Read More >>"> Salted Caramel Machiato (Mas Gondrong ) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Salted Caramel Machiato
MENU
About Us  

"Len, nanti pulang kerja kita mampir minum kopi di kafe, ya?" Ninit bicara dari kubikel yang posisinya tepat di samping Helene.

 

"Hmm!" Helene menjawab singkat, matanya fokus pada layar laptop.

 

"Dih, nggak antusias banget sih jawabnya!" Ninit mendumal, dia berharap Helene bicara sedikit panjang.

 

"Lagi bikin apaan, sih?" Ninit berdiri, melongok melihat layar laptop Helen.

 

"Deadline-nya masih besok kan?"

 

"Aku 'kan nggak kayak kamu semuanya serba mepet, sebisa mungkin sebelum deadline udah kelar." Helene tidak menoleh sedikit pun, matanya tetap fokus pada layar.

 

"Mau, nggak? Kita nongkrong rame-rame sama anak-anak divisi marketing." Ninit menginginkan jawaban pasti bukan hanya sekedar 'hmm' yang nggak jelas maknanya.

 

"Ada perayaan apa sih? Ulang tahun?"

 

"Memangnya harus ada yang dirayakan?"

 

"Nggak juga sih, tapi biasanya kalau kumpul ngajak anak marketing ada yang dirayakan. Ulang tahun, naik jabatan, dapat bonus, atau merayakan kambing Lo beranak!"

 

"Sialan! Ngapain bawa-bawa kambing gua!" Ninit melempar tissue yang dipegangnya dan tepat mengenai kepala Helen.

 

"Dih, barbar banget sih Lo!" Helen tertawa pelan. Dia takut mengusik kawannya yang lain, apalagi kalau tiba-tiba Pak Tommy, bosnya muncul.

 

"Iya, aku ikut jam seperti biasa, kan?" Helene melihat senyum puas di wajah Ninit.

 

Helene bersahabat dengan Ninit sejak mereka menjadi anak baru di perusahaan ini, perusahaan makanan cepat saji. Untuk perusahaan sejenis, perusahaan mereka termasuk terbesar di Indonesia.

 

Helene dan Ninit bekerja di divisi HR, divisi yang berisi cewek-cewek manis dan ramah. Sebenarnya itu bisa-bisanya si Togap yang kasih predikat, karena dia naksir Ninit. Jelas-jelas Ninit sangat galak dan judes kalau menyangkut urusan absensi dan reimbursment. Nggak ada yang sanggup kena semburan omelan Ninit, nyali sudah ciut duluan kalau berhadapan dengan Ninit.

Sebenarnya dia perempuan yang manis dan lucu kalau diluar urusan pekerjaan kantor.

 

Di divisi HR, cuma mereka berdua yang berjenis perempuan selebihnya laki-laki, makanya mereka lebih akrab dengan divisi marketing yang kebanyakan perempuan. Kalau lagi bosan dengan pekerjaannya dan juga malas mengusili Ninit. Helene dengan senang hati bertandang ke divisi marketing. Sebelumnya dia akan menelpon Lusi, "Sis, kalau aku kesitu aman nggak?" Yang dimaksud dengan aman adalah mereka lagi nggak sibuk dan si bos marketing lagi nggak ada.

 

***

 

Jam 18.00 Helene dan Ninit sudah menutup laptop, berdandan secukupnya.

"Nggak apa-apa nih kita masih pakai baju kayak gini? Pakai blazer nongkrong di kafe kelihatan resmi banget nggak, sih? Kayaknya nggak pas!" Helene sedikit bersungut-sungut. "coba nggak mendadak, aku kan bisa bawa baju ganti."

 

"Yang penting wangi." Ninit menenteng tas kerjanya dan mulai melangkah menuju lift, "Buruan, entar ditinggal anak-anak marketing!"

 

***

 

Mereka bertujuh memilih meja yang berada di tengah ruangan, menghadap persis ke panggung. "Enak di sana Lus, di pojok lebih leluasa!" Ninit protes, tangannya menunjuk ke arah meja yang masih kosong di sudut ruangan.

 

"Lo nggak lihat itu penyanyinya ganteng banget, gue sengaja milih duduk di sini biar bisa puas lihatin dia." Lusi memandang ke arah panggung, matanya difokuskan pada laki-laki yang sedang sibuk menyetem gitar.

