Loading...
Logo TinLit
Read Story - KASTARA
MENU
About Us  

Setelah kau pergi, hidupku terasa mati.

Tak pernah kurasakan cinta yang seperti cintamu.

 

Aku tak punya hati untuk mencintai.

Benar-benar tak punya hati untuk menyayangi.

Karena telah kau bawa seluruh hatiku pergi.

*

*

*

Kubuka tudung hoodie tepat di hadapannya. Mata cokelat itu terus menatapku dengan senyum tipis yang perlahan terbit di bibirnya. Tubuhnya tidak terlalu tinggi dariku. Jadi, aku tidak perlu menengadah terlalu tinggi sepertiku menatap Kastara ataupun orang itu.

"Hai, Tara! Bagaimana kabarmu?" Sayangnya, yang menyapaku lebih dulu adalah gadis berpipi chubby yang sedari tadi menggandeng lengan Junda. Riasannya cukup tebal untuk sehari-hari, tapi anehnya itu tidak membuatnya jelek. Malah tampak natural. Matanya bulat dengan rambut cokelat yang diikat di pinggir. Terlihat menggemaskan.

Aku pun mau tak mau membalas sapaannya. "Hai, Minara! Baik, kok."

Refleks Minara memeluk tubuhku. Aku terkejut karena tidak suka berpelukan dengan wanita yang dadanya lebih besar dariku. Rasanya ada yang mengganjal. Akhirnya hanya bisa mengelus pundak belakangnya. Setelah itu Junda baru mengarahkan tangannya padaku. Dengan ragu aku meraihnya dan melempar senyum padanya tanpa mengatakan apa pun.

Ini kali pertama kami bertemu lagi sejak dua bulan terakhir.

"Kalian … makin akrab," kataku basa-basi yang tentu saja diikuti rasa ingin tahu mengenai hubungan mereka berdua.

"Doain saja, Ra," balas Minara dengan terkekeh.

Gadis itu memang sedikit selebor, tapi cukup pandai dalam membantu pekerjaan ketua serikat. Itulah mengapa dia diangkat menjadi wakil oleh Junda setelah kami tidak saling berhubungan lagi. Minara sangat ahli dalam menggaet anggota baru, dia juga cepat paham soal urusan stats untuk beberapa jenis pertarungan. Tidak sepertiku, kata Kastara aku ini lemot. Namun, tidak bisa diremehkan juga. Kastara mengakui kelincahanku bergerak dan bertindak cepat dalam bertarung.

"Bagaimana kabar Maverick?" tanya Junda sebelum pergi.

"Sangat baik," jawabku membusungkan dada.

Junda hanya tersenyum dan mengangguk, terlihat lega dan bangga melihatku.

"Lalu … dia. Kau masih bersamanya?"

Sekali lagi hatiku mencelos. Kenapa semua orang harus menanyakan orang itu terus? Aku lelah. Lelah berpura-pura baik-baik saja.

"Tidak, aku sudah disibukkan di Maverick. Jadi, kami sudah tidak saling berhubungan. Aku tidak tahu lagi dia ke mana," kataku akhirnya dengan senyum santai.

Junda dan Minara saling menatap dengan pandangan khawatir.

"Kalian tidak percaya? Tanya saja pada Kastara, dia sudah seperti kakak tiri yang mengunciku di toilet seharian!" pekikku mendecak kesal.

"Tidak apa-apa, Ra. Jangan dipaksakan." Junda meraih lenganku dan mengelusnya.

"Tapi, kamu berhak bahagia," sambung Minara.

Aku hanya diam dengan senyum menggantung di ujung bibir. Mereka pun pamit karena akan ada pertemuan penting dengan anggotanya di lantai atas.

Aku masih mematung di depan restoran siap saji dengan dada sesak.

"Kau baik-baik saja?" bisik Vida. "Ayo, kita makan dulu."

Vida menarik lenganku untuk masuk dan menemukan bangku di ujung dekat jendela keluar yang menyuguhkan pemandangan taman.

Selama makan, jalan-jalan, karaokean, aku seperti boneka hidup tanpa jiwa. Bersenang-senang tanpa hati. Hampa. Dari sekian hari, mengapa harus hari ini semua orang membombardir dengan pertanyaan mengenai orang itu? Hmm, sebenarnya hanya Vida dan Junda. Tapi, begitu saja sudah membuatku muak.

