Dalam perjalanan Helene menjadi tidak sabar. Dia merasa taksi berjalan sangat lambat. Tadi Helene menelepon Dion, laki-laki itu bilang 10 menit lagi dia akan masuk kelas.
"Oh, berapa jam kamu kuliah?"
Helene tidak menduga kalau Sabtu ini Dion ada perkuliahan. Biasanya dia libur. Padahal Helene ingin ke kos Dion dan memberikan Dion kejutan.
"Hanya dua jam, kenapa? Kamu pulang?"
"Eng-gak...aku cuma bertanya." Kok Dion seperti bisa membaca dirinya.
"Setelah itu kamu ngapain?"
Helene hanya berharap Dion tidak curiga dengan pertanyaannya.
"Aku pulang ke kos, kalau Davina tidak jadi mengajakku pergi ke toko buku."
"Oh," Helene tidak mampu bicara banyak, dia berharap Davina membatalkan rencana ke toko buku.
"Kamu kenapa?" Dari cara Dion bertanya sepertinya dia mulai curiga, "Kamu pulang hari ini?"
"Oke deh, selamat kuliah... selamat bersenang-senang dan selamat... apa lagi ya?" Helene menggaruk kepalanya.
"Len, aku akan menunggu kamu di kos. Datanglah! Aku akan membatalkan janjiku dengan Davina."
Duh, kenapa Dion bisa tahu? Bayu pernah bilang dia seperti buku yang terbuka, sangat mudah dibaca. Orang yang mengenal dekat dirinya, akan langsung mengerti maksudnya.
Saat Bayu berkata seperti itu, Helene hanya mencemooh Bayu. Mana mungkin? Tapi kejadian saat ini seolah membuktikan perkataan Bayu. Ternyata semudah itu mengenali dirinya, lalu mengapa mama tidak mengenal anak perempuannya ini?
***
Melihat Dion tersenyum sangat lebar, Davina seperti tersihir. Dia berdiri mematung menikmati senyum laki-laki itu. Selama Davina bergaul dengan Dion, tak sekalipun Davina melihat Dion tersenyum begitu. Biasanya Dion hanya tersenyum sekadarnya.
"Aih, senyummu manis sekali!" Davina berjalan mendekat, menjawil lengan Dion.
"Hari ini aku nggak bisa menemani kamu ke toko buku. Helene sudah pulang."
"Oke, nggak apa-apa."
Davina merasa kecewa Dion membatalkan janji hanya karena perempuan itu.
Iya, Davina tahu kalau Helene itu pacar Dion tapi Davina adalah temannya yang sudah lebih dulu mengenal Dion. Davina juga sudah membuat janji lebih dulu dengan Dion. Davina merasa sebal.
"Kami sudah nggak ketemu satu bulan lebih, dia baru pulang dari luar kota." Dion tahu kalau Davina kecewa.
"Ya ya, aku mengerti..." katanya sedikit ketus, Davina melambaikan tangan seraya berjalan meninggalkan Dion.
***
Dion menundukkan kepala, dia bersalah telah membuat Davina kecewa. Namun, dia terlalu merindukan Helene. Satu bulan dia merangkai wajah Helene dalam setiap desahan kata rindu. Semua telepon dan video call tidak bisa menggantikan rasa ketika dia menyentuh perempuan itu dan merasakan Helene berada di dekatnya.
Dia tahu Helene-nya akan pulang, firasatnya mengatakan itu. Ketika mendengar Helene bicara dengan nada bingung dan serba salah. Menanyakan rencananya hari ini, tahu lah Dion Helene akan datang.
Helene jarang sekali menanyakan semua jadwal Dion. Dulu Dion berpikir perempuan ini sangat tidak perhatian, tidak mencintainya dengan sungguh-sungguh, dan seenaknya.
"Aku tidak mau karena hubungan kita kamu jadi tidak punya privasi. Aku tidak mau seperti penguntit yang harus tahu kemana pun kamu pergi. Aku memberikan kamu kebebasan dan percaya sepenuhnya dengan kamu. Aku mencintai kamu dan tak ingin mengekang kamu hingga membuatmu tersiksa." Itu yang dikatakan Helene ketika akhirnya Dion menyampaikan apa yang dia pikirkan.
***
Dion berdiri di depan pintu, menunggu Helene dengan gelisah. Sedari tadi dia berjalan mondar-mandir dan berkali-kali melongok ke halaman. Menantikan pintu pagar itu terbuka dan melihat Helene datang.