 

"Oh, pantesan ngajak ke sini...jangan-jangan Lo udah survey!" Ninit masih tidak terima dengan keputusan Lusi mengambil tempat di tengah, mulutnya mulai mengomel.

 

"Udahlah, kita duduk di sini nggak apa-apa, Nit! Males kalau harus pindah!" Dian menengahi. Mulai lelah dengan perdebatan Lusi dan Ninit yang seakan tidak ada habisnya.

 

Helene duduk santai, seakan tidak peduli dengan perdebatan Lusi dan Ninit. Helene malas memusingkan hal remeh seperti posisi meja. Lebih baik mulai melihat daftar menu yang ada di meja.

 

"Len, kamu nyanyi, ya?" Dian meminta Helene menyanyi. Dian selalu mengagumi suara Helene.

 

"Oke!" Helene segera berdiri dan melangkah ke arah panggung dengan langkah yang mantap. Dia sudah terbiasa didaulat menyanyi oleh teman-temannya kalau sedang nongkrong di kafe atau ada acara kantor. Helene selalu menyanggupi permintaan mereka dengan senang hati, karena menyanyi adalah hobinya.

 

Dulu dia sempat ingin melamar menjadi penyanyi kafe sekalian mencari tambahan uang saku sebagai mahasiswa. Mamanya menentang keras,"Apa kata kolega-kolega mama kalau tahu kamu menyanyi di kafe. Kamu butuh uang berapa sih? Mama bisa kasih ke kamu berapa pun itu. Kamu jangan membuat mama malu!"

 

Selalu begitu, Helene tidak pernah bebas menjadi dirinya sendiri dan merdeka dengan keputusannya. Apalagi kalau sudah diakhiri dengan kalimat jangan membuat mama malu. Helene tidak pernah ingin berdebat dengan mama, karena dia selalu akan menjadi pihak yang kalah.

 

Mama memperlakukan Helene seperti perlakuannya kepada bawahannya. Dia adalah pengambil keputusan dan keputusan itu sifatnya mutlak.

 

***

 

"Eh, si mas gondrong itu dari tadi ngelihatin kamu, lho. Kamu ngerasa, nggak?" Ninit membuka percakapan. Sejak tadi mereka berdua menunggu taksi. Bahkan Helene sudah terlihat resah.

 

"Mas gondrong yang mana, Nit?"

 

"Nggak usah kura-kura dalam perahu, deh!" Suaranya menjadi tinggi, nadanya sewot.

 

"Harusnya kura-kura dalam tempurung?" Helene menjawab sesukanya dan dia sukses mendapat tatapan tajam dari Ninit.

 

"Yang tadi di panggung, yang main musik. Dia kan cowok gondrong." Ninit memperjelas maksud sebutan mas gondrong itu.

 

"Oh, yang itu. Kagum kali dia sama gue." Helene menjawab asal.

 

"Iya, iya. Gue tahu!"

 

"Pasrah banget jawabnya, nggak ada perlawanan, nih?" Padahal tadi Helene berharap jawaban suka-suka itu mendapat respon perlawanan dari Ninit. Entah ngomel atau marah-marah.

 

"Gue lagi males berdebat sama Lo. Buang-buang energi! Sayang french toast sama espresso yang masuk ke perut gue!"

 

Helene tahu selama di kafe laki-laki gondrong itu sering melihat ke arahnya. Walaupun tatapannya seperti sekedar sambil lalu. Namun, Helene merasakan tatapan mata itu berbeda, seperti menembus hatinya. Helene tahu betapa gantengnya laki-laki yang diam-diam menatapnya tadi. Betapa wangi laki-laki itu dan betapa indah matanya.

Rambutnya gondrong sebahu dan sedikit bergelombang, berwana hitam. Wajahnya berbentuk oval dengan garis-garis yang tegas. Helene paling suka dengan matanya, tajam dengan sepasang alis yang tebal. Tadi saat dia maju untuk menyanyi, Helene sedikit gugup. Bersebelahan dengan laki-laki itu membuat rasa percaya dirinya sedikit terkikis. Untunglah dia bisa menguasai rasa gugupnya dan bisa menyanyi dengan baik.

