Hilman berdiri menyambut kedatangan Helene. Dia tersenyum dan terlihat gugup. Tidak menyangka akan bertemu dengan perempuan secantik Helene.
Helene tersenyum sekadarnya, mengangguk dan matanya tak lepas memandang Hilman. Ini adalah laki-laki kesekian yang ditemuinya. Laki-laki kencan buta-nya. Semua bertipikal mirip, sangat khas laki-laki pilihan mama. Berpotongan rapi dan bertampang cerdas. Helene sudah sangat hapal.
"Sudah lama menunggu?" Helene bertanya, membuka percakapan. Sekadar basa-basi.
"Oh, tidak...tidak...belum lama." Hilman salah tingkah, mungkin karena Helene terus menatapnya.
Helene nyaris tertawa, baru kali ini dia bertemu laki-laki kencan buta yang terlihat tidak percaya diri. Semakin Hilman salah tingkah, semakin suka Helene melihatnya. Dia terus menatap laki-laki itu, tersenyum tipis. Sorot matanya seperti mengukur kekuatannya dengan Hilman. Kali ini kencan buta bagaikan ajang pertandingan dan Helene tahu, dia lah pemenangnya.
"Aku akan berterus terang padamu," katanya pada Hilman dengan sorot mata yang serius. Hilman hanya menatap Helene.
"Sesungguhnya aku tidak tertarik untuk hal-hal seperti ini. Aku bahkan sangat membencinya. Jadi aku berharap kamu mau bekerja sama denganku untuk segera mengakhiri pertemuan kita malam ini."
Helene berkata tanpa jeda, bahkan untuk menarik napas pun ditahannya. Dia ingin menunjukkan pada Hilman bahwa dia serius dengan perkataannya.
Helene menunggu reaksi Hilman. Apakah Hilman akan terluka? Marah? Atau menyumpahinya?. Helene mengingat Aidan- kencan buta-nya beberapa waktu yang lalu- dan kencan buta-nya yang lain. Semua reaksi mereka sangat tidak menyenangkan.
Tanpa diduga, Hilman tersenyum lebar lalu tertawa. Wajahnya yang tadi terlihat gugup, hilang begitu saja.
Kali ini Helene yang merasa bingung dengan reaksi Hilman, padahal sedari tadi Helene sudah menyiapkan skenario terburuk yang akan dialaminya malam ini. Helene bahkan sudah mempersiapkan cara mengantisipasinya.
"Terima kasih kamu mengatakannya." Hilman tersenyum lebar setelah berhasil menguasai keadaan.
"Dari tadi aku berpikir bagaimana caranya menyudahi semua ini. Aku juga tidak setuju dengan perjodohan seperti ini. Meskipun perempuan yang dipilih Mama sangat cantik. Ya, kamu sangat cantik. Tadi aku nyaris goyah." Hilman bicara dengan sikap yang jauh lebih santai.
"Oh.." Hanya itu yang keluar dari mulut Helene, dia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Tak tahu harus berkata apa, dia masih terkejut. Sungguh, Hilman sudah membuatnya bingung.
"Aku ingin jujur padamu, kalau sebenarnya aku sudah punya kekasih. Aku mencintainya. Mama menentang hubungan kami karena perempuan itu dianggap tidak cocok untukku."
"Harusnya kamu mempertahankan cintamu, bukannya menyerah dan datang menemui aku. Apa alasanmu untuk datang? Kalau seandainya perempuan itu tahu kamu datang menemui aku, dia pasti akan terluka."
"Aku hanya menuruti kehendak Mama. Namun, malam ini aku bertekad untuk mempertahankan dia, apa pun yang terjadi. Ternyata saat bertemu dengan kamu, bayangan wajahnya selalu hadir. Makanya aku menjadi tidak tenang. Aku merasa bersalah padanya." Hilman menunduk, raut wajahnya sedih.
Helene menggenggam tangan Hilman, seperti memberi kekuatan pada laki-laki itu.
"Aku ingin kita berteman, aku suka dengan kejujuranmu," kata Helene, tangannya masih menggenggam tangan Hilman.
Mereka berdua tersenyum sangat lebar, lalu tertawa. "Aku ingin merayakan pertemuan kita, seorang teman baru yang aku peroleh karena kencan buta. Kamu mau pesan apa, Len?" Hilman tersenyum jenaka. Helene bisa melihat binar kebahagiaan di mata Hilman.
