Paksa aku, jika itu maumu, dengan mata malammu,
namun biarkan kulayari namamu dan lelap di situ.
Pablo Neruda
***
Helene berdiri di pinggir jalan menunggu taksi, dinginnya malam mendekap tubuhnya. Dia menggigil.
Duh, kenapa aku nggak pakai baju yang lebih tebal? Dia melihat baju yang dipakainya, lalu tertawa merasa bodoh. Ini adalah baju yang sangat disukai Dion. Laki-laki itu akan terus memandanginya dan berkali-kali mengatakan kalau dia sangat cantik saat memakai baju ini. Bagaimana mungkin Dion yang sedang koma bisa melihat dirinya?
Begitu tiba di rumah sakit, Helene merasa begitu gugup. Dia menghela napas sebelum melangkah memasuki lobi. Dia berjanji untuk menemui Davina di lobi. Helene melihat Davina yang berdiri melihat ke arah pintu kemudian tersenyum melihat Helene. Davina memeluk Helene erat, "Terima kasih kamu mau datang," katanya, "ayo, aku antar melihat Dion!" Davina menggamit tangan Helene.
Sebelum masuk Helene melihat Dion dari kaca kecil yang ada di pintu. Dia ragu untuk memutar handle pintu. Helene berusaha menenangkan debaran jantungnya. Tak ada yang berubah, Helene tahu hatinya masih untuk Dion.
***
Ares berkali-kali melihat ponselnya. Pesan yang dia kirim kepada Helene masih centang satu. Malam sudah semakin larut, Ares sudah berada di hotel. Dirinya menjadi tidak tenang. Tadi dia sempat menghubungi Bayu dan Ninit, mereka bilang hari ini Helene tidak masuk kerja. Namun, Helene tidak memberitahukan alasan dia tidak masuk kerja kepada Bayu dan Ninit. Helene seolah hilang ditelan bumi. Mereka berdua berjanji akan mengabari Ares kalau suatu waktu Helene menghubungi mereka berdua.
"Halo Res, kami sudah ke kos Helene dan dia tidak berada di kos. Tadi ada yang melihat Helene pergi." Bayu baru saja meneleponnya lima menit yang lalu. Kata Bayu, Helene tidak pamit kepada siapa pun juga. Ares semakin kalut, andaikan dia tidak berada di luar kota, mungkin dia sudah pergi mencari Helene ke setiap tempat yang dia tahu sering didatangi kekasihnya itu.
Sampai sekarang, Helene menjadi tanda tanya buat Ares. Dia tidak benar-benar mengenal Helene. Terkadang Helene menjadi suatu misteri untuknya. Dulu, itu salah satu yang membuat Ares jatuh cinta pada Helene. Bagi Ares, itu adalah tantangan. Biar bagaimana pun dia seorang laki-laki.
Malam ini Ares bertekad, kalau sampai besok tidak ada kabar dari Helene dia akan kembali ke Jakarta.
***
Helene belum bisa berkonsentrasi penuh, apalagi setelah kepulangannya dari rumah sakit. Dia memilih berdiam diri di kamar.
" Len..." Seseorang memanggil namanya sambil mengetuk pintu kamar.
"Ya!" Helene menyahut sambil bergegas membuka pintu.
"Tadi ada teman kamu yang ke sini, mereka mencari kamu. Katanya kalau kamu sudah terima pesan ini segera hubungi Ninit dan Bayu. Soalnya ponsel kamu nggak bisa dihubungi."
Helene terkejut, dia lupa menyalakan ponselnya. Helene segera menyalakan ponselnya setelah temannya berlalu. Astaga! puluhan panggilan telepon dari Ares, beberapa dari Bayu dan Ninit. Bertubi-tubi pesan dari Ares masuk. Helene melihat jam dinding, pukul 23.00...mungkin masih bisa menelepon Ares. Biasanya laki-laki itu tidur sangat larut. Helene berdoa di dalam hati, semoga Ares tidak marah.
"Helene, kamu ke mana saja!" Ares langsung menjawab pada dering pertama, rupanya dia sudah menunggu telepon dari Helene.
"Oh, aku tidak enak badan," dustanya.
