"Len, nanti pulang kerja kita mampir minum kopi di kafe, ya?" Ninit bicara dari kubikel yang posisinya tepat di samping Helene.
"Hmm!" Helene menjawab singkat, matanya fokus pada layar laptop.
"Dih, nggak antusias banget sih jawabnya!" Ninit mendumal, dia berharap Helene bicara sedikit panjang.
"Lagi bikin apaan, sih?" Ninit berdiri, melongok melihat layar laptop Helen.
"Deadline-nya masih besok kan?"
"Aku 'kan nggak kayak kamu semuanya serba mepet, sebisa mungkin sebelum deadline udah kelar." Helene tidak menoleh sedikit pun, matanya tetap fokus pada layar.
"Mau, nggak? Kita nongkrong rame-rame sama anak-anak divisi marketing." Ninit menginginkan jawaban pasti bukan hanya sekedar 'hmm' yang nggak jelas maknanya.
"Ada perayaan apa sih? Ulang tahun?"
"Memangnya harus ada yang dirayakan?"
"Nggak juga sih, tapi biasanya kalau kumpul ngajak anak marketing ada yang dirayakan. Ulang tahun, naik jabatan, dapat bonus, atau merayakan kambing Lo beranak!"
"Sialan! Ngapain bawa-bawa kambing gua!" Ninit melempar tissue yang dipegangnya dan tepat mengenai kepala Helen.
"Dih, barbar banget sih Lo!" Helen tertawa pelan. Dia takut mengusik kawannya yang lain, apalagi kalau tiba-tiba Pak Tommy, bosnya muncul.
"Iya, aku ikut jam seperti biasa, kan?" Helene melihat senyum puas di wajah Ninit.
Helene bersahabat dengan Ninit sejak mereka menjadi anak baru di perusahaan ini, perusahaan makanan cepat saji. Untuk perusahaan sejenis, perusahaan mereka termasuk terbesar di Indonesia.
Helene dan Ninit bekerja di divisi HR, divisi yang berisi cewek-cewek manis dan ramah. Sebenarnya itu bisa-bisanya si Togap yang kasih predikat, karena dia naksir Ninit. Jelas-jelas Ninit sangat galak dan judes kalau menyangkut urusan absensi dan reimbursment. Nggak ada yang sanggup kena semburan omelan Ninit, nyali sudah ciut duluan kalau berhadapan dengan Ninit.
Sebenarnya dia perempuan yang manis dan lucu kalau diluar urusan pekerjaan kantor.
Di divisi HR, cuma mereka berdua yang berjenis perempuan selebihnya laki-laki, makanya mereka lebih akrab dengan divisi marketing yang kebanyakan perempuan. Kalau lagi bosan dengan pekerjaannya dan juga malas mengusili Ninit. Helene dengan senang hati bertandang ke divisi marketing. Sebelumnya dia akan menelpon Lusi, "Sis, kalau aku kesitu aman nggak?" Yang dimaksud dengan aman adalah mereka lagi nggak sibuk dan si bos marketing lagi nggak ada.
***
Jam 18.00 Helene dan Ninit sudah menutup laptop, berdandan secukupnya.
"Nggak apa-apa nih kita masih pakai baju kayak gini? Pakai blazer nongkrong di kafe kelihatan resmi banget nggak, sih? Kayaknya nggak pas!" Helene sedikit bersungut-sungut. "coba nggak mendadak, aku kan bisa bawa baju ganti."
"Yang penting wangi." Ninit menenteng tas kerjanya dan mulai melangkah menuju lift, "Buruan, entar ditinggal anak-anak marketing!"
***
Mereka bertujuh memilih meja yang berada di tengah ruangan, menghadap persis ke panggung. "Enak di sana Lus, di pojok lebih leluasa!" Ninit protes, tangannya menunjuk ke arah meja yang masih kosong di sudut ruangan.
"Lo nggak lihat itu penyanyinya ganteng banget, gue sengaja milih duduk di sini biar bisa puas lihatin dia." Lusi memandang ke arah panggung, matanya difokuskan pada laki-laki yang sedang sibuk menyetem gitar.
"Oh, pantesan ngajak ke sini...jangan-jangan Lo udah survey!" Ninit masih tidak terima dengan keputusan Lusi mengambil tempat di tengah, mulutnya mulai mengomel.
