Cori pikir, setelah mengetahui perselingkuhan Arga dan meninggalkan pria itu dengan dagu ditegakkan dan tanpa satu tetes pun air mata akan membuatnya lega.
Cori pikir, semua telah berakhir dan dia bisa melanjutkan hidupnya dengan tenang.
Nyatanya, setelah melampiaskan emosi terpendam dengan menyantap makan malam pedas bersama Ben, setelah Ben mengantarkan Cori hingga ke depan pintunya, dan setelah dirinya menenggelamkan tubuh dalam selimut, tak pelak bening-bening kesedihan luruh jua.
Tiga tahun yang berjalan sia-sia. Impian untuk membangun keluarga kecil bahagia hancur bahkan sebelum cincin lamaran diselipkan di jari manis.
Cori memuntahkan isak kepedihan di bantalnya dalam keremangan cahaya malam sambil mengingat betapa manisnya hubungan mereka dulu. Kenangan jatuh bangun mempertahankan hubungan jarak jauh ketika dia di mutasi ke kantor cabang Batam, sampai Arga menyusulnya pindah ke Batam melompat-lompat bagai bunga api yang indah. Sangat manis, bukan?
Tapi semua kepingan memori menyebalkan itu bila dimasukkan ke dalam analisa ilmu cocokologi akan menghasilkan kesimpulan yang lebih menyebalkan. Riri, kakak kelasnya memang lahir dan tinggal di Batam sejak berusia nol tahun hingga pendidikan SMP.
"Dia nggak menyusulku karena mencintaiku. Dia ... bukan-bukan. Si berengsek itu ke Batam karena Kak Riri ada di sini! Keseeel.
Berengsek adalah kata ganti paling tepat untuk menyebut pria itu dan Cori tidak menyesal memanggilnya demikian.
"Haaah. Belum 24 jam rasa ini masih menyiksa," keluh Cori di tengah isak tertahannya.
"Bagaimana cara memberi tahu papa? Papa pasti kecewa berat." Cori menghela napas berat sambil membiarkan air matanya mengalir begitu saja membasahi bantal.
Lelah pikiran, lelah badan, sakit hati, sedih, semua bak berkompromi menjatuhkan kewarasannya.
Cori memaksa tubuhnya bangkit, menghidupkan lampu kamar dan berjalan ke meja riasnya. Gadis itu duduk dan menatap sebuah pantulan seorang perempuan yang tampak mengerikan. Rambut acak-acakan itu mencuat di mana-mana. Pipinya begitu ... bulat dan tidak enak dipandang mata. Kulitnya kusam seakan-akan semua kelembaban di dunia melarikan diri dari lapisan epidermisnya. Dan matanya. Demi Tuhan, begitu menyedihkan. Bengkak, sayu, berkantong mata, dan kehilangan gairah hidup.
"Pantas, Mas Arga lebih memilih Kak Riri," ucapnya lemah.
Dan desahan lelah Cori yang bertubi-tubi mesti tertunda, sebab ponselnya tak berhenti bergetar di suatu tempat di balik selimutnya.
"Siapa yang menelepon? Jam setengah dua begini papa udah tidur," gumamnya sambil menyibak selimut.
"Bang Ben?" gumamnya tak percaya. Beberapa kali Cori kucek matanya yang sembab dan berair. Segera Cori geser tanda tombol hijau di layar. "Ha ... lo?" tuturnya hati-hati.
Pria itu terkekeh kecil sebelum bicara. "Thank God kamu menjawab teleponku. Hm, maaf mengganggu kamu pagi-pagi begini," ucap Ben lemah. "Apa ... kamu punya obat pereda sakit perut? Sepertinya efek capsaicin tadi mulai bekerja di perutku."
"Capsaicin?" Surut sudah air mata Cori mendengar suara Ben yang lemah. Dia bahkan tidak memedulikan kesedihannya dan langsung menuju kotak obat di laci meja TV.
"Maksudku cabe rawit tadi."
"Aku tahu." Cori memutar bola matanya. "Kalau Abang nggak bisa makan pedas, jangan sok berani menantang diri sendiri. Kalau sakit perut kan Abanv juga yang susah." Ngomel-ngomel, tapi tangannya tetap mencari dan membaca label semua obat yang mempunyai khasiat penyembuhan untuk sakit Ben. Sayang tidak ada obat yang ia cari. "Ada susu di rumah?"
"Nggak ada."
"Aku ada. Tunggu sebentar. Aku antar ke rumah." Cori sudah berjalan ke kulkasnya.
"Cori..."
"Bang, aku punya susu full cream. Abang nggak intoleransi laktosa, kan?"
