Ares meraba kantong celananya, memastikan benda itu masih berada di situ. Jantungnya berdetak cepat, dia menjadi begitu gelisah. Ares meyakinkan diri bahwa keputusan yang diambil adalah benar.
Ares berkali-kali menggosok kedua telapak tangannya, sebentar dia menoleh ke arah pintu masuk restoran belum juga dilihatnya Helene melewati pintu itu. Dia menggoyang-goyang kakinya, mengembuskan napas perlahan. Sangat tidak mudah ketika harus dihadapkan dengan cinta. Lebih mudah baginya mengambil keputusan untuk perusahaan. Enam bulan mengenal Helene, mencintainya dengan tulus membuat Ares yakin untuk meminta Helene hidup bersamanya selamanya.
Sudah beberapa hari dia memikirkan untuk melamar Helene. Malam ini... ya malam ini dia menanti dengan perasaan tak tenang.
Dia melihat Helene berjalan melewati pintu, masih dengan baju kerjanya. Kemeja lengan panjang berwarna baby pink dan rok pensil di atas lutut berwarna putih. Matanya tertuju pada Ares yang berdiri menyambut kedatangannya, senyumnya mengembang, matanya berbinar indah. Ares memeluk Helene, mengecup pipinya. Tuhan, aku mencintai perempuan ini.
"Maaf, sedikit terlambat... jalanan macet. Kamu tahu lah, jalanan di Jakarta nggak pernah ramah kalau hari kerja." Helene melihat Ares yang sedikit gugup.
"Ada sesuatu yang terjadi?" Helene bertanya, keningnya berkerut samar.
"Tidak...semua baik-baik saja." Ares menjawab gugup. Aku yang sedang tidak baik-baik saja, tambahnya dalam hati.
"Kamu tahu, minggu depan aku akan berangkat keluar kota. Aku suka sih keluar kota, tapi terkadang aku juga ingin menolak." Helene cemberut, tangannya dilipat di depan dada. "Aku sedang tidak dalam mood yang baik untuk bepergian." katanya lagi, wajahnya masih memancarkan rasa jengkel.
"Kenapa? Takut rindu padaku?" Ares menggoda, dia ingin mencairkan suasana.
"Mungkin... " Helene menjawab, tersenyum sangat lebar.
"Aku yang akan merindukan kamu." Ares berdeham, menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering. Sekaranglah saatnya, pikirnya.
Ares mengeluarkan benda yang sedari tadi berada di kantongnya. Memegangnya dengan seribu perasaan berkecamuk di hati. Malam ini dia harus bisa menerima apa pun keputusan Helene.
Helene melihat kotak yang dipegang Ares dengan tatapan heran dan bingung. Ah, semoga tebakannya tidak benar. Sesungguhnya kalau saat itu datang, dia belum siap untuk menjawab.
Ketika Ares memintanya untuk hidup bersamanya selamanya. Helene terpana, dia melihat kesungguhan di mata Ares. Tuhan, aku harus bagaimana?
Helene mengangguk pelan, dia menerima Ares. Hati kecilnya tak ingin kehilangan laki-laki ini, tak ingin melukai perasaan Ares.
Ares mencium tangannya, "Andaikan bisa, aku ingin memelukmu sekarang." Ares tersenyum riang.
"Helene, apakah kita perlu membuat pesta pertunangan. Mengatakan kepada semua orang kalau kamu dan aku akan selalu bersama."
"Bisakah, hanya kita berdua saja. Aku anggap malam ini kita sudah bertunangan. Waktunya tidak tepat untuk mengadakan pesta. Aku sedang sibuk. Aku harap kamu mengerti." padahal Helene belum siap untuk sebuah pesta.
Ares menggenggam tangan Helene lembut, "Aku mengerti, aku hanya ingin kamu merasa bahagia dengan hubungan kita. Aku tidak akan memaksa, karena aku mencintai kamu... aku tidak akan pernah bosan mengatakannya berkali-kali."
***
Helene memandangi cincin yang melingkar di jari manisnya. Perasaannya masih tak menentu, benarkah semua ini?
Aristides... aku tak pernah melafalkan namamu di hatiku. Salahkah aku?
Aristides... aku ingin berada di dekatmu. Tapi aku tidak yakin untuk hidup bersamamu selamanya. Ah, aku bingung!
Aristides... aku akan berusaha membuka pintu hatiku lebar-lebar untukmu. Hanya untukmu.
