Dua belas tahun kemudian...
Jumat keramatlah yang memisahkan ia dengan si Super Dad setahun belakangan ini. Cori berharap namanya terukir indah di dalam surat mutasi yang diedarkan oleh HRD melalui SK (Surat Keputusan) Mutasi hari ini. Berjauhan dengan papanya membuat Cori menderita home-sick.
Bagaimana tidak keramat? Hari Jumat sudah menjadi momok menakutkan bagi karyawan PT. Sejahtera Bersama—perusahaan yang bergerak di bidang keuangan milik pemerintah. Kalimat 'bersedia ditugaskan ke seluruh Indonesia' saat menandatangani kontrak kerja bukanlah sekedar kalimat horor belaka, tapi benar-benar menakutkan! Para karyawan akan gemetar sampai ke tulang bila mendapati namanya tertera di dalam surat tersebut dan harus angkat koper menuju daerah baru. Beruntung bisa balik ke kampung halaman. Kalau terlempar lebih jauh lagi? Ikhlas tak ikhlas harus ikhlas!
Di penghujung jam kerja, surat itu masuk serentak ke seluruh pemilik email korporat. Cukup satu orang yang menyoraki 'Email masuuuk!', maka semua karyawan akan langsung mengeceknya di gadget masing-masing.
Sebagian besar mendesah lega. Sebagian lain bergumam tidak senang karena ada auditor baru yang akan masuk. Cori tidak peduli dengan auditor itu. Yang Cori pedulikan adalah namanya masuk ke dalam daftar mutasi ke Jakarta.
"Gimana? Ada, Win?" Cori tidak bisa mengecek karena sedang menulis di laporan manual.
"Bentar ya, Kak. Tunggu lima detik!" ucap Winnie mantap. Ia adalah partner Cori di meja frontliner. Gadis yang menduduki meja kasir itu melarikan jemarinya dengan lincah di atas keyboard dengan kecepatan super cepat.
Cori menghitung dalam kepalanya. 5, 4, 3,...
"Nggak ada, Kak."
"Syukurlah."
Antara senang dan sedih, sebenarnya. Senang karena Cori tidak perlu pusing memikirkan akan dimutasi ke mana. Dan ia sedih, karena akan terjebak di Batam entah untuk berapa lama.
"Tapi ada auditor baru dari Pekanbaru, Kak, pengganti Mas Singgih yang pindah ke Surabaya. Dia bakal ngeaudit wilayah Batam, Tanjung Pinang, Natuna."
"Ooh."
Info selebihnya tidak menarik baginya. Cori mulai memasukkan semua barang pribadinya ke dalam tas. Ia butuh me time-nya sendiri di kamar. Segera.
"Dia auditor termuda. Tapi jangan main-main sama Malik. Dia sangat lihai mencari kesalahan," celetuk Yusuf, pria paruh baya yang sangat suka mengobrol dengan anak buahnya. Yusuf adalah Kepala Cabang Mega Legenda sekaligus atasan Cori.
"Muda? Ganteng nggak, Pak?" tanya Winnie antusias. Winnie tidak tahan dengan keyword pria muda, ganteng, apalagi punya kriteria husband material.
Cori? Dia tidak peduli dengan kadar kegantengannya. Setiap auditor itu sama saja. Mau ganteng, cakep, manis, cuantik pol, atau burik sekalipun, auranya selalu menyeramkan dan tidak pernah gampang didekati. Seakan ada batas tak kasat yang dibangun para auditor bila sedang bersama dalam satu ruangan radius satu meter.
Tawa Yusuf menggelegar. "Kamu tuh, ya. Kalau ngomongin cowok antenanya kenceng."
"Mana tahu lho, Pak." Winnie tetap keukeuh.
“Ganteng, Win. Ganteng.”
Jawaban Yusuf membuat Winnie berselebrasi kecil-kecilan. Gadis itu senang bukan kepalang.
Cori ikut tertawa meramaikan suasana. Kenyataannya, hanya 30 persen gagasan yang dia tangkap. Bukannya tidak peduli dengan sekitar, hari ini Cori hanya sedang kelelahan dan butuh rebahan.
"Lho, Cori. Jangan pulang dulu. Baru jam enam," cegat Yusuf. “Bapak mau ke Jodoh.”
"Mau ngapain, Pak?"
"Bapak mau ajak makan-makan. Coba restoran seafood baru."
"Mau, Pak," sahut Winnie cepat.
"Pak, aku diajak, kan?" Marzuki nimbrung. Padahal tadi dia di belakang sedang menyeruput kopi.
"Pak, Moza ikut. Males pulang cepat-cepat."
"Sekalian karaoke deh, Pak. Seronde aja," usul Winnie.
"Ayuk." Satu kata dari Yusuf membuat karyawan Cabang Mega Legenda bersorak riang.
Tapi tidak dengan Cori.
Karena melihat gelagat Cori yang tidak tertarik, Moza cepat-cepat bersuara, "Cori, lo ikutan dong. Ngapain di rumah sendirian? Marzuki aja yang udah punya bini masih mau ngumpul sama kita."
"Suka-suka Kak Cori, Mbak Moza." Winnie ingin menyelamatkan rekannya.
"Tapi dia sering nggak pergi acara kantor, Win. Cori penaksir kantor cabang, lho. Masa jarang ikut ngumpul-ngumpul sama kita?"
Hubungannya apa sih, Za? Tapi sayang, protes itu hanya sampai di kepala Cori.
"Ikut aja, Cori. Bapak yang traktir. Kamu tinggal makan, lho. Apa kamu udah ada janjian sama 'eheman'?"