"Kalau pesan makanan yang paling mahal, kamu masih mampu bayar, kan?" Helene bertanya dengan wajah yang dibuat sangat serius. Namun, Hilman tahu kalau Helene hanya bercanda.
"Kalau aku tidak bisa membayarnya, kamu siapkan tenaga supaya kita bisa berlari cepat keluar dari restoran ini." Hilman mendekatkan wajahnya pada Helene, suaranya lirih nyaris berbisik. Helene tertawa menyambut kata-kata Hilman.
"Jangan khawatir... aku sangat kuat berlari. Apalagi kalau kepepet." Helene ikut berbisik, tampangnya masih dibuat serius.
Malam ini, adalah kencan buta yang paling membahagiakan menurut Helene. Dia bisa tertawa bahagia. Mereka berdua bicara seolah tanpa beban. Bahkan mereka bisa menertawakan betapa tololnya mereka mau diatur untuk acara kencan.
***
Dion melihat Helene dari kejauhan dengan gaun birunya. Kekasihnya terlihat sangat cantik. Gaun itu melekat pas di tubuh Helene. Sesungguhnya Dion tak rela, dia ingin Helene tampil secantik itu untuknya. Bukan untuk bertemu laki-laki lain.
Dion mengikuti Helene ke kafe itu. Dia berdiri memandang dari jauh, dari luar kafe. Dia melihat Helene dan laki-laki itu duduk di pinggir, dekat kaca. Dion mencari tempat yang pas untuk bisa mengawasi dari jauh tapi juga tak terlihat oleh Helene. Dion merasa khawatir terjadi sesuatu dengan Helene. Meskipun Helene berkata bahwa dia sudah terbiasa datang dan menolak laki-laki pilihan mama, tetap saja ada perasaan takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan menimpa Helene.
Satu lagi, Dion juga merasa cemburu karena Helene menemui laki-laki lain.
Dion melihat Helene dan laki-laki berkaca mata itu tertawa. Mereka berdua terlihat akrab seperti kawan lama yang bertemu setelah berpisah sekian lama. Dion menahan rasa cemburunya, dia hanya bisa menatap tajam dan mengeraskan rahangnya. Bukan pemandangan yang ingin dilihat Dion.
***
"Aku ijin ke toilet sebentar, ya?" Helene berdiri. Hilman mengangguk "Silakan!" katanya.
Helene berjalan cepat menuju kamar mandi. Membuka ponselnya, menelpon seseorang. Matanya berbinar bahagia, "Dion, pulang lah! Aku tahu kamu khawatir. Tapi tidak akan terjadi apa-apa dengan diriku. Semuanya sudah aku bereskan." Helene berkata cepat, bahkan sebelum Dion sempat bersuara.
"Len, aku menunggumu." Dion mematikan telepon. Dia tidak ingin meninggalkan Helene, apalagi di malam selarut ini. Dion akan mengantarkan Helene pulang.
Helene tersenyum senang, meskipun hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Dion. Helene tahu maknanya bahwa Dion mencintainya.
***
"Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Ada seseorang yang menungguku," katanya pada Hilman. Sebenarnya Hilman adalah teman ngobrol yang menyenangkan. Helene bisa betah berlama-lama bercerita tentang banyak hal dengan Hilman. Tapi ada Dion yang menunggunya, Helene tidak tega membuat Dion semakin lama berdiri menunggu.
"Pacarmu?"
"Ya... bisa dibilang begitu."
"Baik lah...aku tidak akan menahan mu. Terima kasih buat malam ini, terima kasih buat pertemuan kita. Sangat menyenangkan bisa mengenal kamu. Kita masih bisa saling ngobrol, kan?" Hilman bertanya di ujung kalimat. Helene mengangguk merespon pertanyaan Hilman.
"Suatu saat aku akan mengenalkan kamu dengan pacarku," katanya lagi.
"Aku menunggu saat itu," ujar Helene. Kemudian dia undur diri, melangkah dengan perasaan yang ringan untuk bertemu dengan laki-laki yang mencintainya.
***
Dion menyambut Helene, tangannya menggenggam tangan perempuan itu.
"Dari mana kamu tahu aku mengikuti kamu?" tanya Dion, dari tadi dia menahan rasa penasarannya.
Helene tertawa mendengarnya. Melirik Dion dengan penuh arti.