Helene tidak tahu harus berkata apa lagi melihat sikap keras kepala Dion. Laki-laki pendiam ini sangat teguh dengan pendiriannya. Helene sangat tahu hal itu. Mungkin jalan terbaik adalah dengan memberitahukan Dion tentang ketakutannya.
***
Begitu melihat mobil mama berada di apartemennya, rasanya seluruh jiwanya runtuh. Kebahagiaan yang tadi dia rasakan langsung menguap berganti dengan kekhawatiran. Dia tidak ingin mama bertemu Dion. Laki-laki ini belum layak untuk dipamerkan pada mama.
Dion bukanlah calon suami potensial untuk saat ini. Mereka cuma punya cinta. Bah! Mama akan cepat mematahkan hal itu. "Mau makan cinta?"
Mamanya adalah seorang yang sangat realistis, tidak akan pernah terpengaruh dengan segala cerita romansa. Helene menjadi bingung untuk bertindak.
Dion memegang erat tangannya, menatapnya dengan pandangan teduh. Rasanya Helene ingin merebahkan kepalanya di dada Dion dan menangis. Firasatnya tak pernah salah, akan ada sesuatu yang terjadi.
"Dion, di dalam ada mama dan aku tidak ingin kamu bertemu mama. Aku takut."
"Cepat atau lambat aku harus bertemu mama kamu. Mungkin memang ini saatnya. Jangan takut, ada aku," katanya mencoba meyakinkan Helene.
"Kamu tidak mengenal mama. Aku tidak ingin kamu terluka."
"Ah, mungkin karena mama kamu belum mengenal aku. Ada pepatah yang mengatakan tak kenal maka tak sayang," katanya lagi mencoba menghibur Helene.
"Dion, aku tidak seyakin kamu." Helene menundukkan kepalanya semakin dalam.
"Ayo, ajak aku menemui mama kamu! Semua akan baik-baik saja Len. Percayalah padaku."
Dion tersenyum lebar, tatapan matanya jenaka, Dion mencoba melucu. Namun, hal itu tetap tidak bisa menyingkirkan rasa khawatir yang dirasakan Helene. Dia menarik napas panjang lalu mengembuskan. Berkali-kali itu dia lakukan agar perasaannya sedikit lega.
"Ayo, kita hadapi mama bersama-sama!" kata Helene mencoba untuk terlihat berani. Kenapa setiap berhadapan dengan mama, nyalinya berubah menjadi ciut.
***
Mama sedang duduk di sofa dan memandang ke arah pintu masuk ketika Helene dan Dion datang. Helene menyapa mama dan mencoba tersenyum. Mama menatap mereka berdua dengan tatapan menilai dan itu terasa sangat menggetarkan.
Sebagai seorang anak Helene takut dengan cara mama menatap. Bagaimana dengan bawahan mama di kantor. Helene yakin kalau bawahannya lebih baik amblas ke dasar bumi daripada harus ditatap seperti itu.
"Mama, ini Dionisius." Helene mengenalkan Dion pada mama.
"Pacarmu?" Mama bertanya dengan suara tajam.
"Iya." Helene menunduk, tak berani melihat mama.
"Sejak kapan? Sudah lama?"
"Sekitar enam bulan."
"Oh, belum terlalu lama untuk kalian mengakhiri hubungan. Belum banyak kenangan yang kalian berdua jalani."
Kata-kata mama yang to the point sangat mengejutkan buat mereka berdua. Helene menggenggam tangan Dion kuat.
"Tante..."
Dion mencoba untuk bicara.
Namun mama cepat memotong perkataan Dion dengan mengangkat telapak tangannya, meminta Dion untuk diam, "Saya sudah mengenal kamu. Saya tahu keluarga kamu. Saya kenal papa kamu yang pengusaha. Kadang kala kami juga bertemu di beberapa pertemuan. Tapi bukan berarti saya setuju kamu pacaran dengan anak saya. Usia kalian terpaut jauh, kamu juga masih kuliah. Bagi saya kamu belum pantas untuk Helene. Saya harap kamu mengerti."
"Tapi kami saling mencintai, saya akan berusaha untuk segera menyelesaikan kuliah saya. Tahun depan saya akan lulus."
Dion berusaha untuk meyakinkan mama agar menerima hubungan mereka. Dion ingin menunjukkan kalau dia bersungguh-sungguh.
