Ninit dan Helene berlari menghindari hujan yang turun disiang yang panas. Mereka berdua masuk ke dalam sebuah mal. Helene mengibaskan tangannya yang basah terkena guyuran hujan. Ninit sibuk menyeka wajahnya dengan tissue. Mulutnya mengomel, dia sebal dengan hujan siang ini.
Kalau bukan karena perintah bos, mereka lebih suka duduk di kantor menyelesaikan laporan. Bos meminta mereka berdua untuk datang melihat gerai yang baru di mal. Ninit sudah bersungut-sungut sejak di kantor. Dia sebal karena laporannya belum selesai sedangkan besok sudah harus dikirim ke divisi finance.
"Makanya kalau mengerjakan sesuatu itu jangan nunggu mepet waktunya." Helene sok menasehati Ninit dan dibalas dengan tatapan tajam khas Ninit. Helene tertawa terbahak melihat tatapan Ninit. Dia tidak peduli.
Helene merangkul bahu Ninit dengan tangannya yang bebas, "Anggap saja kita sekalian window shopping, trus kita mampir minum segelas cappucino panas, kan enak tuh!"
"Tapi setelah itu aku harus lembur. Mau menemani?" Ninit melihat Helene, tatapannya penuh harap. Hampir saja Helene mengangguk, dia tidak tega pada Ninit. Namun, Helene baru ingat kalau hari ini dia punya janji untuk bertemu Dion di kafe.
"Tabahkan hatimu, kuatkan dirimu... semangat!" Helene menepuk punggung Ninit. "Maaf, aku tidak sebaik itu."
Helene segera berjalan cepat. Dia menghindar dari cubitan Ninit. Begitu Ninit bisa menjajari langkah Helene. Ninit segera mengeluarkan sumpah serapahnya. "Dasar nggak setia kawan!"
"Sahabat macam apa itu!"
Helene cuma tersenyum lebar, "Nanti aku traktir minum kopi, deh."
***
"Kalau kamu nggak bisa, nggak apa-apa. Aku bisa pergi sendiri, kok," kata Thalita. Dia merasa tidak enak hati karena Dion tampak berpikir panjang untuk pergi bersamanya.
"Aku temani kamu." Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Dion, lalu laki-laki itu berjalan. Dia menoleh sebentar kepada Thalita, berdiri menunggu Thalita berada di sampingnya.
"Eh, anak-anak suka kalau kamu datang. Mereka bilang kalau sama kamu, pasti diajak menyanyi." Thalita bicara memecah keheningan. Lebih baik menceritakan tentang anak-anak panti kepada Dion. Dari tadi laki-laki yang berjalan di sampingnya ini hanya diam saja, padahal jantung Thalita sudah berdegup kencang. Thalita takut Dion bisa mendengarnya karena sangat hening.
"Aku senang kalau mereka senang."
Ya Tuhan, cuma sebaris kalimat pendek lagi! Thalita nyaris menyerah mengajak Dion bicara.
Davina sudah memberitahu kalau Dion itu irit bicara, jadi Thalita harus sabar. Tapi waktu pertama kali berkenalan dengan Dion, laki-laki ini mau bicara sedikit panjang dengannya. Sama anak panti Dion juga suka bercerita.
Hari ini ada apa dengan Dion? Apakah ada yang salah denganku?
"Banyak buku yang akan kamu beli?" tanya Dion.
"Eh, aku belum tahu. Ada beberapa buku kuliah selebihnya mungkin novel. Aku dengar hari ini ada diskon."
"Oh, nanti aku juga akan melihat, semoga ada buku yang sesuai."
Thalita tersenyum, dia menghitung dalam hati berapa kata kali ini yang diucapkan Dion. Lumayan sekitar sepuluh kata.
***
Ninit sedang melihat area belakang gerai, sedangkan Helene memilih bicara dengan karyawan yang ada di gerai. Mereka biasa menyebut karyawan gerai dengan 'anak gerai'. Usia anak di gerai jauh lebih muda dari Ninit dan Helene, makanya mereka menyebut seperti itu.
Helene yang lebih ramah dan sabar memang lebih pas untuk diajak ngobrol. Anak-anak gerai itu lebih mudah akrab dengan Helene.
Helene sangat mudah mengorek informasi tentang tiap personil gerai atau tentang kesulitan mereka, yang kadang kala enggan mereka ceritakan kepada staf HR lain yang berkunjung.
