Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ben & Cori
MENU
About Us  

Meski usianya sudah tidak muda, Sudjana masih kuat berdiri berjam-jam di dapur restoran demi menyalurkan kecintaannya meramu bumbu demi mendapatkan cita rasa yang paripurna. Memasak sebuah resep yang layak di apresiasi lidah merupakan kebahagiaan tersendiri baginya. Hal teknis di dapur yang berkaitan dengan teknik memasak, permainan api, dan manajemen waktu sudah menjadi makanannya sehari-hari. Begitulah wujud kecintaannya pada Restoran The Coriander Taste, sesuai dengan nama anak satu-satunya.

Sudah sembilan tahun restoran ini berdiri. Padahal sebelum menikah dengan Mutia, mereka berdua sempat membuat rencana matang untuk membangun sebuah rumah makan yang berkonsep restoran dan kafe, di mana kepala dapur untuk makanan savory adalah Sudjana, dan pastry chef utama untuk kafenya adalah Mutia Adnan, seorang pastry chef muda yang tak sengaja bertemu di Singapura ketika ia sedang menempuh pendidikan chef di sana.

Dari cita-cita membangun kerajaan kuliner, hingga membangun rumah tangga kecil bahagia telah menjadi bagian rencana besar Sudjana. Sayang, rencana tinggal rencana. Tidak ada lagi Mutia dalam hidupnya yang menyedihkan. Sudjana harus meneruskan hidup dengan atau tanpanya. Sebab, di tengah badai kesedihan patah hati dan remuknya sebuah rencana sempurna, dua puluh tujuh tahun yang lalu Sudjana dihadiahi oleh Tuhan seorang putri kecil dengan mata paling indah yang pernah Sudjana lihat.

Mata itu membuatnya bertekad untuk terus hidup demi si kecil Coriander tanpa mengusik masa lalu. Hidupnya seratus persen hanya akan berporos pada putrinya, sebab Mutia telah pergi meninggalkan dirinya dengan segala tanggung jawab untuk mencari uang, mengurus, mendidik, dan membesarkan seorang manusia mungil bernama Coriander Romaine Sudjana.

Dan sebentar lagi, satu-satunya putri yang ia miliki akan segera menikah. Oh, hati ayah mana yang tahan dengan perpisahan macam ini? Seumur hidup, Cori hanya bersamanya. Lalu tiba-tiba saja dengan sebuah ijab kabul, tidak ada lagi tanggung jawab yang melekat padanya untuk mengurus Cori.

Semoga Arga dapat membahagiakan anakku, demikian doa Sudjana setiap selesai salat, sedang memasak, bahkan sedang bermenung sekalipun.

Ketika sedang merenungkan putrinya sambil mengaduk panci saus bechamel, asisten Sudjana menginterupsi doa untuk putrinya.

"Maaf Chef, ada telepon."

"Dari siapa, Ndri?"

"Mas Arga, Chef."

"Ah, calon mantuku." Sudjana tidak menutupi kegembiraannya di depan semua kru dapur. "Tolong gantikan saya, Ndri. Jaga konsistensi kekentalannya. "

"Baik, Chef."

Setelah ponsel berpindah ke telinganya, garis-garis bahagia tadi kabur secepat kepergian Mutia. Cukup lima menit bagi Arga untuk membuat semua condiment bahagia Sudjana menguap tak bersisa. Hanya satu hal yang memenuhi pikirannya saat ini: anak gadis satu-satunya yang sedang menangis sendirian di Batam sana.

Dalam lima belas menit, Sudjana mendapatkan tiket tercepat ke Batam berkat bantuan asistennya. Penerbangan pukul 16.55 WIB dan Sudjana tidak mau lebih lama dari itu.

Di sinilah ia, memandang langit yang mulai menjingga di atas ketinggian 35 ribu kaki dengan perasaan hampa. Pria paruh baya itu mematut-matut apa yang telah terjadi dengan anaknya. Apa karena kesalahan masa lalu, dia dan Mutia membuat Cori merasakan karma?

Tidak, tidak. Aku tidak percaya karma. Hanya Tuhan yang berhak melabeli semua yang terjadi berupa anugerah, atau hukuman, ralatnya sendiri.