"Cinta?" Mama memandang dengan tatapan sinis.
"tahu apa kalian soal cinta? Perasaan menggebu-gebu yang kalian rasakan sekarang suatu saat akan lenyap."
"Apa yang membuat mama tidak suka dengan Dion?" Helene menghentikan pidato mama, dia mulai muak.
"Bukankah mama sudah mengatakannya. Apa lagi?"
"Alasan mama sangat tidak masuk akal, kedewasaan seseorang tidak hanya diukur dari usia. Dia membuatku nyaman dan bahagia, Ma. Bukankah itu yang dibutuhkan dari seorang pasangan?"
Kali ini Helene ngeyel. Dia seolah menemukan keberanian saat berada di sisi Dion.
"Sampai kapan pun, mama tidak akan menerima dia menjadi kekasih kamu. Kalian berdua sangat tidak cocok. Usianya masih terlalu muda untuk kamu. Mengerti!"
"Tapi aku belum ingin menikah. Aku tidak mempersoalkan hal itu!"
"Mama yang menginginkan kamu untuk segera menikah. Makanya mama berusaha untuk segera menemukan pasangan yang tepat untukmu."
"Bukan untukku, tapi untuk mama. Hanya Dion yang tepat untukku!"
"Mama tetap dengan pendirian mama, kalian harus segera mengakhiri hubungan kalian."
"Tante, apa yang Tante inginkan agar saya jadi seorang yang tepat untuk Helene? Kalau dari usia itu tidak mungkin. Tapi mungkin Tante menginginkan hal lain? Saya akan berusaha untuk melakukannya."
"Tidak ada! Ketidaksukaan saya dengan kamu adalah harga mati dan tidak bisa ditawar. Paham!"
"Kalau kami tetap bertahan? Kalau aku tetap menolak dan tetap bersama Dion?" Helene menegakkan tubuhnya. Kepalanya tidak lagi tertunduk. Dia semakin berani.
"Kamu keluar dari rumah ini, besok mama tidak ingin melihat kamu di sini! Dion, kamu pulang sekarang juga!"
Mama melirik orang kepercayaan mama yang berada di situ. Helene tahu mereka tidak akan segan-segan menyeret Dion keluar.
"Baik, besok aku akan pergi dari sini!"
Helene bersikap menantang. Tangannya terkepal, pandangannya lurus melihat mama.
Kemudian dia melihat Dion, tatapan matanya berubah menjadi teduh, "Pulanglah! Aku baik-baik saja." Helene berharap Dion mengerti dan tidak keras kepala.
***
Ketika Helene memintanya untuk pulang, sebenarnya hatinya terasa berat. Akhirnya Dion mengangguk, mengusap lengan Helene. Memberikan kekuatan untuk kekasihnya. Walaupun di dalam hatinya berkecamuk melihat Helene diperlakukan seperti itu.
Mendengar Helene harus diusir hanya karena dirinya, membuat Dion terluka. Malam ini akan terasa panjang dan melelahkan. Dion tidak yakin mereka berdua bisa melewati malam ini dengan tenang. Namun, dia harus terlihat tenang demi Helene. Apa lagi Helene sudah berkorban seperti itu. Ingin rasanya Dion memeluk Helene. Dion tahu, Helene sedang berusaha mengatasi kemarahannya dan berusaha menahan tangisnya. Dion mengenal Helene.
***
Begitu Dion pergi, Helene masuk ke dalam kamar dan membiarkan mama berdiri di ruang tamu. Helene segera merapikan baju-bajunya dan memasukkan ke dalam koper. Dia hanya membawa baju yang dibeli dengan uangnya.
Tidak perlu menunggu besok untuk keluar dari apartemen pemberian mama. Bagi Helene, sudah cukup mama mendikte hidupnya. Dia akan pergi di depan mata mama. Helene ingin mama melihat dirinya juga bisa bisa melawan kehendak mama.
Helene keluar dari kamar dengan menggeret kopernya, melihat mama berdiri dengan pongah Helene semakin muak.
"Oh, jadi demi laki-laki itu kamu melawan mama." Suara mama terdengar datar.
"Bukan demi laki-laki itu tapi demi diriku sendiri, aku tidak suka mama selalu mengatur hidupku."
"Baiklah kalau itu mau mu. Tapi bukan berarti kamu bisa bebas meneruskan hubunganmu dengan dia."