"Aku bisa minum susu. Tapi Cori..."
"Ada apa?"
"Sebenarnya aku sedang di teras rumah kamu."
Gadis itu terkesiap. Tengah malam, dingin, dan sakit perut. Kombinasi apa lagi yang mampu membuat Cori meringis tidak nyaman ketika memikirkan Ben di luar rumahnya?
"Astaga! Kenapa keluar rumah? Udah tahu sakit. Tunggu sebentar!" gerutu Cori. Ponsel dimatikan dan dia setengah berlari ke pintu.
Hal pertama yang Cori dapati setelah mengayunkan daun pintu adalah seorang pria yang sedang meringkuk tak berdaya di kursi rotannya.
"Bang Ben!" Gadis itu spontan menarik si Auditor kesakitan menuju ke ruang tamunya. Sedikit kehangatan yang diperlukan Ben sekarang. Juga kenyamanan.
Tapi Ben bergeming. "Aku di sini aja. Aku hanya butuh sesuatu untuk meredakan sakitnya, Cori," pinta Ben lemas.
"Oh astaga aku lupa. Benar juga, ya. Minum ini, Bang."
Ben patuh dan menyedot rakus sekotak susu putih, berharap rasa terbakar dan perih di lambungnya bisa reda.
"Aku akan buat sesuatu di dapur. Abang sebaiknya tunggu di rumah. Nanti aku akan antar. Tapi jangan kunci pintunya."
"Aku ngerepotin kamu," ungkap Ben sungkan di tengah kesakitannya. "Maaf."
"Nggak apa-apa. Lagi pula aku nggak bisa tidur. Mencoba tidur hanya akan membutku makin ..." Selama sepersekian detik, jiwa Cori sempat terpisah dari raganya ketika mengingat kesedihannya beberapa menit yang lalu. "Ah, lupakan. Aku mau buat air jahe dan sesuatu yang hangat untuk Abang makan. It won't take long," kata Cori meyakinkan pria semaput itu.
"Cori?"
"Ya?"
"Kamu ... baik-baik aja?"
Giliran Ben yang bertanya. Dalam temaram lampu teras, Ben masih bisa melihat gurat-gurat patah hati dan Ben tidak menyukainya. Ben ingin menghapus bekas itu, tapi dia sendiri sedang tidak berdaya.
Setelah berpikir beberapa detik, Cori memilih untuk jujur.
"Enggak. Aku lagi nggak baik-baik aja."
***
Untung saja adegan makan cabe rawitnya dilakukan hari Jumat. Dan sekarang hari Sabtu, jadi Ben tidak perlu bolak-balik ke WC ketika sedang bekerja. Perutnya mulas semalaman dan diare pun menyapa. Cukup sekali saja Ben makan makanan laknat itu.
"Apa sambel ijo itu bahkan edible? Kenapa perut Cori kuat banget?" keluh Ben di tempat tidurnya.
Suara ketukan pintu menginterupsi keluh kesah Ben. Sambil mengusap perutnya dan berharap rasa sakitnya hilang, Ben berjalan tertatih-tatih ke pintu.
Ketika pintu dibuka, aroma minyak kayu putih menyapa rongga hidung Cori, dan Ben disambut dengan mangkuk mengepul di tangan tetangganya dan sepasang mata sembab.
"Aku buat sup ayam untuk Abang," ucapnya membuka kata.
"Aku ... nggak yakin bisa makan itu sekarang. Sejak tadi aku bolak-balik ke belakang. It's killing me," keluh Ben.
"Makanya makan ini. Tadi aku telepon papa dan papa nyaranin aku masak sup ayam. Nih." Mangkuk itu pun di sodorkan.
Ben tidak tega menolak kebaikan Cori. Dan Ben juga tidak mau tersiksa sakit sendirian. Maka dari itu Ben berkata, "Baiklah. Tapi temani aku makan."
Dua mantan remaja itu duduk di kursi rotan milik teras rumah Cori. Banyak alasan mengapa mereka berakhir di sana. Pertama, Ben tidak nyaman membawa Cori ke rumah kontrakannya. Alasannya, tidak ada perabotan di dalam kontrakannya. Hanya karpet, meja, TV, dan lemari. Kedua, sedikit panas matahari pagi sepertinya bagus untuknya. Dan yang ketiga, Ben sudah membayangkan beberapa puluh kali bagaimana rasanya duduk di teras, sambil minum teh dengan Cori dan bercerita mengenai masa lalu. Tentang petualangan mencari cincin, mandi matahari di lapangan basket, atau berburu jajajan pinggir jalan sepulang sekolah.
"Bagaimana kondisi kamu sekarang?" tanya Ben di sela seruput kuah penuh kaldu itu.