Tapi, demi Tuhan. Tiga tahun bukan waktu yang singkat untuk mempertahankan sebuah hubungan. Dia ingin anaknya bahagia. Dia ingin anaknya tidak berakhir seperti dia dan Mutia. Tapi apa yang terjadi? Begitu mudahnya Arga mengatakan tidak ada lagi kecocokan di antara mereka. Naik pitam Sudjana dalam hitungan detik di depan semua anak buahnya tadi.

"Omong kosong! Saya lebih lama hidup dari pada kamu, Arga. Kamu menyukai wanita lain?" tembak Sudjana tanpa basa-basi, membuat semua kru dapur terdiam dan berhenti dari apa pun yang mereka lakukan.

"Maafkan Arga, Pa," jawabnya takut-takut.

"Sejak kapan?!"

"Dua tahun yang lalu, Pa."

Sudjana makin murka. "Otak kamu di mana?! Mengikat dia selama tiga tahun lalu kamu putuskan dia? Hah!" Kembang kempis dada Sujdana dibuatnya. "Kamu pikir anakku manusia tanpa hati? Kamu bisa saja mengakhiri hubungan kalian saat kamu tidak lagi berniat mengajak anakku ke pelaminan, bukannya menahan sampai dua tahun. Yakin kamu ini laki-laki, hah?! Kamu ndak pikirkan perasaan anakku?!"

Lamunan Sudjana terhenti ketika pilot mengumumkan akan segera mendarat di Bandara Hang Nadim.

***

Sebuah Honda Brio putih berhenti tepat di seberang rumah anaknya. Mobil bernomor polisi Jakarta itu mengingatkan Sudjana dengan foto mobil Ben yang dikirim ke ponselnya beberapa bulan yang lalu.

Dan benar saja, pemilik mobil itu tersenyum padanya sesaat setelah keluar dari mobil dan langsung berjalan menuju dirinya yang duduk di teras rumah.

"Om Djana?"

"Kamu Ben, tho?"

"Benar, Om. Apa kabar, Om Djana?" sapa Ben ramah sambil mencium punggung tangannya.

"Alhamdulillah sehatnya orang tua," kekeh Sudjana.

"Om baru datang dari Jakarta?"

"Iya."

"Lalu Cori ..." Pertanyaan Ben menggantung seiring dengan tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah. Teras Cori saja gelap segelap malam. "... sepertinya belum pulang."

"Iya. Apa dia selalu pulang selarut ini? Biasanya Om selalu telepon dia setiap jam tujuh atau delapan malam. Tapi baterai ponsel Om mati."

"Ben juga nggak tahu, Om. Kebetulan seminggu ini Ben dinas di daerah Batu Aji." Batu Aji lebih jauh lagi dari Perumahan Nuri 1 dan kantor Cori.

Sudjana mengangguk, tapi tak pelak wajah tuanya tidak bisa menipu Ben. Ben tahu Sudjana sedang mengkhawatirkan anaknya.

"Atau begini saja, bagaimana kalau Om menunggu di rumah Ben? Tapi maaf sebelumnya, perabotan Ben benar-benar sederhana. Ben belum sempat membeli isi rumah," ungkap Ben malu-malu sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Nasib karyawan yang suka pindah-pindah kota."

Ben dan Sudjana sama-sama menertawakan suratan takdir Ben yang sama saja dengan putrinya.

Lalu, kernyitan kening Sudjana muncul ketika memperhatikan anak muda ini lebih dekat. Ben ternyata jauh lebih sopan dan ramah dibanding bayangannya selama ini ketika hanya mendengar suaranya beberapa kali melalui sambungan telepon.

"Baiklah, kalau memang tidak merepotkan Nak Ben."

Senyum kelegaan terpancar dari wajah lelah Ben meski telah menempuh perjalanan sejauh 25 kilometer.

"Tidak sama sekali, Om Djana."