Jarak dari bandara ke rumahnya sangat jauh, belum lagi kalau jalanan macet. Mungkin di dalam taksi Helene berkali-kali mengutuk di dalam hati dengan jalanan Jakarta yang sangat tidak ramah.
Dion tersenyum mengingat Helene. Tadi begitu kuliah berakhir, Dion berjalan cepat pulang ke kos. Dia tidak ingin Helene menunggu dirinya.
Setengah jam berlalu akhirnya Dion melihat pintu pagar terbuka dan perempuan itu tersenyum lebar, wajahnya terlihat lelah. Helene segera berlari lalu memeluk Dion erat.
"Rindu padaku?" Dion bertanya dengan suara rendah. Helene mengangguk.
"Aku hampir gila menunggumu datang. Kenapa harus pakai rahasia sih untuk pulang? Dasar gadis nakal!" Dion melonggarkan pelukan Helene, mengacak-acak poninya.
"Kan mau kasih kejutan." Helene menjawab manja, dia kembali mempererat pelukannya. "Aku masih rindu, tau!" Helene menempelkan wajahnya di dada Dion, tak peduli Dion menertawakannya.
***
Siang ini, Dion puas mendengar celoteh Helene yang tidak ada habisnya. Bahkan selama Dion memasak makan siang, Helene selalu berada di dekatnya bercerita tak henti.
Kadang dia berdiri di samping Dion, kadang kala dia duduk sambil menggoyang-goyangkan kakinya dan mulutnya bercerita dengan lancar. Dion sesekali menimpali. Dia suka mendengar Helene bicara, apalagi kalau dia mulai melucu dan mengeluarkan kalimat-kalimat aneh khas Helene. Bagi Dion, Helene adalah pelengkap dirinya yang kaku dan pendiam.
***
"Udah, nggak usah dandan... kan mau pulang?" Dion berkomentar usil saat melihat Helene memakai bedak dan pemerah pipi.
Helene meliriknya sekilas, "Nggak suka ya?"
"Siapa bilang aku nggak suka," Dion memeluk Helene dari belakang, mencium puncak kepalanya.
"Kok protes aku dandan?" Helene melihat Dion dari cermin yang berada di tangannya.
"Nggak protes kok, mulutku cuma pengen usil sama kamu."
"Ah, kalau mulutmu cuma pengen usil bukan begitu caranya." Helene tersenyum simpul.
"Lalu, bagaimana caranya?" Dion mengerutkan keningnya.
"Aku harus mengajarimu ya?" Helene tampak berpikir, "tak usahlah!" katanya lagi. Lalu Helene memoles lip balm di bibirnya.
"Ra-sa straw-berry." Dion membaca tulisan pada kotak kemasan lip balm milik Helene.
"Sebagai pacar kadang kala kamu juga harus tahu kesukaan ku." Helene memutar tubuhnya, menghadapkannya pada Dion.
"Oh..." Dion tiba-tiba mencium bibir Helene, melepaskan ciumannya lalu menciumnya sekali lagi. Mengerutkan keningnya, "Hmm, ya...rasa strawberry," katanya kemudian. Helene tertawa terbahak-bahak.
"Ternyata kamu tahu bagaimana caranya menggunakan mulutmu kalau ingin usil."
"Aku kekasih yang pintar, Len. Aku terluka kalau kamu tidak menyadarinya." Dion memegang dadanya, ekspresinya wajahnya bersedih.
"Nggak usah main drama. Ayo, antar aku pulang!" Helene mencium pipi Dion sekilas.
"Baik, Tuan Puteri!" Dion membungkukkan tubuhnya.
***
Sesampainya di apartemen Helene, perempuan itu memegang tangan Dion erat. Wajahnya berubah menjadi takut. Tubuhnya menegang. Dion melihat perubahan Helene.
"Kamu kenapa? Ada yang tertinggal di kos? Kamu mendadak sakit?" Dion mengeluarkan rentetan pertanyaan begitu melihat perubahan Helene.
"Dion, aku harap kamu mengantar sampai di sini saja. Tidak perlu masuk ke dalam apartemen."
"Aku akan membantu kamu membawa kopermu ke atas."
"Nggak perlu! Aku bisa membawanya sendiri. Pulanglah!" Helene berkeras memohon Dion untuk pulang.
"Aku tidak akan pulang kalau kamu tidak mengatakannya."
Dion bersikap keras kepala. Dia tidak mau hingga nanti pulang ke kos, isi kepalanya dihantui beribu pertanyaan. Dia tidak akan tenang.
Helene nyaris menangis dan wajahnya berubah menyedihkan. "Pulanglah! Aku mohon."