giliran Sudjana yang tidak terima ketidakpercayadirian anaknya. Hatinya makin tersemas karena tahu anaknya mengusap mata yang sudah sembab dengan lengan baju.
"Cori..."
"Hm?"
"Percayalah, akan ada seseorang yang tidak akan memandang fisikmu dan ... masa lalu Papa. Dia hanya ... belum muncul dihadapanmu, Nak."
***
Sudjana mengamati Cori bolak-balik kulkas dan kompor demi memasakkan mereka sarapan sederhana: nasi goreng telur dadar, kesukaan Sudjana. Walaupun begitu banyak resep fantastis dengan kesulitan tingkat tinggi baik dari Indonesia maupun mancanegara yang pernah Sudjana buat, tapi tetap saja, telur dadar dan nasi goreng adalah makanan paling ultimate di lidahnya. Sederhana, namun kaya rasa. Murah, tapi rasa tak kalah bergengsi dengan makanan mahal. Dan yang paling penting, siapa yang memasaknya.
"Ben nggak diajak sarapan bersama?" tanya Sudjana ketika piring-piring nasi mengepul terhidang apik di meja makan minimalis Cori.
"Tapi mata Cori lagi sembab Pa. Gara-gara curhat semalam, nih." Cori menunjuk matanya yang membengkak.
Semuanya bengkak. Nggak badan, nggak pipi, nggak mata! keluh Cori di kepalanya.
Sudjana adalah Super Dad-nya Cori. Pria tua itu sudah merangkap jadi ibu, teman curhat, teman hang out, teman shopping, dan teman kulineran bagi putrinya. Dengan siapa lagi Cori bebas bercerita kalau bukan pada orang tuanya sendiri? Ya, walaupun butuh waktu lama bagi Cori mengeluarkan isi hati itu.
"Bukannya kamu udah nangis kejer di depan Ben? Kenapa malunya baru sekarang, Nak?" canda Sudjana.
Cori memutar bola matanya dramatis. Sudah berapa banyak hal memalukan sih, yang sudah Ben ketahui tentang dirinya?
Mari kita runut.
Ben yang menyaksikan mantan kekasihnya selingkuh dengan sahabatnya sendiri, Ben yang melihat Cori menangis pertama kali di antara mobil-mobil di parkiran, Ben juga yang menyaksikan pertengkaran tidak penting dirinya di depan kantor dengan si Berengsek itu. Dan semalam, Ben jua yang menonton adegan rengekan seorang wanita dewasa pada papanya.
Sepertinya tidak ada lagi malu yang tersisa, sebab di kalimat berikutnya, Cori malah bertanya pada Sudjana, "Jadi boleh Bang Ben sarapan di sini?"
"Panggil dia ke sini," perintah Sudjana. Anaknya malah terkekeh. "Asal ada Papa. Kalau tidak ada Papa, awas! Jangan coba-coba memasukkan Ben ke dalam rumahmu saat sedang sendiri!" ancam Sudjana. Dan ancaman chef profesional itu tidak pernah kaleng-kaleng bila itu menyangkut putri satu-satunya.
"Iya, iya." Lalu Cori keluar menuju rumah nomor empat.
Betapa beruntung Ben ketika Cori muncul di depan pintunya untuk mengajaknya sarapan. Di saat Ben kebingungan mau masak apa—aslinya memang tidak bisa memasak karena kepalanya sibuk memikirkan cara apa lagi untuk mengolah mi instan agar tidak membosankan—Cori datang bak penyelamat lambungnya yang sudah meronta minta diberi makan.
Tapi Ben tidak bisa berhenti memikirkan apa yang terjadi pada mata sembab Cori pagi ini.
"Kamu, baik-baik aja?" tanya Ben di depan pintu rumahnya.
"Sekarang jauh lebih baik. Ada papa. Apa yang lebih baik di dunia ini kalau bukan papa yang ada untuk anak gadisnya yang sedang kemalangan?" Cori menyeringai, menampilkan gigi geliginya yang rapi. Guratan kesedihan itu memang perlahan menghilang dari wajah chubby-nya.
"Aku ingin ... kamu mengandalkanku juga, Cori."
"Hm? Maksud Abang?"
"Yah, kalau kamu mau curhat atau apa pun itu, count on me sesekali," ucap Ben sambil berjalan pelan ke rumah Cori yang hanya berjarak dua setengah meter.
"Bukannya selama ini Abang udah banyak membantuku tanpa aku minta?"
"Itu..."
"Dan aku berterima kasih untuk itu, Bang. It helps me a lot. Makasih," ucap Cori tulus.
"Ehm, sama-sama?"
Keduanya tertawa. Tawa renyah yang menghangatkan hati dua anak manusia di pagi hari.
"Kalau kamu nggak ajak sarapan, mungkin aku akan berakhir makan mi instan atau berburu sarapan di depan kompleks."