Dua pria beda generasi itu menyantap sajian sederhana dari Ben—Ben hanya menyediakan nasi, sedangkan ayam goreng serai dan sup wortel brokoli berasal dari dapur Cori tadi pagi. Alasan Cori menyambangi rumah Ben pagi-pagi sekali sederhana: Bang, aku masak kebanyakan. Ini untuk makan malam nanti. Tentu saja Ben senang bukan kepalang dan menerima dengan tangan terbuka dan hati lapang. Mana ada pria single yang tidak bisa memasak akan menolak sajian luar biasa dari tangan dingin anak seorang chef profesional?

"Ngomong-ngomong soal Cori ... dia baik-baik saja di sini? Sepengetahuan Nak Ben saja."

Ben merasa telah dititipi tanggung jawab secara tidak langsung oleh Sudjana sejak hari pertama mereka bicara lewat telepon, meski tanpa ada kata-kata eksplisit dari Sudjana untuk menitipkan anaknya padanya. Tanpa disuruh pun, Ben akan melakukannya dengan senang hati.

"Memang ada beberapa hal yang terjadi, tapi menurut Ben, sebaikanya Cori saja yang menceritakan pada Om," ujar Ben sebiasa mungkin.

Sudjana mendesah lelah. "Dia putus dengan kekasihnya," kata Sudjana sedih. "Makanya Om langsung ambil penerbangan tercepat ke Batam. Cori, menceritakan sesuatu tentang itu?"

Berbicara dengan Ben terasa seperti berbicara dengan anak sendiri. Tanpa sadar Sudjana berkeluh kesah pada lelaki 'asing' ini. Padahal mereka baru bertemu muka 1 jam yang lalu, tapi chemistry yang tercipta melebihi sekedar, dia hanya teman dari anakku.

"Ada, tapi tak banyak yang Cori bagi. Dia sepertinya lebih suka memendam semua sendiri. Bahkan hingga detik ini," sesal Ben.

Ben ingin menjadi tempat bagi Cori mengeluarkan uneg-unegnya. Ben rela menjadi tempat pelampiasan emosi Cori yang terpendam. Tapi hingga saat ini, Cori masih bungkam.

"Anak itu." Sudjana menggeleng pelan. "Selalu saja seperti itu. Sulit untuk membuat dia membuka diri dan membagi isi kepalanya bila terjadi hal-hal traumatis atau yang membuatnya sakit hati. Membujuk Cori untuk keluar kamar saja sulit. Apalagi untuk bekerja di restauran Om."

Ben memiringkan kepalanya ke kanan. Dua kata kunci yang membuat Ben tidak tenang: traumatis dan sakit hati.

"Apa ... Cori baik-baik saja, Om?" selidik Ben.

"Tentu. Sekarang dia jauh lebih baik. Jauh lebih terbuka. Sebuah pencapaian bagus sebenarnya."

Ben mengangguk.

"Berapa hari Om mau menginap di Batam?"

"Semua tergatung kondisi Cori. Om akan di sini sampai Om bisa memastikan Cori sudah siap Om tinggal balik ke Jakarta."

"Kalau begitu, Om tidak boleh sungkan bila butuh bantuan Ben. Ben akan bantu," tawar Ben malu-malu.

Sudjana mendengkus kecil sambil tersenyum. Sifat pria muda di depannya ini sangat jauh bertolak belakang dengan mantan kekasih anaknya. Ben begitu approachable dan tidak pernah tampak ketakukan. Beda sekali dengan Arga yang seakan-akan bisa ngompol di celana bila Sudjana menatapnya lebih dari satu menit.

"Terima kasih, Nak. Om akan sangat menghargainya."

"Orang tua Cori adalah orang tuaku juga."

Tepat setelah Ben mengucapkan kalimat itu, terdengar sebuah teriakan merdu dari anak gadis yang Sudjana rindukan.

"Bang Beeen. Aku bawa donat. Kita makan bareng yuuuk."

Sudjana terkekeh kecil dan langsung berdiri hendak menyambut gadis kecilnya.

"Sudah jam sembilan malam, Nak. Kenapa baru pulang?" sapa Sudjana di pangkal pintu rumah nomor empat.

Terkesiaplah anak gadis Sudjana sambil menutup mulutnya.

"Papa?!" Cori berjalan cepat ke teras rumah Ben.