***
"Vin, aku harus bagaimana?" Dion meremas rambutnya, terlihat kalut. Di hadapan Davina dia berubah menjadi dirinya sendiri. Tidak ada kesan sok tegar yang kadang dia tunjukkan. Untuk sekali ini dia menyerah. Dion tidak bisa menahan ketakutannya kehilangan Helene.
"Bertahun-tahun kamu tidak pernah melihatnya, dia sengaja pindah kos menghilang dari kamu. Seharusnya kamu bisa melupakan Helene. Dia juga harus bahagia Dion, tidak harus dengan kamu." Davina berusaha mengatakan kebenaran pada Dion. Sebenarnya Davina merasa kasihan melihat Dion seperti ini. Hampir tiga tahun laki-laki ini tak bisa menemukan pengganti Helene.
Beberapa hari yang lalu Dion menelepon dirinya, di tengah kesibukan mengurus pernikahannya, Dion ingin bertemu. Ada yang ingin dia katakan. Dion membutuhkan bicara dengan Davina secara langsung. Davina menyanggupi. Dion tidak pernah meminta hingga memohon kepadanya. Davina tahu, pasti ada sesuatu yang penting yang ingin Dion sampaikan.
Begitu bertemu, Dion langsung mengatakan kalau Helene sudah punya kekasih. "Lalu kenapa? Bukankah kalian memang tidak mungkin bersama? Kamu tidak pernah punya keberanian untuk datang padanya, bicara dengannya."
"Mungkin selama ini dia juga menunggu kamu, sampai berapa lama dia sendiri? Begitu dia memiliki kekasih, kamu merasa dia dirampas dari tanganmu. Dia pernah jadi milikmu tapi kamu sudah melepaskan dia dengan sangat menyakitkan. Kalau sekarang dia bahagia, kamu harus merelakannya."
Davina terus bicara, dia ingin membuka jalan pikiran Dion bahwa Helene bukan miliknya lagi. Dion tidak boleh egois. Dia sudah bersikap jahat pada Helene.
Dion terperangah, dia tahu bahwa dirinya sudah sangat bersalah pada Helene.
"Aku ingin datang padanya dan meminta maaf. Mungkin dengan begitu, aku bisa merasa lega." Dion menunduk lemah, semangatnya hilang seolah ditelan ombak.
***
"Kapan kamu pulang?" Ares bertanya untuk yang ke sejuta kali pada Helene, baru tiga hari dia tidak bertemu Helene rasanya sudah begitu lama.
"Hari Sabtu nanti aku akan pulang." Helene hanya bisa tertawa kecil setiap mendengar Ares kumat rasa rindunya. "Kamu itu lho, seperti remaja yang baru mengenal cinta saja." Helene pernah protes.
"Memang benar begitu... norak ya?" Ares bertanya dengan lagak tak berdosa, sangat polos.
"Nggak sih... heran aja gitu! Masak sudah seumur ini, 30 tahun lebih... kamu nggak pernah pacaran?"
"Pernah, aku pernah punya pacar... tapi tidak pernah sampai membuatku begini?" Ares berkata jujur. Memang dia belum pernah hingga setergila-gila ini pada seorang perempuan.
"Aku tidak tahu harus takjub, terharu atau bahagia dengan ceritamu." Helene tertawa geli.
"Kamu... tunggu nanti kalau sudah pulang. Akan aku... " Ares berhenti, tidak melanjutkan kalimatnya.
"Akan apa? Lanjutkan dong... aku kan jadi penasaran sama hukuman yang akan aku terima." Helene masih tertawa.
"Aku cium aja boleh? Helene... aku merindukanmu."
***
Ares menghitung waktu demi waktu, memandangi kalender di meja kerjanya. Menandai kepulangan Helene dengan spidol merah. Tak sabar menanti tanggal itu datang. Perempuan ini sudah menjungkirbalikkan hidupnya.
***
Rasa ingin bertemu Helene begitu mendesak dirinya.
Dia mempersiapkan kata-kata yang harus dia ucapkan pada Helene saat bertemu nanti. Atau malah dia tidak sempat mengatakannya karena Helene begitu muak melihat dirinya. Dia harus mengakui kesalahannya pada Helene, tak ada pembelaan diri. Seperti saat dia mengaku dosa kepada Tuhan. Dia hanya bisa pasrah dan berserah, apa pun yang terjadi.