"Udahlah, kita duduk di sini nggak apa-apa, Nit! Males kalau harus pindah!" Dian menengahi. Mulai lelah dengan perdebatan Lusi dan Ninit yang seakan tidak ada habisnya.
Helene duduk santai, seakan tidak peduli dengan perdebatan Lusi dan Ninit. Helene malas memusingkan hal remeh seperti posisi meja. Lebih baik mulai melihat daftar menu yang ada di meja.
"Len, kamu nyanyi, ya?" Dian meminta Helene menyanyi. Dian selalu mengagumi suara Helene.
"Oke!" Helene segera berdiri dan melangkah ke arah panggung dengan langkah yang mantap. Dia sudah terbiasa didaulat menyanyi oleh teman-temannya kalau sedang nongkrong di kafe atau ada acara kantor. Helene selalu menyanggupi permintaan mereka dengan senang hati, karena menyanyi adalah hobinya.
Dulu dia sempat ingin melamar menjadi penyanyi kafe sekalian mencari tambahan uang saku sebagai mahasiswa. Mamanya menentang keras,"Apa kata kolega-kolega mama kalau tahu kamu menyanyi di kafe. Kamu butuh uang berapa sih? Mama bisa kasih ke kamu berapa pun itu. Kamu jangan membuat mama malu!"
Selalu begitu, Helene tidak pernah bebas menjadi dirinya sendiri dan merdeka dengan keputusannya. Apalagi kalau sudah diakhiri dengan kalimat jangan membuat mama malu. Helene tidak pernah ingin berdebat dengan mama, karena dia selalu akan menjadi pihak yang kalah.
Mama memperlakukan Helene seperti perlakuannya kepada bawahannya. Dia adalah pengambil keputusan dan keputusan itu sifatnya mutlak.
***
"Eh, si mas gondrong itu dari tadi ngelihatin kamu, lho. Kamu ngerasa, nggak?" Ninit membuka percakapan. Sejak tadi mereka berdua menunggu taksi. Bahkan Helene sudah terlihat resah.
"Mas gondrong yang mana, Nit?"
"Nggak usah kura-kura dalam perahu, deh!" Suaranya menjadi tinggi, nadanya sewot.
"Harusnya kura-kura dalam tempurung?" Helene menjawab sesukanya dan dia sukses mendapat tatapan tajam dari Ninit.
"Yang tadi di panggung, yang main musik. Dia kan cowok gondrong." Ninit memperjelas maksud sebutan mas gondrong itu.
"Oh, yang itu. Kagum kali dia sama gue." Helene menjawab asal.
"Iya, iya. Gue tahu!"
"Pasrah banget jawabnya, nggak ada perlawanan, nih?" Padahal tadi Helene berharap jawaban suka-suka itu mendapat respon perlawanan dari Ninit. Entah ngomel atau marah-marah.
"Gue lagi males berdebat sama Lo. Buang-buang energi! Sayang french toast sama espresso yang masuk ke perut gue!"
Helene tahu selama di kafe laki-laki gondrong itu sering melihat ke arahnya. Walaupun tatapannya seperti sekedar sambil lalu. Namun, Helene merasakan tatapan mata itu berbeda, seperti menembus hatinya. Helene tahu betapa gantengnya laki-laki yang diam-diam menatapnya tadi. Betapa wangi laki-laki itu dan betapa indah matanya.
Rambutnya gondrong sebahu dan sedikit bergelombang, berwana hitam. Wajahnya berbentuk oval dengan garis-garis yang tegas. Helene paling suka dengan matanya, tajam dengan sepasang alis yang tebal. Tadi saat dia maju untuk menyanyi, Helene sedikit gugup. Bersebelahan dengan laki-laki itu membuat rasa percaya dirinya sedikit terkikis. Untunglah dia bisa menguasai rasa gugupnya dan bisa menyanyi dengan baik.
Entah mengapa tadi dia sedikit lancang meminta berduet dengan laki-laki itu. Ternyata setelah berduet membuat nilai mas gondrong menjadi naik di mata Helene. Dari nilai delapan menjadi sembilan. Mungkin kalau suatu saat Helene bisa mengenalnya lebih dekat, bisa saja nilai itu akan turun atau semakin naik tinggi.
Helene mendadak merasa malu telah mengingat dan menilai laki-laki itu. Bisa saja mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Siapa aku yang berhak menilai laki-laki setampan dia?