Tangannya terbuka lebar untuk memeluk Helene. Ares baru menyadari bahwa dia sangat rindu. Mungkin kalau lebih dari satu minggu tidak melihat Helene, dia bisa menjadi gila.
Ah, dulu menjadi gila karena wanita tidak pernah ada dalam kamus hubungan percintaannya. Ares bukan seorang Don Juan yang berganti pacar semudah berganti baju. Ares tidak mudah jatuh cinta, dia juga tidak pernah suka mempermainkan perempuan. Dia jatuh cinta, pacaran lalu putus. Siklus yang biasa dalam suatu hubungan, tetapi tidak pernah ada kesan mendalam yang dirasakannya seperti ketika bersama Helene. Entahlah, Ares juga tidak mengerti apa yang membuat dia seperti ini.
Helene berjalan dengan langkah lebar-lebar, tersenyum riang lalu masuk ke dalam rengkuhan Ares. Kalau saja ini tidak di bandara, mungkin Ares sudah memeluk perempuan ini dengan erat bahkan menciuminya.
***
"Sepertinya ada yang sangat merindukan aku?" Helene bertanya dengan mata bersinar-sinar senang.
"Hmm ya... aku mengakuinya." Ares menjawab, kepalanya sedikit menoleh pada Helene. "Kalau lebih dari satu minggu kamu pergi, aku bertekad akan menyusul kamu," katanya lagi.
Helene tertawa, dia merasa lucu mendengar Ares bicara begitu. Memangnya dia tidak punya pekerjaan sampai harus menyusul segala.
"Helene, aku tidak sedang melucu. Aku serius dengan kata-kataku." Kali ini Ares menghadapkan wajahnya pada Helene.
"Maafkan aku, hanya....tidakkah itu terlalu berlebihan?" Helene bertanya ragu, dia menjadi gugup.
"Tidak ada yang berlebihan kalau aku sudah sangat rindu."
Ares kembali berkonsentrasi pada jalanan, lampu lalu lintas sudah berubah warna menjadi hijau. Helene terdiam. Di sudut hatinya merasa ada yang tidak bisa dia terima. Entah bagian mana dari sikap Ares yang tidak cocok yang dia rasakan. Mungkin perempuan lain akan senang saja dicintai, dirindukan seperti ini. Tetapi Helene merasa ada yang salah. Atau karena dia sudah terlalu lama sendiri? Membuat perasaannya tidak lagi peka dengan yang namanya cinta, cemburu, rindu... apa pun itu namanya.
"Helene!" Ares memanggil namanya sebelum Helene turun dari mobil.
"Ya," Helene menghentikan gerakan tangannya. Melihat pada Ares yang sedang menatapnya dengan tatapan mata serius.
"Menikahlah denganku... aku tak bisa menahannya lagi, aku sudah memikirkan ini saat kita berjauhan." Ada perasaan lega setelah mengatakannya. Dia sudah memendamnya sejak tadi malam, memikirkan hal itu membuatnya gelisah. Dia menginginkan Helene dalam hidupnya.
Helene terkejut dengan lamaran Ares yang begitu tiba-tiba. Bola matanya melebar, bibirnya sedikit terbuka. Helene tidak tahu harus berkata apa untuk menjawab lamaran Ares. Terus terang dia belum siap. Perasaan cintanya tidak dalam pada Ares, bahkan dia baru berusaha untuk menumbuhkannya. "Apakah aku harus menjawab sekarang?" tanyanya ragu.
"Tidak... tidak harus, aku akan menunggu sampai kamu siap." Ares tersenyum, menggenggam jemari Helene.
Helene berpikir apa dia sedang tidak waras dengan ragu-ragu menerima lamaran Ares. Perempuan lain mungkin akan bersorak girang, tersenyum lebar atau tertawa bahagia mendengarnya. Akan mengatakan ya, sambil mengangguk dengan penuh rasa sukacita. Tidak ada yang kurang dari Ares. Dia memiliki wajah yang tampan, karir yang bagus, hati yang tulus untuk Helene. Laki-laki ini juga menantu yang tidak akan ditolak oleh mama. Ares memenuhi semua kriteria. Lalu apa yang membuatnya tidak bisa langsung menjawab ya.
