Helene berjalan gontai, sebenarnya dia tidak tahu harus kemana melangkah. Tidak mungkin dia pergi ke kos Dion. Helene tidak ingin menambah beban Dion. Laki-laki itu pasti sedang bersedih karena omongan mama yang sangat keterlaluan.
Rupanya selama ini mama sudah mengetahui tentang hubungannya dengan Dion. Diam-diam mama menyelidiki Dion. Itu yang mama katakan sebelum Helene berjalan keluar dari apartemen dan menutup pintu. Akhirnya mama berusaha membujuk Helene. Namun, Helene sudah terlanjur sakit hati dengan cara mama memperlakukan mereka berdua.
Apa kesalahannya dan Dion? Mama belum mengenal Dion. Mama belum tahu betapa baiknya Dion, betapa bagus suaranya dan begitu indah permainan gitarnya. Mama tidak tahu dia laki-laki yang bertanggung jawab, Dion bukan laki-laki pemalas, Dion sayang pada Helene.
Mama tidak tahu betapa lezat masakan Dion. Mama tidak tahu semua itu.
Helene memanggil taksi, dia hanya berpikir malam ini untuk sementara dia tidur di hotel dekat kantor. Hanya malam ini, besok dia akan berusaha mencari rumah kos yang dekat dengan kantornya. Mungkin mama mengira aku tidak akan mampu hidup susah. Eh, susah versinya mama.
***
Di dalam taksi Helene teringat pada Bayu. Dia memandang ponselnya dan berharap Bayu tidak sedang sibuk.
"Malam Yu, lagi sibuk nggak?"
"Nggak sih...kenapa mau ngajak nongkrong di angkringan ya?" Bayu tertawa.
"Mana enak ngajak kamu keluar, nanti pacar kamu marah."
"Ada apa telepon, Len? Kayaknya kamu sedang tidak baik-baik saja."
"Aku mau nanya dong? Tahu ada kos dekat kantor nggak?"
"Kenapa cari kos? Buat siapa?"
"Buat aku lah... nanti aja aku cerita kalau kita ketemu." Helene berusaha menjawab dengan nada ringan.
"Aku tahu, nanti aku telepon dulu ya...ada yang kosong nggak di situ. Anak finance yang kos. Kamu butuh buat kapan?"
"Buat besok, bisa nggak?" Helene berharap Bayu bisa menemukan tempat kos untuknya.
"Oke, aku tanya dulu. Tutup dulu teleponnya, aku mau telepon Livia, mau nanya tempat kos."
Helene menunggu dalam cemas. Dia memandangi ponselnya, menunggu telepon dari Bayu serasa berabad lamanya. Helene benci menunggu. Di dalam taksi yang membawanya pergi, Helene merenungi tindakannya malam ini. Air mata yang sedari tadi ditahannya, akhirnya tumpah.
Lima belas menit kemudian ponselnya berdering, nama Bayu tertera di layar ponselnya.
"Len, ada kamar yang kosong. Kamu mau ke sana malam ini atau besok? Kalau besok, Livia pergi ke luar kota sedangkan kalau malam ini, Livia akan menunggu kamu."
Apa cuma perasaan Helene saja, Bayu tahu sesuatu tentang dirinya.
"Aku minta alamatnya sekalian nomor telepon Livia. Malam ini aku akan ke sana."
***
Helene memejamkan mata, hari ini sungguh melelahkan. Tidak hanya fisik tapi juga batinnya. Dia sudah ingin berbaring saja.
"Helene, kamu baik-baik saja?" Dion langsung menanyakan keadaannya begitu Helene menerima telepon darinya.
"Hmm...ya, aku baik-baik saja. Tenang saja." Helene mencoba untuk tertawa, yang akhirnya malah terdengar dia seperti tercekik.
"Kamu di mana? Sepertinya kamu tidak sedang berada di apartemen?"
Mungkin Dion mendengar suara sedikit berisik, karena apartemennya selalu tenang, kalau pun ada suara biasanya suara musik yang mengalun lembut.
"Aku?" Helene berpikir lebih baik dia jujur saja pada Dion, "aku sedang di dalam taksi, malam ini aku mulai hidup jadi anak kos." Helene mengakhiri kalimatnya dengan tawa getir.
