Jangan menangis, menjadi kesepian adalah menjadi manusia.
Hidup adalah menahan kesepian.
Jangan menunggu panggilan yang tidak pernah datang.
( Kepada Dafodil, Jeung Ho Seong)
***
Dion menyambut kedatangan Thalita dengan senyum terbaik yang bisa dia hadirkan. Paginya terusik dengan bayang-bayang Helene di kepalanya.
Setelah menandaskan sarapan pagi, yang kata Thalita sangat enak. Hingga dia berkali-kali memuji masakan Dion
"Dion, sebelum pergi ada yang ingin aku tanyakan padamu. Kita akan pergi kalau kamu sudah menjawabnya, dan kepergian ini tergantung jawaban kamu." Thalita menatap lembut mata Dion.
Alis Dion terangkat, dia tidak mengerti maksud Thalita, "Maksudnya?"
"Aku ingin kamu menjawab dengan jujur. Setelah itu aku akan memutuskan apakah aku akan menghabiskan waktu bersamamu atau tidak."
Dion mengangguk, dia mengerti maksud Thalita.
"Apakah kamu jatuh cinta kepadaku? Apakah hubungan kita bisa disebut sebagai kekasih?"
Dion tidak menduga Thalita akan menanyakan hal itu secepat ini. Mungkin dia begitu egois mengharapkan Thalita mau bersamanya tanpa status yang jelas. Dion lupa, Thalita bukanlah perempuan yang mau diperlakukan seperti itu.
"Aku butuh waktu... andaikan kamu mau memberikan aku waktu."
Thalita menangis, lalu kemudian dia berusaha menghentikan tangisnya dan tersenyum. Senyum yang terasa getir.
Dion memeluk Thalita dengan rasa penyesalan. Ketika memeluk Thalita, matanya menangkap sosok Helene yang berdiri melihat mereka berdua. Mata Helene yang hitam menjadi begitu kelam. Melihat Helene berbalik dan pergi membuat hati Dion makin terasa seperti diiris sembilu. Perih. Hari ini dia sudah menyakiti hati dua perempuan. Sesuatu yang tidak pernah dia lakukan dan dia bayangkan akan terjadi.
***
Helene berbaring memandangi langit-langit kamarnya, di luar terdengar suara riuh penghuni kos entah membicarakan apa. Helene tidak berminat untuk mengetahui. Dia lebih suka berada di kamar, berbaring diam dan merasakan kesepian yang begitu menggigit.
Hari-harinya tidak akan sama lagi, seperti ada yang kosong di dalam jiwanya. Mengapa harus ada pengkhianatan? Itu sangat menyakitkan.
Matanya melihat Dion mencium perempuan itu. Andaikan Dion mengatakan ingin putus saja, itu lebih baik daripada begini. Luka yang kamu torehkan ini sangat dalam Dionisius, tidak kah kamu mengerti!
***
"Good morning Helena, ini bubur ayamnya. Aku antar spesial ke meja kerjamu." Bayu duduk di hadapan Helene membawa bungkusan bubur ayam pesanan Helene.
Perempuan itu tersenyum sekadarnya sambil mengucapkan terima kasih. Bukan Helene yang biasanya akan menyambut dengan riang bubur ayam yang dibawakan Bayu. Biasanya mulutnya juga mengomel mendengar Bayu memanggilnya dengan Helena.
Bayu melihat wajah Helene yang kuyu, tidak bersemangat dan pucat.
"Kamu baik-baik saja kan? Kamu sakit?"
Bayu diliputi rasa khawatir melihat rupa Helene yang sudah seperti mayat, hanya bola mata hitamnya yang bergerak itulah yang menandakan masih ada kehidupan.
"Nggak, aku nggak sakit...aku nggak apa-apa." jawabnya singkat mencoba tersenyum tapi terlihat kaku.
"Ada yang ingin kamu ceritakan?" Bayu merendahkan suaranya, khawatir ada orang lain yang mendengar.
"Len, kamu kenapa?" Ninit terkejut melihat rupa Helene ketika dia mampir ke meja kerja Helene. Bayu menatap Ninit dan memberikan tanda supaya Ninit mengecilkan suaranya.
"Kenapa dia?" Ninit nyaris berbisik bertanya pada Bayu.
"Aku nggak tahu."
"Hai... aku nggak apa-apa, kalian bisa meninggalkan aku. Nanti ada saatnya aku akan bicara."