"Bayu dan Ninit bilang kamu tidak ada di kos." Suara Ares masih terdengar marah.
"Aku ke apotek. Maafkan aku Ares," katanya tulus.
"Beristirahatlah, besok kita bicara lagi."
"Ya," jawab Helene singkat. Dia juga malas berlama-lama bicara dengan Ares karena akan semakin banyak kebohongan yang dia katakan. Pikirannya juga sedang tidak fokus. Dia tidak ingin Ares bisa membaca kegalauannya.
Helene hanya menyapa teman-temannya di grup, Hai geng's! aku baik-baik saja...hanya sedikit tidak enak badan. Tapi secara keseluruhan tidak ada yang perlu kalian khawatirkan. Selamat malam semua!
Ninit membalas dengan kalimat ngomel-ngomel khas Ninit. Bayu membalas dengan kalimat yang lebih kalem. Helene hanya memberikan emotikon senyum. Ini adalah tanda bahwa perbincangan ditutup dan Helene tidak berminat bicara lebih jauh.
***
Sore ini sepulang kerja, Helene cepat keluar dari ruangannya. Dia sedang tidak ingin menjawab pertanyaan Ninit. Lagi pula dia ingin ke rumah sakit. Dia ingin melihat Dion. Janji yang dia ucapkan kemarin malam di dalam hati harus dia ingkari. Helene merasa seperti ada yang menarik dirinya untuk datang.
***
Ninit melihat dari ekor matanya ketika Helene keluar dari ruangan. Berjalan bergegas dengan ekspresi wajah gugup. Sedari tadi sikap Helene juga berbeda. Ninit tahu, ada sesuatu yang disembunyikan Helene. Dia sangat mengenal sahabatnya ini. Namun Ninit tidak akan mendesak Helene, Ninit yakin suatu saat Helene akan cerita. Dia hanya menunggu waktu yang pas untuk bicara.
***
Helene mendatangi suster yang berada di nurse station, dia hanya ingin tahu apakah Dion sudah siuman.
Setelah itu dia akan melihat Dion dari kaca kecil di pintu kamarnya. Helene tidak berani masuk, dia khawatir bertemu keluarga Dion. Cukup baginya bisa melihat Dion dari jauh.
Setiap hari Helene melakukan hal yang sama. Dia tidak peduli jarak yang dia tempuh begitu jauh. Dia hanya ingin tahu kabar Dion dan melihatnya sebentar saja. Helene tidak merasa lelah melakukan aktivitas yang sama setiap hari.
***
Hari keenam, Helene mendapat kabar dari Davina kalau Dion sudah sadar, ketika itu Helene berada di kos. Helene menangis mendapat kabar itu. Berkali-kali Helene mengucap syukur, doanya sudah dijawab. Helene berpesan pada Davina untuk tidak mengatakan kedatangannya ke rumah sakit kepada Dion. Biarlah Dion tetap menganggap Helene tidak tahu soal ini.
***
"Tumben nggak cepet-cepet pulang?" Ninit mendatangi Helene yang masih berkutat dengan pekerjaannya. Gara-gara Dion, beberapa pekerjaannya menjadi tertunda. Walaupun hingga sekarang dia masih belum bisa fokus, tetapi dia harus menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Helene tidak terpengaruh dengan kata-kata Ninit, pandangan matanya lurus ke arah laptop.
"Kemarin-kemarin kenapa sih, Len?" Ninit berusaha mengorek cerita. Dia tidak sabar menunggu Helene menceritakan semuanya. Helene masih menatap layar laptop, jari-jarinya menari diatas keyboard.
"Kapan-kapan aku ceritakan, aku lagi repot, nih!" Helene menunjukkan pekerjaannya.
"Nggak kayak biasanya kamu nyaris telat kirim laporan," gerutu Ninit. Ada terselip rasa sebal Helene tidak menanggapi permintaannya seperti yang diharapkan.
Ninit berlalu dari hadapan Helene, "Aku pulang dulu ya!" pamitnya. Helene mengangguk sambil melambai. Ninit tidak menyadari betapa bahagia Helene bisa lepas dari pertanyaan Ninit. Helene menghela napas kemudian berkonsentrasi dengan laporannya.