Konsentrasi Thalita buyar begitu saja ketika mengajar anak-anak. Dia menyesali kebodohannya menanyakan hal seperti itu kepada Dion dan merasa sangat menyesal karena tidak bisa menahan diri. Thalita merasa ini hal paling memalukan yang pernah dilakukannya. Baru kali ini Thalita sangat mencintai seseorang, dan perasaan itu harus dihempaskan begitu saja. Tragis.
Ingin rasanya Thalita menangis, dan mencoba menahan air matanya tumpah.
Matanya melihat sudut tempat Dion memainkan gitarnya, kali ini Thalita tak bisa menahannya lagi. Dia pergi mencari tempat sepi dan menangis tergugu di sana. Setelah selesai mengajar, dia akan mengajukan pengunduran diri pada Ibu panti. Thalita bahkan sudah mengarang beribu alasan. Dia tidak akan bisa menahan diri ketika bertemu Dion.
Di kampus, Thalita masih bisa menghindar. Fakultas mereka berbeda, kampus juga begitu luas. Namun, panti asuhan? Teramat sulit untuk tidak bertemu laki-laki itu sewaktu-waktu. Biarlah waktu yang akan menyembuhkan lukanya. Suatu saat dia akan kembali, dan berharap Dion akan melihat dirinya. Akan ada suatu saat yang indah untuknya. Dia hanya harus bersabar.
***
"Len, kalau lagi melamun jorok jangan di sini!" Ninit menepuk pundak Helene.
"Semprul!" Helene memaki dengan suara pelan. Dia sebal kalau dikejutkan seperti itu. "Kamu itu yang mikirnya jorok terus! Ketularan si Togap." Helene sengaja menyebutkan nama Togap. Kadang-kadang si Ninit ini perlu dibalas.
"Eits, jangan gitu dong! Apa urusannya sama Togap? Jangan bawa-bawa nama itu dalam urusan kita. Sangat nggak elegan banget sih kamu." Ninit meradang. Helene tersenyum lebar.
Tadi dia sengaja menyepi di rooftop, dia sedang memikirkan Dion. Helene merasakan ada sesuatu dengan Dion. Selama ini nalurinya tidak pernah salah. Namun, dia tidak mungkin menemui Dion lagi malam ini hanya untuk menanyakan hal itu. Lagi pula kafe tempat Dion bekerja, bukanlah tempat yang menyenangkan untuk membicarakan hal seperti ini. Helene juga tidak mau mengganggu Dion. Biarlah saat ini, semua hanya jadi pertanyaan yang entah kapan akan terjawab.
Helene tidak menyangka Ninit tahu keberadaannya di sini. Padahal dia sangat jarang ke rooftop. Kalau sedang bosan dengan kubikelnya, Helene lebih suka menyepi sebentar di kafe lantai bawah hanya untuk sekadar minum kopi.
"Aku nggak menyangka bertemu kamu di sini. Tadi aku bosan setengah mati berada di kubikel, bosan dengan laptopku. Mataku lelah melihat laporan dari pagi. Aku butuh menyegarkan mata dan pikiranku." Ninit seperti bisa membaca pikiran Helene. "sayangnya aku cuma membawa secangkir kopi," kata Ninit lagi. Helene melihat cangkir kertas yang dipegang Ninit.
"Nggak apa-apa...aku juga mau balik kok, laporanku belum beres. Kayaknya bakal lembur malam ini."
"Ah, kamu sih enggak usah ditanya! Paling rajin lembur. Nanti aku temani lembur, aku lagi males pulang cepat."
"Kenapa?" Helene tahu, pasti ada sesuatu dengan Ninit. Terbiasa bergaul dengan Ninit, Helene bisa membaca sesuatu yang berbeda.
"Aku lelah ditanya soal pernikahan. Kebetulan Om dan Tanteku menginap di rumah. Pertanyaan mereka selalu sama setiap berkunjung. Akhirnya orang tuaku jadi ikut panik. Padahal biasanya mereka tidak terlalu meributkan soal ini. Kamu tahu 'kan aku belum ingin menikah."
Ninit menekuk wajahnya. Helene tahu, Ninit masih punya banyak keinginan yang belum bisa dia capai. Makanya dia belum ingin menikah, dan yang paling penting adalah Ninit belum punya pacar. Siapa yang mau diajak untuk menikah? Bukan karena Ninit terlalu pemilih. Menurut Ninit, sampai sekarang dia belum menemukan pria potensial yang bisa dijadikan calon suami.
"Masakan hanya karena aku dikejar-kejar usia dan desakan dari keluarga. Aku main comot aja." Helene setuju dengan pendapat Ninit.
"Kayaknya kamu harus sablon kaos deh untuk menghindari pertanyaan kayak gitu."