Cori terkekeh geli. "Thanks to me."
"Yep, Thanks to you."
"Dan bilang makasih ke Papa. Beliau yang kasih izin."
"Tentu. Kamu tahu Cori, aku bisa mengajukan sebuah proposal kerja sama sarat benefit yang berlaku seumur hidup gara-gara kamu dan makanan lezatmu."
Kening Cori mengernyit dalam. Apa Ben bicara ngelantur karena belum sarapan?
Tahu-tahu mereka sudah memasuki Rumah Cori.
"Proposal apa pun itu, yang jelas papa udah nunggu di meja makan. Ayo."
***
Ben benar-benar menepati janjinya untuk menjadi bala bantuan Sudjana. Ia sedang menyupiri dua Sudjana mengarungi keindahan Jembatan Barelang sepanjang 2.264 meter yang menghubungkan Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru. Barelang sendiri merupakan singkatan dari Batam, Rempang, dan Galang.
Perjalanan mereka ditutup dengan mengitari kesunyian misterius Kampung Vietnam yang sudah kosong sejak tahun 1996 di Pulau Galang. Dinamakan Kampung Vietnam karena kawasan ini pernah dijadikan tempat mengungsi bagi ratusan ribu jiwa warga Vietnam yang melarikan diri dari perang saudara negara mereka pada tahun 1975.
Fasilitas di sini cukup lengkap. Ada barak, rumah sakit, rumah ibadah, sekolah, hingga penjara. Kini, semua fasilitas itu telah lama kosong karena ditinggalkan penghuninya puluhan tahun yang lalu, meninggalkan kisah pilu bagi siapa pun yang mengunjungi camp ini.
Demi membuat perjalanan panjang ini sedikit lebih cheerful, Cori mengajak Papanya makan di sebuah restoran sea food yang terletak di salah satu jalur jembatan Barelang. Restoran ini menjorok ke laut, sehingga mereka yang mengunjungi Kelong Restaurant bisa merasakan sensasi makan di tengah laut. Salah satunya Dua Sudjana beserta plus one-nya, Benjamin.
"Aku kayaknya nggak sanggup ke camp Vietnam lagi," ujar Cori di sela-sela menyeruput manisnya daging rajungan dan saus merah yang pedas tapi manis. "Bikin merinding."
"Astaga. Bicara kok sambil makan? Malu di depan Ben, Nak." Sudjana geleng-geleng kepala.
Ben sendiri? Pura-pura berkonsentrasi mengeluarkan isi daging dari cangkang siput laut dan tersenyum diam-diam sambil mengunyah si daging gonggong.
"Apa yang mesti dimaluin lagi di depan Bang Ben? Dia udah lihat hampir semua hal memalukan Cori, juga," kata Cori santai.
"Ben, harap maklum. Dia ... putri Om satu-satunya. Manjanya nggak ketulungan."
"Nggak apa-apa, Om. Lagian, Cori selama ini nggak manja kok, Om. Dia ... wanita tangguh."
Cori menyeringai dan memberi Ben dua jempol berlumur saus merah.
"Nggak perlu memuji Cori kalau di depan Om. Jujur aja nggak apa-apa."
"Astaga Papa! Papa mau denger yang jelek-jelek tentang Cori dari orang lain? Dari Bang Ben?" ucap Cori tak percaya. Bibir Cori sampai membulat karena cemberut.
Ben makin terhibur dan mencuri-curi pandang ingin merekam ekspresi itu di kepalanya.
"Itu karena Papa tahu Ben anak baik. Papa ternyata kenal Popy, ibunya Ben. Usaha Wedding Organizer Popy sering bekerja sama mengadakan event di restoran Papa."
"Beneran?" Kali ini Cori meninggalkan rajungan asam manis pedasnya dan membelalak bergantian kepada kedua pria di depannya ini. "Dunia memang sesempit daun kelor."
Ben terkekeh. "Percayalah, nggak hanya kamu yang kaget. Aku juga."
"Padahal waktu itu Popy sudah menyewa restoran Papa untuk acara tunangan..." tiba-tiba Sudjana menggantung kalimatnya. Pemuda di sebelahnya menegang di tempat. "Maksud Papa sewa tempat untuk kliennya. Tapi batal karena satu hal. Yah, namanya juga bisnis. Ada saja kendalanya. Tidak ada bisnis yang selalu di atas. Roda itu pasti berputar. Dan bla...bla... bla..." Celotehan Sudjana tak berhenti sampai di situ.
Namun, sepertinya dua anak muda ini tak lagi mendengarkan. Karena yang satu sedang tersesat dalam dunianya, menatap jauh ke laut lepas dengan pandangan kosong dan membiarkan siput-siput itu tak tersentuh.
Dan yang satu lagi memandang pria yang matanya meredup dari jenakanya.
Bang Ben nggak cocok kalau lagi sedih, batin Cori.
Bersambung