"Iya. Ini Papa."

"Ini ... beneran Chef Sudjana yang terkenal itu?" tanya Cori lagi. Kali ini ada garis senyum melengkung yang tak mampu Cori tahan menghiasi wajah lusuhnya. Matanya membola sekaligus berbinar, berkilauan, atau... berlinang air mata?

"Astaga, Nak. Sini. Nggak kangen sama bapak tua ini?"

"Papaaa..."

Seketika Cori memeluk Sudjana erat dan menangis tersedu-sedan bak anak kecil.

Malam itu Cori menumpahkan kesedihannya yang tertahan di bahu Sang Papa. Tepukan lembut Cori dapatkan di punggungnya, ritual kecil yang dilakukan Sudjana bila Cori menangis seperti saat ini. Cori bahkan tidak peduli ada Ben yang menonton pertunjukan air mata ini.

Tapi bagi Ben, dia sedang menikmati sebuah pemandangan indah yang merenyuhkan hati.

Bersambung

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Forever Trapped
450      307     1     
Short Story
Dive into the world of the aliens, where everything is otherworldly. But it comes with a price. Where there is rarity there will always be someone who will be willing to do anything to get it. Explore the darkest side of human nature in confronting something thats special. A journey full of twist and schemes that will leave you asking yourself, are we the bad guys?
The Boy
1893      739     3     
Romance
Fikri datang sebagai mahasiswa ke perguruan tinggi ternama. Mendapatkan beasiswa yang tiba-tiba saja dari pihak PTS tersebut. Merasa curiga tapi di lain sisi, PTS itu adalah tempat dimana ia bisa menemukan seseorang yang menghadirkan dirinya. Seorang ayah yang begitu jauh bagai bintang di langit.
Lupa Rasa Malu
501      366     0     
Short Story
Cerita tentang 3 orang sahabat yang sedang melakukan perjalanan singkat menuju kota Bandung untuk yang pertama kalinya. Merasakan pengalaman yang berbeda dari apa yang mereka lakukan sehari-hari.
Dia Dia Dia
13747      2183     2     
Romance
Gadis tomboy yang berbakat melukis dan baru pindah sekolah ke Jakarta harus menahan egonya supaya tidak dikeluarkan dari sekolah barunya, saat beberapa teman barunya tidak menyukai gadis itu, yang bernama Zifan Alfanisa. Dinginnya sikap Zifan dirasa siswa/siswi sekolah akan menjadi pengganti geng anak sekolah itu yang dimotori oleh Riska, Elis, Lani, Tara dan Vera. Hingga masalah demi masalah...
Tiba Tiba Cinta Datang
481      331     0     
Short Story
Cerita tersebut menceritakan tentang seorang lelaki yang jatuh cinta pada seorang gadis manis yang suka pada bunga mawar. Lelaki itu banyak belajar tentang cinta dan segala hal dari gadis dan bunga mawar
Simbiosis Mutualisme
312      205     2     
Romance
Jika boleh diibaratkan, Billie bukanlah kobaran api yang tengah menyala-nyala, melainkan sebuah ruang hampa yang tersembunyi di sekitar perapian. Billie adalah si pemberi racun tanpa penawar, perusak makna dan pembangkang rasa.
Dream Space
688      426     2     
Fantasy
Takdir, selalu menyatukan yang terpisah. Ataupun memisahkan yang dekat. Tak ada yang pernah tahu. Begitu juga takdir yang dialami oleh mereka. Mempersatukan kejadian demi kejadian menjadi sebuah rangakaian perjalanan hidup yang tidak akan dialami oleh yang membaca ataupun yang menuliskan. Welcome to DREAM SPACE. Cause You was born to be winner!
Give Up? No!
481      327     0     
Short Story
you were given this life because you were strong enough to live it.
97
360      225     1     
Short Story
Aku, dan kamu yang tak terlihat
415      262     2     
Short Story
Kisah seorang anak berusia 6 tahun yang bernama Dyan. Kejadian 10 tahun silam mengubah segalanya. Seperti garis Tuhan yang tak dapat ia hindari. Bagaikan takdir yang telah tercipta untuknya. Ia benar benar putus asa.