***
Helene berubah menjadi pendiam, bicara hanya seperlunya. Tubuhnya menjadi kurus dan itu meresahkan Ninit dan Bayu. Helene menceritakan semuanya beberapa minggu kemudian. Dia tidak sanggup menahannya sendiri. Namun itu tidak bisa mengembalikan keceriaannya seperti dulu. Dion telah merampas habis kebahagiaan Helene.
Malam itu Ninit mengutuki Dion, walaupun itu tak ada artinya hanya memuaskan emosi Ninit. Bayu hanya diam mendengarkan setiap kata. Sesekali dia menghela napas. Laki-laki terbiasa untuk memecahkan masalah namun kali ini Bayu tidak bisa mengatakan apa pun juga. Tidak juga kata-kata penghiburan.
Sampai beberapa waktu kemudian, Helene semakin tenggelam dalam kediamannya dan menjadi gila kerja. Tak ada yang bisa melarang dirinya untuk tidak tenggelam dalam pekerjaan. Kadang-kadang Bayu dan Ninit bisa menariknya sebentar untuk keluar dari kegilaannya. Hanya sekedar nongkrong makan malam. Kalau Helene sedang tidak bisa diajak, Bayu akan mengeluarkan jurus pamungkasnya, "Ayolah Len, aku kan sebentar lagi akan menikah. Mana bisa bebas lagi nongkrong bareng kalian." Biasanya Helene akan mendengus dan bangkit dari tempat duduknya dengan terpaksa.
"Lama-lama aku ikut sinting melihat kamu, Len!" protes Ninit suatu kali, dia sebal melihat Helene.
***
Dua tahun kemudian
Mereka bertiga sedang duduk di sudut halaman rumah Bayu, menikmati senja yang perlahan mulai turun. Hari ini Ninit dan Helene datang ke rumah Bayu untuk mengikuti acara tujuh bulan istri Bayu, Adinda. Mereka bertiga menjadi seperti keluarga. Adinda sangat antusias dengan kedatangan Ninit dan Helene. Bahkan kadang mereka bertiga hang out bareng sekedar ngopi-ngopi di kafe. Sesekali Adinda menjemput Bayu ke kantor dan mereka berempat akan nongkrong makan malam di rumah makan favorit mereka. Tidak ada yang berubah dari Helene. Dia tetap gila kerja dan tak banyak bicara. Tetap sulit mengajak Helene untuk hang out, kalau pun ikut Helene lebih suka menjadi pendengar. Kadang dia tersenyum dan tertawa tetapi tidak ada lelucon atau celetukan jahil keluar dari mulutnya.
"Kamu masih betah sendiri aja?"
"Pliss deh, nggak usah nanya itu."
Helene mulai resah. Baru kali ini Bayu menyinggung tentang kesendiriannya. Tidak mudah untuk Helene jatuh cinta.
"Aku hampir punya anak dan Ninit sebentar lagi akan menikah. Kamu punya seseorang yang dekat aja nggak?"
"Kan masih ada kalian." Helene tersenyum.
Ninit melengos mendengar kata-kata Helene, "Selalu begitu," cetus Ninit.
"Udah deh, nggak usah mikirin aku... sekarang tuh kalian harus fokus sama rencana kalian. Kamu dengan persiapan kelahiran anakmu dan Ninit dengan pernikahannya."
"Atau perlu aku kenalkan kamu dengan temanku seperti Ninit, mungkin saja cocok." Ekspresi wajah Bayu menjadi serius.
"Nggak mau."
***
Kekasih Ninit adalah teman Bayu saat kuliah. Mereka bertemu di pesta pernikahan Bayu. Helene turut berbahagia dengan hubungan Ninit. Dia bahkan menangis terharu ketika Ninit dilamar. Helene bahkan selalu ada ketika Ninit butuh teman curhat tentang kerepotannya mempersiapkan pernikahan. Helene selalu ada untuk sahabat-sahabatnya. Dia suka berkumpul dengan mereka walaupun dia lebih banyak mendengarkan.
Adakalanya dia ingin sendiri, menyingkir dari mereka. Biasanya Helene akan duduk seorang diri di kafe sepulang kerja. Memandangi jalanan di balik kaca kafe sambil menyesap kopinya.
***
Beberapa kali dia melihat Helene duduk di situ, seorang diri. Dia masih terlihat cantik seperti dulu. Namun tubuhnya terlihat kurus. Akhir-akhir ini dia selalu melewati kafe itu. Berharap akan melihat Helene berada di sana, walaupun hanya bisa melihatnya dari jauh.