Firasat. Ya, berawal dari firasatnya bahwa ada seseorang yang mengikutinya.
Sebelum masuk ke dalam kafe, Helene diam sejenak di teras kafe. Dia melihat ke belakang dan menemukan Dion berada di sana, di bawah keremangan lampu taman. Dion sedang menunduk, kakinya menyepak kerikil yang berada di situ.
Helene cepat membuang pandangannya ke depan. Dia tidak ingin Dion tahu, bahwa Helene tahu Dion ada di situ. Melihat Dion mengawasinya dari jauh membuat hati Helene merasa hangat.
Helene tidak takut untuk masuk ke dalam kafe, Dion membuatnya merasa aman.
Hatinya tidak pernah salah. Dia yakin saat menerima Dion menjadi kekasih. Tidak perlu hitungan bulan atau tahun untuk Helene, firasatnya tidak pernah keliru.
"Kenapa sih kamu mengikuti aku?" Helene memeluk lengan Dion.
"Hmm, kenapa ya?"
"Ayo, jawab!" Helene tertawa, karena Dion hanya tersenyum simpul.
"Aku harus jawab, ya?" Dion sedang mengulur waktu.
"Iyaaa... harus!" Helene menggelayut manja, dengan Dion dia bisa seperti ini.
"Tapi ini bisa melukai harga diriku sebagai laki-laki." Dion melihat Helene sekilas, lalu menatap lurus ke depan.
"Ah, pelit! Memangnya terluka seperti apa, sih? Jawab dulu baru tahu kamu akan terluka atau tidak!" Helene tetap pada pendiriannya mendesak Dion untuk menjawab pertanyaan.
"Aku cemburu." Suara Dion lirih.
"Ah, nggak dengar! Apa sih?" Helene tersenyum lebar, dia berpura-pura. Dion menarik Helene masuk ke dalam pelukannya, lengannya menahan kepala Helene menempel di dada.
"Dengarkan saja ini!" katanya.
Helene mendengar irama detak jantung yang sangat cepat.
"Kamu mendengarnya?" Dion berbisik di telinga Helene.
"Ya," jawabnya pelan.
"Aku cemburu," katanya pelan di telinga Helene, "aku cinta kamu.." Helene hanya membisu, lidahnya kelu. Helene menikmati kebersamaannya malam ini dengan Dion.
***
Pagi ini Helene bangun dengan perasaan bahagia, masih ada sisa senyumnya tadi malam. Helene bercermin dan baru kali ini dia merasa senyumnya sangat manis.
Tadi malam Dion tidak langsung pulang, mereka masih ngobrol di apartemen Helene. Mereka berdua duduk di sofa dan memandangi jalanan Jakarta yang masih ramai dengan kendaraan di malam yang telah larut. Mereka memandangi lampu-lampu kota dengan cahaya yang berpendar terang. Mereka memandangi langit dengan bintang-bintang yang bertaburan. Mereka memandangi jari-jari mereka yang saling bertaut.
"Apa yang membuatmu jatuh cinta padaku? Kamu bilang, kalau kamu jatuh cinta padaku ketika pertama kali melihatku di kafe." Helene merebahkan kepalanya di bahu Dion. Terasa nyaman....sangat nyaman.
"Aku...aku suka melihatmu saat pertama kali memandangku. Aku tak bisa mendefinisikannya dengan kata-kata. Cara mu menatapku...aku menyukainya."
"Aku tak mengerti. Aku merasa, saat itu aku biasa saja." Helene menegakkan duduknya, melihat Dion.
"Aku tak tahu... aku merasa kamu berbeda."
"Apa yang membuatmu akhirnya mau menerima aku, sedari dulu kamu seperti menghindar."
"Kamu... kamu seseorang yang membuatku merasa hangat. Belum pernah ada yang membuatku seperti itu. Tidak juga Mama. Terima kasih Dion."
***
Pagi ini, Helene memakai baju berwarna putih sebagai inner lalu ditumpuk dengan cardigan berwarna pink muda. Pipinya diberi sentuhan blush on cair berwarna pink, lipstiknya berwarna pink muda. Hari ini Helene terlihat cerah.
Helene tidak tahu apa yang membuatnya ingin berdandan seperti ini. Hatinya bahagia. Dion membawa perubahan dalam kehidupannya. Padahal mereka baru saja dekat.
Begitu masuk ke dalam ruang kerja Helene menyapa setiap orang yang ditemuinya. Sapaannya terdengar renyah. Ninit sampai terbangun dari tempat duduknya dan melihat Helene dengan rupa heran.