Dia yang bersalah dalam hal ini, wajah dan senyum terkutuk milik Dion belum bisa dia hilangkan dari hati dan pikirannya. Cintanya masih melekat untuk Dion. Helene menjadi resah. Terdiam mematung, dia tidak bisa beranjak dari tempat duduknya.
"Maafkan aku kalau sudah membuatmu terkejut." Ares menyentuh pipi Helene dan mengusapnya lembut.
"Tidak apa-apa, hanya semua ini begitu mendadak... aku belum siap. Maafkan aku Ares." Detik itu juga, Helene merasa bersalah pada Ares.
***
Dia duduk sendiri di kafe itu, tampak merenung sambil memegang cangkir kopinya. Dion melihatnya dari kejauhan. Menantikan kejutan, apakah ada seseorang yang bersama Helene?
Dion menunggu hingga beberapa waktu lamanya. Setelah yakin kalau Helene hanya sendiri, dia bertekad untuk mendatangi Helene. Meminta maaf pada Helene. Kalau seandainya Helene mau mendengarkan ceritanya, dia akan menceritakan semua. Dia sudah siap andaikan Helene memakinya dengan semua sumpah serapah yang bisa dia keluarkan dari mulutnya. Dia sudah siap andaikan Helene menamparnya atau memukulnya. Dion jadi teringat ketika Helene memukul seorang laki-laki di kafe. Dia tersenyum mengingat hal itu.
Tadi dia sengaja melewati kafe yang biasa Helene datangi. Dion hanya ingin melihat Helene, bahkan dia berusaha untuk menekan rasa cemburu yang hadir saat dia memikirkan Helene bisa saja sedang bersama kekasihnya. Di benaknya hanya ada Helene. Mungkin ini yang disebut dengan cinta buta.
Dion bersyukur melihat Helene berada di situ sedang duduk sendiri. Seperti biasa Helene sedang memandangi jalanan dan memegang cangkir kopinya. Dion menghitung sampai sepuluh di dalam hati. Menarik napas panjang kemudian mengembuskannya. Dion melangkahkan kakinya menyeberang jalan untuk menemui Helene, perempuan yang bertahun-tahun ini mengisi hati dan pikirannya.
***
Ajakan dari Ares untuk bertemu malam ini ditolak oleh Helene. Dia beralasan lelah dan ingin berbaring saja, semoga Ares tidak membaca kebohongannya. Helene belum siap untuk bertemu Ares setelah peristiwa tadi siang. Dia belum sanggup menatap mata Ares. Dia sedang ingin sendiri, merenung dan memikirkan langkah yang tepat.
Aku sudah menerima cincin sebagai tanda pertunangan, harusnya aku sudah siap kalau suatu waktu dia melamar ku? Bukankah pertunangan akan berakhir dengan pernikahan? Alangkah bodohnya aku kalau hingga saat ini masih berpikir panjang untuk mengatakan ya. Namun tidak secepat ini. Aku pikir masih satu atau dua tahun lagi. Mengapa secepat ini?
Helene hanya diam memegang cangkir kopinya, membiarkan kopinya menjadi dingin. Pikirannya ke mana-mana seperti uap kopinya yang terbang entah ke mana. Ares sudah membuatnya bingung.
***
Dion hampir mencapai seberang jalan, ketika akhirnya dia terjatuh. Darah segar membasahi kepalanya. Matanya melihat ke arah Helene yang masih duduk dengan cangkir kopi di tangannya. Hatinya mendadak damai ketika menatap perempuan itu. Tunggu aku Helene, aku akan datang padamu!
***
Helene melihat orang-orang berkerumun. Dia melihat dari kaca pembatas kafe. Helene membuang pandangan matanya, dia tidak pernah berani melihat peristiwa kecelakaan. Dia tidak pernah sanggup melihat darah. Helene menunduk, memandangi kopinya yang sudah menjadi dingin lalu meletakkan begitu saja di atas meja tak berhasrat untuk meminumnya. Kopi yang sudah menjadi dingin bukanlah kesukaannya.
Helene pergi meninggalkan kafe. Melihat sekilas ke arah kerumunan orang di jalan. Dia ingin pulang, mencoba melupakan Ares dan lamarannya. Helene ingin tidur saja, mendadak dirinya merasa sedih.