Ingin rasanya Cori memutar bola matanya, tapi ia tahan sekat tenaga. 'Eheman'-nya sedang tidak ada di Batam. Dan lagi, bila Yusuf yang bertitah, Cori bisa apa?
"Iya, Pak. Cori ikut," ucap Cori lemas.
***
"Cori, lo nggak ada kepikiran buat diet, gitu?"
Mempermalukan aku edisi ke sekian, kesal Cori dalam hati.
Pertanyaan Moza benar-benar tidak pada tempatnya. Cori menegang beberapa detik. Detik berikutnya, ia langsung memasang poker face.
"Belum ada." Setelah menjawab Moza, Cori lanjut menyeruput badan si rajungan.
Masalahnya, si rajungan memiliki daging yang manis. Kalau lidahnya sudah bertemu makanan lezat, Cori jadi tidak peduli dengan omongan nyelekit orang lain.
"Lo nggak risih apa? Ini, ini, ini. Gede banget. Apa lagi pipi lo, Cori. Udah kayak ikan buntal, tahu nggak. Kalo pake baju ngepas, eeew, nggak banget." Dengan santainya Moza menunjuk lengan, paha, dan perut Cori yang ukurannya 'menggelembung'. “At least, makan lo di kurang-kurangin, dong. Lama-lama lo kayak sapi.”
Stop being mean, Moza! teriak Cori di kepalanya.
Rajungan ini memang enak, tapi kalau terus-terusan dibombardir dengan kritikan akan bentuk tubuhnya, Cori juga tidak tahan.
Tidak tahukah Moza dia sedang mempermalukan temannya sendiri di depan orang banyak? Atau, apa Moza bahkan menganggap Cori sebagai teman sejak awal? Biasanya, manusia dengan tipe seperti Moza tidak akan peduli dengan semua itu.
Cori memutuskan meredakan saraf tegangnya gara-gara Moza dengan memakan gonggong—sejenis siput laut bercangkang putih kecoklatan. Ia mencongkel dagingnya menggunakan tusuk gigi, kemudian dagingnya dicelup ke saus cabai hijau.
"Badan gue ini, Za. Bukan badan lo. Ngapain gue risih?" ucap Cori kalem. Ralat. Berusaha kalem.
“Risih, lah. Nggak asik kalo gue ajak lo nongki ke kafe.”
“Urusan gue mau badan gue sege sapi, atau sekurus lo.”
"Dibilangin yang bener malah—"
"Mbak Moza, muka lo kayak merah-merah, gitu? Salah pake makeup apa gimana?" sela Winnie dari seberang meja.
Kedipan mata Winnie membuat Cori melempar senyum tipis paling tulus padanya. Sudah cukup bagi Winnie untuk mengartikannya sebagai senyuman terima kasih.
"Hah? Beneran Win?" Moza langsung menyentuh wajahnya yang memang kemerahan. "Semingguan ini hidup gue emang motoran terus sama Marzuki, survey calon nasabah daerah Nagoya."
Moza jadi melupakan Cori yang asik melahap asam pedas kakap merah. Daging putihnya bikin Cori tidak mendengar lagi curhatan Moza.
"Sun burn kali, Mbak. Gue biasanya pake soothing gel X."
Tiba-tiba dua wanita itu saling mencondongkan tubuh mereka satu sama lain, seakan membicarakan soothing gel X adalah urusan hidup dan mati.
"Gimana rasanya setelah pake?"
"Langsung adem di kulit gue lho, Mbak."
"Gue mau coba. Beli di mana, Win?"
"E-commerce udah banyak, kok. Di Mall Botania juga ada. Gue beli di sana sebulan yang lalu."
"Kalian," timpal Yusuf. "Kalau udah ngomongin kosemetik nggak ada habisnya. Lihat tuh, cara Cori makan. Menikmati banget. Begitu seharusnya kalau lagi makan." Yusuf geleng-geleng kepala.
Cori meringis diam-diam. Padahal ia pikir dirinya sudah bebas dari menjadi topik pembicaraan.
"Cori, makan yang banyak." Yusuf malah mendekatkan sepiring udang balado dan baskom nasi. "Bapak seneng lihat Cori makan. Mirip anak Bapak yang masih SMA. Beuh. Kalo makan bisa nambah tiga kali."
Nyengir menjadi jalan ninja Cori.
***
Jumat Keramat selalu membuat semua karyawan PT. Sejahtera Bersama jantungan, tak terkecuali ruangan auditor di Kantor Kanwil Pekanbaru. Mereka sibuk mencari nama masing-masing di antara ratusan karyawan yang tercetak di lembaran PDF.
"Lik, nama lo ada di SK mutasi!" teriak temannya sesama auditor. "Selamat, ya. Alamat lo bakal bolak-balik ke Singapura setiap hari."
Ia hanya bisa mendesah pasrah. Dulu ia pikir, menjadi auditor bakal menyenangkan karena bisa 'travelling' sambil bekerja. Tapi, makin ke sini, prinsip yang ia pegang makin kehilangan makna. Sebab, ia semakin jauh dari orang-orang tersayangnya di Jakarta.
Pria itu menghentikan pekerjaannya dan menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi.
"Deket ke Singapura? Gue di mutasi ke mana, memang?"
"Batam."
Semakin bertambah-tambah desahannya. Seumur-umur dia belum pernah ke Kepulauan Riau. Daerah 'jajahannya' selama ini, kalau tidak Pulau Jawa ya, Pulau Sumatera.
"Lo harus coba mi Tarempa pake teh tarik. Beuh dijamin nambah."
"Like I care", gumamnya dan memutar bola matanya.
Ia tidak peduli dengan Batam, Mi Tarempa, dan teh tarik.
Bersambung