"Kaos apaan? Idemu itu kadang-kadang patut dicurigai. Lagian apa hubungannya sama disuruh kawin?"
"Nih ya ... dengerin!" Helene memasang tampang serius, "di kaosmu itu ditulis begini...tarif bertanya kapan punya pacar 5 juta, kapan menikah 10 juta, kapan naik jabatan 15 juta..." Helene belum menyelesaikan kalimatnya, Ninit sudah tertawa geli.
"Dasar gemblung! Kapan kita bikin kaos kayak gitu?" Ninit bertanya dengan susah payah karena dia sulit menghentikan tawanya.
"Besok kita bikin... Om sama Tantemu kapan pulangnya?" tanya Helene sambil tersenyum lebar. Ninit tidak menjawab pertanyaan Helene. Dia sibuk berusaha menghentikan tawanya.
***
Sabtu pagi Helene sudah bersiap ke rumah Dion. Dia memakai kaos longgar oversize, celana ketat selutut berbahan spandek untuk olah raga, sepatu olah raga dan menguncir rambutnya. Helene hanya memakai bedak tipis dan lipstik. Disempatkannya mampir membeli sarapan bubur ayam di gerobak pinggir jalan langganannya.
Helene yakin, Dion sudah tidak sabar untuk bertemu dengan dirinya. Tadi malam laki-laki itu sudah menanyakan soal kedatangan Helene. Tadi pagi Dion juga menelepon dirinya, memastikan kedatangan Helene.
Benar saja, Dion sudah menunggu Helene di teras. Begitu melihat Helene, Dion tersenyum lebar. Laki-laki itu terlihat sangat bahagia, matanya berbinar-binar. Dion menarik Helene ke dalam, memeluk perempuan itu. Dia rindu...sangat rindu.
"Dion," panggil Helene pelan, dia masih berada dalam dekapan Dion.
"Ya?"
"Kamu masih lama memeluk ku seperti ini? Karena sepertinya aku agak susah bernapas." Suara Helene nyaris tak terdengar. Cepat-cepat Dion melepaskan pelukannya. "Maafkan aku...maafkan." Raut wajahnya terlihat sangat bersalah.
Dion memandangi Helene, "kamu nggak apa-apa?" tanyanya khawatir. "Aku terlalu rindu."
"Aku tahu." Helene tersenyum, "aku juga rindu."
***
Berkali-kali Helene melancarkan pukulan, tapi Dion seolah tidak tergoyahkan. Pertahanannya sangat kuat, setelah itu dia akan menyerang balik Helene. Tidak ada kata mengalah walaupun status Helene adalah pacar. Helene berkali-kali kalah. Dia cuma berharap saat pertandingan yang sesungguhnya nanti dia tidak kalah. Peluh mulai bercucuran. Mereka sudah hampir dua jam berlatih. Helene mulai kelelahan.
Helene menyeka wajahnya dengan handuk, "Susah banget ya, ngalah sama pacar sendiri?" katanya bersungut-sungut.
"Nggak juga sih! Memangnya kamu mau aku mengalah? Namanya bukan berlatih kalau begitu."
Dion membelai puncak kepala Helene, "Capek ya?"
"Iya."
"Ya sudah, kamu istirahat dan aku akan memasak makan siang."
"Aku bantu deh." Helene memeluk lengan Dion. Bergelayut manja.
"Kamu istirahat aja, bantu aku menghabiskan masakanku."
"Kalau seperti ini, aku bakal rajin main ke rumahmu."
"Setiap hari juga boleh." Dion tersenyum simpul. Dia suka kalau Helene bermanja-manja seperti ini dengannya.
***
"Dion sudah menolakmu?" Davina memandangi Thalita yang menekuri lantai kamar kos Davina. Pagi ini dia datang ke kos Davina untuk bicara, dia butuh teman untuk mengeluarkan semua unek-uneknya.
Beberapa hari setelah penolakan Dion, Thalita merasa hidupnya tak sama dan semua tidak baik-baik saja. Dia kira semua akan berjalan dengan mudah. Ternyata tidak seperti yang dia bayangkan. Beberapa kali dia harus bertemu Dion di kampus walaupun hanya sekadar sambil lalu. Hanya melihat punggungnya saja sudah membuat perasaan Thalita kacau. Thalita benci dengan dirinya. Dia ingin kembali ke kehidupannya yang dulu.
Andaikan dia tidak mengenal Dion dan tidak punya perasaan apa pun untuk laki-laki itu. Andaikan Dion tidak menolaknya. Andaikan perempuan itu tidak hadir dalam kehidupan Dion. Andaikan...
Semua andaikan itu seperti menghantui dirinya. Dia benci dengan pikiran-pikirannya.