Ting!
Ponsel Helene berbunyi, ada pesan yang masuk, di tengah pagi yang tenang, Tidak pernah ada yang mengirimkan pesan untuknya sepagi ini. Ah, pernah... dulu ketika bersama Dion.
Uh, Lagi-lagi nama laki-laki itu muncul di kepalanya. Betapa susahnya menghilangkan kamu dari sini!. Tanpa sadar dia menunjuk kepalanya.
Tangan kanannya memegang secangkir kopi dan tangan kirinya memegang ponsel. Sebenarnya dia ingin mengabaikan saja, takut isi pesan itu mengganggu paginya. Ternyata dia menjadi penasaran.
[Selamat pagi, sedang apa? ] Begitu pesan yang dikirim Ares.
Membuat Helene tersenyum senang. [Aku sedang minum kopi, kamu?]
[Aku... sedang memikirkan kamu.]
Senyum Helene semakin lebar ketika membaca pesan Ares.
Helene tak membalas pesan Ares, dia harus segera bersiap berangkat ke kantor. Ponselnya berbunyi lagi.
[Apakah aku terkesan gombal?]
Mungkin Ares takut Helene tidak suka dengan pesan yang dia kirim.
[Mm, sedikit... tapi pagiku menjadi berbeda.] Balas Helene.
[Apakah nanti malam kamu punya waktu untuk menceritakan pagimu yang berbeda dari biasanya?]
Oh... Helene menutup mulutnya, merasa terkejut membaca pesan Ares. Dia tidak menyangka laki-laki ini mengambil langkah yang begitu cepat.
[Aku belum bisa memastikan...nanti aku akan mengabari kamu.]
***
"Good morning ladies, ini bubur Manado untuk kalian spesial dibuatkan Adinda." Bayu datang ke ruangan HR sambil membawa wadah yang berisi bubur. Adinda tahu kalau Ninit dan Helene sangat suka sarapan bubur, jadi sekalian dia memasak banyak untuk diberikan pada Helene dan Ninit.
"Adinda baik banget sih, nanti kami akan telepon Adinda untuk bilang terima kasih." Helene menjawab sambil tersenyum.
"Apa aku tidak baik mau mengantarkan bubur ini sampai ke meja kalian?" Bayu menggerutu. Apalagi tadi dia membawa bubur karena dipaksa oleh Adinda.
"Ya...terima kasih Bayu," kata Helene masih dengan senyumnya yang tidak pernah lekang.
Rupanya Bayu menangkap perubahan di wajah Helene dan melirik Ninit.
"Aku tahu... tidak perlu melirik ku. Aku juga merasakan sesuatu yang berbeda," kata Ninit pada Bayu.
"Siapa?" tanya Bayu cepat.
"Kalian berdua ini...sudah sana!" Helene menggerakkan tangannya mengusir Ninit dan Bayu. Helene belum ingin bercerita soal Ares, belum waktunya untuk mereka tahu.
***
"Jadi, seperti apa pagimu yang biasa?" Ares bertanya sambil tersenyum, membuat Helene menjadi jengah. Helene hanya bisa tersenyum malu-malu. Di depan laki-laki ini dia kehilangan kemampuannya untuk bisa berpikir jernih dan tegas.
"Pagiku biasanya selalu tenang dengan secangkir kopi dan alunan musik lembut. Aku membutuhkannya untuk berpikir dan membuat rencana kerja hari ini. Setelah itu aku akan bersiap menuju ke kantor. Seperti itulah."
Ares mengangguk-angguk, dia mengerti di bagian mana dia sudah 'merusak' pagi Helene.
Sudah lama Ares mencari Helene, dia mengutuk kebodohannya karena lupa meminta nomor ponsel Helene. Setelah itu dia harus bertugas keluar kota membereskan kekacauan yang terjadi di kantor cabang.
Selama satu tahun lebih dia tinggal di Semarang. Semakin sulit bagi Ares untuk menemukan Helene. Mungkin memang mereka ditakdirkan untuk bertemu lagi kemarin. Ares begitu bahagia bisa bertemu Helene lagi.