"Nih!" Helene memberikan satu cup kopi kepada Ninit yang dibelinya di gerai kopi dekat kantor.
"Tumben banget... kesambet di mana, Len?"
"Cerewet! Mau nggak? Aku ambil lagi nih kopinya."
"Eh, jangan...jangan!" Ninit mempertahankan cup kopi yang berada di tangannya. "Nggak baik menolak rejeki."
Ninit melihat Helene dari atas ke bawah berulang-ulang. Mirip calon mertua yang sedang menilai seorang laki-laki yang akan menjadi menantunya. Ninit berdecak, dia menggelengkan kepala.
"Ck, nggak biasanya dandananmu semeriah ini. Biasanya warna bajumu nggak jauh dari warna hitam, biru gelap, coklat paling terang putih."
"Kenapa? Kelihatan spektakuler, ya?" Helene meletakkan tangannya di pinggang, lalu memutar tubuhnya bagai seorang model yang berada di panggung peragaan busana.
"Kayak gini kan cakep. Riang banget sih? Baru dapat transferan dari mamamu?"
"Bilang aja minta ditraktir, pakai ngomong transferan segala. Basi tau!" Helene segera berlalu dari hadapan Ninit. Dia sudah hapal sama kelakuan Ninit kalau sudah memuji Helene, pasti ada sesuatu. Nggak boleh GR dulu kalau dapat pujian dari Ninit.
"Nggak lah, aku tulus kok. Pasti ada sesuatu yang terjadi denganmu. Kamu baru jadian?" Ninit menebak.
"Jadian? Apaan sih?" Helene tak menyangka kalau Ninit berkata seperti itu. Belum, Helene belum ingin membagi kisahnya bersama Dion.
"Kalau dilihat, diraba dan diterawang...sepertinya begitu." Ninit tetap berkeras dengan pendapatnya.
"Ngaco! Udah ah, aku mau kerja!" Helene segera membuka laptopnya. Meladeni Ninit tidak akan pernah ada habisnya.
***
Pagi ini Dion mengingat Helene, mengingat kebersamaan mereka tadi malam. Dion tersenyum lebar. "Sedang apa dia saat ini?" gumamnya.
Dia merindukan perempuan bermata indah itu.
Mungkin dia sedang sibuk dengan pekerjaannya. Dion tak ingin mengganggu, meskipun hatinya rindu.
[Helene ... aku rindu]
Dion mengirimkan sebaris pesan pada Helene tentang apa yang dirasakannya pagi ini.
[Bersabarlah...nanti malam aku akan datang menemui kamu di tempat biasa]
Sebaris kalimat pesan balasan yang dikirim Helene membuat Dion merasa senang hingga Dion tersenyum lebar.
"Nanti malam, aku akan menunggumu," gumamnya.
***
"Di!" Davina berteriak memanggil namanya. Dion menghentikan langkah, berbalik dan melihat Davina bersama Thalita berjalan bersama di pelataran kampus.
"Sudah sehat?"
"Sudah dong, berkat kamu. Makasih, Di."
"Kemarin, bagaimana acara di panti? Lancar?" Thalita bertanya, raut wajahnya terlihat bersalah.
"Lancar." Dion menjawab singkat, khas Dion. Kalimat yang meluncur dari mulutnya selalu singkat.
"Maaf, aku nggak bisa ikut."
"Ya, ibu panti sudah mengatakannya padaku."
"Di, masih ada kuliah?"
Dion menggeleng, "Aku mau pulang. Kenapa?"
"Thalita mau ke toko buku, tapi aku lagi nggak bisa menemani. Thalita sama kamu aja ke toko buku. Ya udah, aku tinggal, ya!" Davina melangkah cepat, seperti berlari. Dia tersenyum bahagia, karena keinginannya untuk menjodohkan mereka berdua mulai berjalan setahap demi setahap.
Dion hanya diam menatap Thalita. Tak tahu harus berkata apa, dia hanya bisa mengutuk Davina di dalam hati. Mengucapkan berkali-kali kata sialan! di dalam hati.
Thalita melihat sepertinya Dion tidak ingin pergi dengannya. Tak perlu kata-kata untuk tahu hal itu. Dari sikap Dion dan gesture tubuhnya yang hanya berdiri terpaku. Thalita menjadi serba salah. Dia tidak menduga Davina akan meninggalkan mereka berdua. Situasi menjadi canggung. Thalita menunggu Dion bicara, dan itu sangat meresahkan.