"Biasa aja," jawab Cori sekenanya.
"Kalau mau cerita aku akan mendengarkan," ucap Ben tulus.
Cori terkekeh kering. "Kapan-kapan aja ya, Bang."
Ben sadar, Cori belum mau membaginya. Dia tidak akan menuntut lebih jauh.
"Kamu tahu, kita bisa lakukan apa pun yang kamu mau. Ke pantai, ke mal, pusat permainan. Just name it."
"Pantai, ya?" Gadis itu malah tampak berpikir keras. "Batam itu di kelilingi laut. Mungkin, kita bisa pergi ke pantai-pantai seru di Batam. Ke Pulau Galang pun ayuk."
Garis senyum Ben tertarik lebar. Suara antusias tadi memberikannya asa. Ben tidak tahu di mana Pulau Galang. Asalkan ada kata 'kita', Ben akan mengikuti kehendak perempuan yang matanya masih sembab ini.
"Oke. Tapi tunggu aku sehat dulu."
Cori jadi memperhatikan pria di depannya makan dengan lahap. Masalah patah hati dan pantai Cori kesampingkan sebentar.
"Makannya pelan-pelan aja. Sedikit tapi sering," nasihat Cori. "Apalagi kalau diare. Mesti banyak minum. Salah satunya makan makanan yang berkuah kayak gini supaya cairan yang keluar cepat diganti. Papa sering buatin aku sup ayam atau daging kalau perutku lagi bermasalah. Makanan Papa, beuh, nggak ada yang bisa ngalahin," cerita Cori saat semua isi mangkuk Ben ludes tak bersisa.
Ben menikmati celoteh dan sup buatan Cori. Keduanya merupakan kombinasi yang sempurna untuk memulai hari.
Bagaimana caranya supaya bisa seperti ini setiap hari? pikirnya.
Ah, rupanya Ben sudah mulai membayangkan hal-hal yang diinginkannya.
"Aku googling nama Om Sudjana, dan ternyata beliau salah satu chef yang diperhitungkan di Indonesia!"
Cori semringah bangga. "Papaku itu."
"Keahlian Om Sujdana menurun ke anaknya." Ben menunjuk mangkuk sup yang isinya hampir habis.
"Gini-gini aku sempat jadi asisten koki di restoran papa."
"Oh, ya?" Ben selesai makan dan membasuh mulutnya dengan beberapa teguk air jahe hangat. Cori yang menyiapkan semuanya. Ben merasa menjadi pasien manja.
"Pernah beberapa bulan jadi helper di dapur, lalu karena Papa merasa aku bisa lebih dari sekedar menjadi helper, beliau membuatku bekerja jadi asisten papa."
Ada sorot kagum yang Ben pancarkan ketika menyimak kisah Cori.
"Kapan kamu mulai bekerja di restoran Om Djana?"
"Hmm ... setelah tamat kuliah."
"Kenapa nggak cari kerja berdasarkan kualifikasi pendidikan terakhir kamu?"
Tiba-tiba air muka Cori berubah sendu. Ben jadi keheranan. Padahal baru beberapa detik yang lalu Cori menceritakan betapa bangganya ia bekerja di dapur restoran papanya.
"Waktu itu..."
Tatapan Ben tak putus dari kerutan kening si tuan rumah hingga dia berusaha keras memamerkan senyum palsu. Semua tak luput dari perhatian Ben.
Cori mendehem gugup. "Maksudku waktu itu papa mengendus bakatku saat aku berhasil membuat sausage rolls yang aku buat dari nol. Makanya papa suruh aku kerja di dapur restaurannya."
"Setelah semua sakit ini berakhir, aku mau coba sausage rolls buatan kamu. Tenang saja. Semua bahan aku yang beli. Kamu tinggal masak."
Cori akhirnya tertawa. "Baiklah." Cori menepuk kedua tangannya seakan teringat sesuatu. "Kenapa nggak ada yang boleh tahu kita bertetangga?" Akhirnya Cori mempunyai kesempatan untuk menanyakannya.
"Kamu tahu kan budaya karyawan PT. Sejahtera Bersama yang telah mengakar sejak dulu?"
Cori menggeleng pelan.
"Gosip."
"Aah. Aku mengerti." Cori mengangguk mafhum.
"Aku sudah banyak menyaksikan nasib sial rekan-rekan kita yang menjadi sasaran gunjing oleh rekannya sendiri selama sembilan tahun berkarir di perusahaan ini. Dan aku tidak mau kamu menjadi sasaran berikutnya. Karena percayalah, after effects digunjingkan bisa bikin duniamu jungkir balik."
Bersambung