Kemarin, entah apa yang membuatnya ingin melangkah ke kafe itu, padahal tubuhnya sudah begitu penat. Begitu memasuki kafe, matanya langsung tertumbuk pada gadis itu. Ares melihat Helene yang sedang duduk melamun memandangi jalanan.
Sebenarnya Ares ragu untuk mendatangi Helene. Dia takut Helene tidak mengenali dirinya. Sudah sekian tahun mereka tidak bertemu. Namun, Ares memberanikan diri untuk mendekat. Dia tidak ingin kehilangan perempuan ini lagi. Mungkin ini salah satu cara Tuhan menjawab doanya.
Begitu bangun tidur tadi pagi, bayangan pertemuan mereka malam itu muncul di kepalanya. Ares memikirkan Helene dan dia mengumpulkan keberanian untuk mengirimkan pesan pada Helene.
Malam ini di sinilah mereka, duduk di sudut kafe yang tenang. Menikmati kopi, makan malam dan alunan musik dari permainan piano.
Ares beberapa kali menyambangi kafe ini, jadi dia sangat hapal dengan suasananya. Ares yakin Helene juga akan menyukainya. Dia sangat percaya diri ketika mengajak Helene ke sini.
Benar saja, gadis itu tersenyum begitu memasuki kafe ini. Tersenyum sangat manis.
"Sebentar, " kata Ares sambil berdiri dan berjalan ke tempat piano berada. Jari-jarinya bermain di atas tuts piano. Mengalun lagu lawas dari Aaron Neville dari bibir Ares.
Look at these eyes, they never seen what mattered
Look at these dreams, so beaten and so battered
I don't know much, but I know I love you
And that may be all I need to know
So many questions, still left unanswered
So much I've never broken through
And when I feel you near me
Sometimes I see you clearly
The only truth I've never known
Is me and you.
Di bawah sorot lampu, ketika Ares memainkan piano Helene terpaku menatap Ares. Tidak ingin melepaskan tatapan matanya sedetik pun dari laki-laki itu. Helene belum tahu pasti apa yang dia rasakan, tetapi dia merasa nyaman berada di dekat Ares.
***
"Kamu suka lagunya?" Ares bertanya setelah kembali ke tempat duduknya.
"Ya, aku suka... rupanya kamu ingin pamer padaku." Helene tersenyum senang.
"Aku tidak ingin pamer, tapi aku ingin memikat kamu. Aku berharap kamu tidak menolak ketika aku mengajakmu pergi kencan selanjutnya." Ares terlihat serius ketika mengatakannya walaupun matanya tersenyum.
"Aku... tidak akan menolak asalkan kamu mengajak di waktu yang tepat." Helene melipat tangannya di depan dada.
"Rupanya tidak mudah untuk membuatmu terkesan." Ares menggeleng pelan.
"Begitulah... aku sangat pemilih." Helene terlihat serius, tapi sorot matanya tampak jenaka.
"Aku akan berusaha sekuat tenaga, mengerahkan segala kemampuanku untuk membuatmu terkesan dan bisa memikat hatimu." Ares menegakkan duduknya, dia terkekeh pelan.
"Ah ya, aku rasa memang harus seperti itu." Helene mengangguk pelan sambil menampilkan senyumnya yang begitu memikat. Ares menatap Helene, terpana dengan senyum perempuan itu.
"Adakah yang salah?" Helene memperbaiki rambutnya.
"Tidak ada yang salah, kamu sangat mempesona."
Helene berdeham, menjadi salah tingkah.
***
Dua bulan Dion tidak melihat Helene, meskipun hanya bisa melihat dari jauh. Pekerjaan yang membuat dia begitu sibuk. Malam ini dia sempatkan untuk datang ke kafe itu. Cukuplah hanya bisa mengagumi Helene dari jauh, itu sudah sedikit mengobati rasa rindunya.
Dari kejauhan Dion melihat Helene, tampak cantik dengan dress berwarna putih. Seperti biasa, Helene selalu memandangi jalanan. Namun kali ini Dion melihat Helene tampak berbeda. Sorot matanya tidak kosong seperti terakhir kali Dion melihatnya.
Lalu Dion melihat seorang laki-laki
menghampiri Helene, lalu duduk di hadapan Helene. Melihat Helene tersenyum manis, Dion terpana. Siapa laki-laki itu?