 

Entah mengapa tadi dia sedikit lancang meminta berduet dengan laki-laki itu. Ternyata setelah berduet membuat nilai mas gondrong menjadi naik di mata Helene. Dari nilai delapan menjadi sembilan. Mungkin kalau suatu saat Helene bisa mengenalnya lebih dekat, bisa saja nilai itu akan turun atau semakin naik tinggi.

 

Helene mendadak merasa malu telah mengingat dan menilai laki-laki itu. Bisa saja mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Siapa aku yang berhak menilai laki-laki setampan dia?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Bottle Up
2681      1158     2     
Inspirational
Bottle Up: To hold onto something inside, especially an emotion, and keep it from being or released openly Manusia selalu punya sisi gelap, ada yang menyembunyikannya dan ada yang membagikannya kepada orang-orang Tapi Attaya sadar, bahwa ia hanya bisa ditemukan pada situasi tertentu Cari aku dalam pekatnya malam Dalam pelukan sang rembulan Karena saat itu sakitku terlepaskan, dan senyu...
THE HISTORY OF PIPERALES
1892      692     2     
Fantasy
Kinan, seorang gadis tujuh belas tahun, terkejut ketika ia melihat gambar aneh pada pergelangan tangan kirinya. Mirip sebuah tato namun lebih menakutkan daripada tato. Ia mencoba menyembunyikan tato itu dari penglihatan kakaknya selama ia mencari tahu asal usul tato itu lewat sahabatnya, Brandon. Penelusurannya itu membuat Kinan bertemu dengan manusia bermuka datar bernama Pradipta. Walaupun begi...
SURAT CINTA KASIH
547      393     6     
Short Story
Kisah ini menceritakan bahwa hak kita adalah mencintai, bukan memiliki
Faith Sisters
2237      1266     3     
Inspirational
Kehilangan Tumbuh Percaya Faith Sisters berisi dua belas cerpen yang mengiringi sepasang muslimah kembar Erica dan Elysa menuju kedewasaan Mereka memulai hijrah dari titik yang berbeda tapi sebagaimana setiap orang yang mengaku beriman mereka pasti mendapatkan ujian Kisahkisah yang relatable bagi muslimah muda tentang cinta prinsip hidup dan persahabatan
PUBER
1868      787     1     
Romance
Putri, murid pindahan yang masih duduk di kelas 2 SMP. Kisah cinta dan kehidupan remaja yang baru memasuki jiwa gadis polos itu. Pertemanan, Perasaan yang bercampur aduk dalam hal cinta, serba - serbi kehidupan dan pilihan hatinya yang baru dituliskan dalam pengalaman barunya. Pengalaman yang akan membekas dan menjadikan pelajaran berharga untuknya. "Sejak lahir kita semua sudah punya ras...
Let it go on
1101      778     1     
Short Story
Everything has changed. Relakan saja semuanya~
LINN
12065      1828     2     
Romance
“Mungkin benar adanya kita disatukan oleh emosi, senjata dan darah. Tapi karena itulah aku sadar jika aku benar-benar mencintaimu? Aku tidak menyesakarena kita harus dipertemukan tapi aku menyesal kenapa kita pernah besama. Meski begitu, kenangan itu menjadi senjata ampuh untuk banggkit” Sara menyakinkan hatinya. Sara merasa terpuruk karena Adrin harus memilih Tahtanya. Padahal ia rela unt...
Thantophobia
1246      713     2     
Romance
Semua orang tidak suka kata perpisahan. Semua orang tidak suka kata kehilangan. Apalagi kehilangan orang yang disayangi. Begitu banyak orang-orang berharga yang ditakdirkan untuk berperan dalam kehidupan Seraphine. Semakin berpengaruh orang-orang itu, semakin ia merasa takut kehilangan mereka. Keluarga, kerabat, bahkan musuh telah memberi pelajaran hidup yang berarti bagi Seraphine.
The Diary : You Are My Activist
13388      2319     4     
Romance
Kisah tentang kehidupan cintaku bersama seorang aktivis kampus..
She Is Falling in Love
479      288     1     
Romance
Irene membenci lelaki yang mengelus kepalanya, memanggil nama depannya, ataupun menatapnya tapat di mata. Namun Irene lebih membenci lelaki yang mencium kelopak matanya ketika ia menangis. Namun, ketika Senan yang melakukannya, Irene tak tahu harus melarang Senan atau menyuruhnya melakukan hal itu lagi. Karena sialnya, Irene justru senang Senan melakukan hal itu padanya.