"Jadi, sudah mengerti semua. Nggak perlu ikut pelatihan lagi, kan?" Ninit mendengar suara Helene bertanya.
"Sudah bisa, Bu!" Mereka menyahut seperti koor.
"Kalau begitu... keren!" Helene bertepuk tangan.
"Apron sama hairnet dipakai yang rapi. Jangan lupa kuku dipotong pendek, ya." Helene berkata sambil memperbaiki posisi apron seorang karyawan.
"Duh, nggak perlu pakai jambang deh, Bro! Tetep cakep kok tanpa jambang." Helene menepuk pundak seorang anak yang berdiri di hadapannya.
"Area belakang harus selalu rapi dan bersih ya!" perintah Ninit. "tadi masih lihat bekas-bekas topping yang belum dibersihkan. Memang sih pelanggan nggak bakalan sampai ke area belakang. Tapi kamu kerja nggak nyaman kalau kotor."
Anak-anak itu hanya mengangguk.
"Ya sudah, begini dulu! Bulan depan saya ke sini lagi nggak boleh kayak gini!" Anak-anak itu menunduk dalam-dalam demi melihat tatapan mata Ninit.
"Bye!" Helene melambai. Senyumnya terlihat ceria. Helene yakin setelah mereka menghilang dari pandangan, anak-anak itu pasti akan menghela napas lega dan bersorak gembira.
***
"Ih, Ibu Ninit galak bener!" kata Helene sambil melirik Ninit.
"Masak, sih! Padahal intonasiku biasa aja, lho." Ninit tak percaya kalau dia dicap galak.
"Itu, kan menurut mu! Intonasimu tadi mirip kalau lagi ngomong sama si Togap. Tau nggak!"
"Dih, ngapain bawa-bawa si Togap!" Ninit berubah menjadi judes.
Helene terkikik geli, "Kita ngopi dulu!" Helene menarik tangan Ninit ke suatu gerai kopi.
"Di gerai kita ada jual kopi juga, Len. Kenapa kita nggak minum di situ aja, sih?"
"Mana enak minum di situ, dilihat beberapa pasang mata. Mana bisa kita bebas cekikikan. Anak-anak itu juga males lihat kita minum kopi di gerai."
"Kayak gini kita berasa pengkhianat."
"Pengkhianat apaan? Nggak usah lebay, deh!"
"Aku pesan salted caramel machiato, ya." Ninit berbisik di telinga Helene.
"Di gerai kita nggak ada salted caramel machiato." Helene menjawab ketus, "Makanya nggak usah sok ngatain aku pengkhianat dan ngajak aku ngopi di gerai kita."
"Iya iya, kan aku cuma godain kamu. Baper banget, sih!" Ninit menjawil pinggang Helene.
Helene tertawa tertahan, betapa sulitnya dia harus berakting marah pada Ninit.
***
Hujan turun begitu deras, Thalita resah karena dia lupa membawa payung. Padahal dari halte ke mal itu masih sekitar dua ratus meter. Dia pasti kebasahan. Thalita melirik Dion yang tampak tenang-tenang saja, tidak terpengaruh dengan hujan.
Dari tadi pembicaraan mereka sangat minimalis. Bisa dihitung dengan jari berapa kali mereka berinteraksi. Tak mengapa, yang penting aku bisa berada di dekatnya. Thalita mencuri-curi pandang ke arah Dion yang terlihat mengagumkan dengan rambut gondrong dan garis wajahnya yang tampan. Belum lagi tubuhnya yang tinggi begitu menarik perhatian.
Begitu sampai di halte, hujan masih deras mengguyur. Thalita melihat Dion, seolah meminta pendapat, "Kita harus bagaimana?"
Dion membuka jaket, lalu mengembangkan jaketnya dan menaruhnya di atas kepala mereka. "Kita berdua harus berlari menembus hujan, tidak mungkin menunggu di halte. Sepertinya hujan akan lama baru berhenti. Kamu bisa berlari cepat?" Dion bertanya, Thalita mengangguk, senyumnya merekah.
Baru kali ini Dion bicara sepanjang ini. Thalita membayangkan tubuh mereka yang berdekatan saat berlari menembus hujan. Kalau seperti ini, aku rela hujan turun lebih sering saat berada di dekatmu.