"Helene, di mana alamatnya? Aku akan menemui kamu di sana." Suara Dion terdengar panik.
"Nggak usah, sudah malam. Tenang saja, ada Livia yang menungguku di kos. Kita ketemu besok ya."
"Len..."
"Eh, beneran aku nggak apa-apa. Malah beban ku rasanya berkurang satu persatu. Aku tidak perlu menyembunyikan hubungan kita dari mama dan aku bisa keluar dari apartemen pemberian mama. Aku bisa bebas menjadi diriku sendiri. Jadi, malam ini tidurlah yang nyenyak karena aku baik-baik saja. Besok kalau kita ketemu, kamu harus tetap terlihat ganteng. Aku tidak mau melihat wajahmu yang kusut dan mata pandamu. Mengerti!"
Helene membuat suaranya terdengar riang. Dia berharap Dion tidak bisa membaca kesedihannya.
"Ya, aku mengerti. Helene...aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat mencintai kamu."
"Ya, aku tahu..." Kemudian Helene menutup telepon dari Dion.
Ah, andaikan mama tahu betapa Dion sangat mencintai anak gadisnya.
***
Dion hanya membolak-balik tubuhnya di atas tempat tidur. Dia tahu Helene berusaha terdengar kuat dan optimis. Dia tahu Helene tidak ingin menjadi beban pikiran Dion. Tetapi Helene adalah kekasihnya. Dion merasa saat ini dirinya yang menjadi beban buat Helene.
Apakah lebih baik dia mundur saja? Sebagai laki-laki yang sangat mencintai Helene, dia tidak tega kalau ada yang menyakiti Helene. Tapi kalau dia mundur, dia juga akan menyakiti Helene. Mungkin rasa sakit itu hanya sebentar. Suatu saat Helene akan mendapatkan pengganti dirinya.
Tapi aku...aku akan terlalu sakit bila kehilangan Helene.
Sungguh malam ini terasa panjang, Dion tak sabar menanti pagi untuk bertemu dengan Helene.
***
"Hai Livia! Maaf aku sudah mengganggu kamu malam-malam begini." Helene tersenyum lebar, sambil berdoa di dalam hati semoga Livia tidak memperhatikan matanya yang habis menangis.
"Nggak apa-apa. Aku cuma terkejut Bayu menghubungiku malam-malam...nggak biasanya. Apalagi bukan urusan pekerjaan. Bayu nggak pernah begitu."
Livia salah satu personil di divisi finance. Terlihat imut dengan rambutnya yang lurus dan berponi, bentuk tubuhnya juga mungil. Tapi perempuan bertubuh mungil ini adalah salah satu andalan divisi finance karena dia tipe pekerja keras.
"Kenapa mendadak cari kos Len?" Tatapan Livia berubah menyelidik.
"Oh, itu ..." Helene menjadi salah tingkah. Dia tidak terlalu akrab dengan Livia dan belum ingin berbagi soal kisah dia, mama dan Dion. Otaknya menjadi mampet, tidak tahu harus menjawab apa.
"Oke, nggak apa-apa...ayo, aku antar ketemu penjaga kos. Tadi aku sudah bilang sih. Biar kamu dikasih kunci kamar dan kunci pagar kos."
Livia menggamit tangan Helene. Di dalam hati Helene mengucap syukur karena Livia tidak mendesaknya untuk bercerita. Helene menganggap Livia sangat pengertian dan tidak termasuk orang yang punya rasa ingin tahu yang besar.
***
Helene berbaring memandangi langit-langit kamarnya. Dia mendengar suara-suara di luar, tidak terlalu ramai. Helene menyukainya. Biasanya dia merasa kesepian di apartemennya.
Setelah Livia menjelaskan segala sesuatunya termasuk apa saja yang ada di kos. Livia keluar dari kamar Helene. Memberikan ruang privasi bagi Helene. Livia merasakan kalau malam ini Helene sedang tidak baik-baik saja.
"Aku ke kamar ya Len, besok pagi-pagi aku juga harus keluar kota. Kamu juga butuh untuk beristirahat. Tiga hari lagi kita ketemu," katanya sebelum pergi meninggalkan Helene.
Helene mencoba memejamkan mata. Rasa lelah yang dirasakannya membuatnya bisa tertidur dengan mudah.