Aku pulang sendiri dengan berjalan kaki dari halte terdekat menuju Plaza. Sore ini terasa begitu sunyi. Terdengar gemericik air dari sungai dekat Plaza. Tanpa sadar, kaki ini malah membawaku ke sana lagi. Sebuah sungai di bawah jembatan dengan bukit kecil. Aku menuruni tangga dengan perlahan. Seperti terhipnotis, aku bahkan tidak mau melawan. Kakiku berhenti di sisi sungai yang mengalir dengan tenang.

Langit mulai berubah jadi oranye. Aku melihat pantulan wajahku di aliran itu. Lalu, setetes air jatuh membuyarkan pantulan wajahku. Semakin deras air itu terjatuh sampai membasahi pipiku.

Ini bukan hujan, tapi air mataku yang sudah kubendung sejak beberapa bulan terakhir. Air mata atas kesedihanku kehilangan orang itu. Tangisku mulai terdengar. Lalu, aku menoleh ke kiri, tiba-tiba muncul sosok orang itu yang tersenyum padaku dengan tatapan jahil. Aku terkesiap melihatnya, hatiku teriris. Namun, ketika aku hendak menggapainya. Dia hilang. Rupanya itu hanya bayangan cahaya matahari yang terbenam, membuatku berhalusinasi.

Kugigit bibir bawahku sekuat mungkin sampai rasa perih tidak kurasakan lagi. Kuremas ujung hoodie-ku. Namun, tangisku tidak mau berhenti. Tubuhku bergetar, ransle yang kutaruh di sisi pundak pun terjatuh begitu saja. Lantas aku mengentakkan kaki, meneriakkan segala rasa sakitku kemudian berjongkok. Meremas rumput di sisi kedua kakiku dan menangis sekuat-kuatnya. Aku meraung, terisak, seperti anak kecil yang sedang tantrum. Aku hanya ingin mengeluarkan segalanya. Aku lelah menahannya, aku lelah membohongi diri bahwa aku selalu baik-baik saja. Tidak, aku tidak baik-baik saja.

Sesekali kuseka air mata yang mengalir deras dengan kasar. Kemudian meraung lagi seperti orang gila.

"Aku muak! Aku tidak baik-baik saja tanpamu! Aku merindukanmu, Anggasta!" Rasanya puas ketika meneriakkan seluruh keinginan yang sudah kutahan berbulan-bulan lamanya. Apalagi ketika menyebut namanya, aku benar-benar puas bisa menyebut namanya lagi walau hanya aku dan tempat ini yang tahu. Tempat di mana semuanya dimulai, di mana aku dan dia bertemu. Waktu itu, harusnya aku tahu bahwa kami tidak akan pernah bisa dipisahkan.

Entah berapa lama aku menangis sendirian di sini. Tidak pernah ada orang yang kemari. Namun, matahari sudah semakin tenggelam. Langit semakin gelap. Air mataku sudah mengering, pedih rasanya. Aku bangkit meraih ransel dan menyeka sisa air mata di pipi. Kemudian aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya dengan kasar.

Langkahku sempoyongan kembali ke jalan setapak menuju jembatan. Aku tidak melewati jembatan ini, aku berjalan lurus sekitar lima ratus meter. Sampailah aku di depan tanah lapang berdinding batu yang cukup tinggi. Pintu gerbang selalu tertutup dan dijaga oleh beberapa orang dengan kekuatan yang jauh lebih besar dariku. Mereka menyapaku ketika aku masuk.

Rupanya sudah cukup banyak orang yang hadir malam ini. Katanya akan ada acara persahabatan tiga lawan tiga di rooftop.

"Taraaa! Akhirnya datang juga. Kau tertinggal Panthasm tadi."

Bibirku mengembang dan mempercepat langkah menghampiri Isvara.

"Habis main bersama teman. Memang ada Panthasm tadi?"

Isvara mengangguk. "Baru selesai sepuluh menit lalu. Aku mau menghubungimu, tapi Kasta bilang tidak usah mengganggumu sore ini."

"Aneh, biasanya dia tidak peduli dan langsung saja menarikku masuk Neverbefore."

"Hmm, memang sedang ada yang aneh dengannya. Saat Panthasm, dia terlihat begitu marah sampai menyerangnya tanpa memberi kesempatan pada yang lain."

"Kalian bertengkar?"

"Tidak, kami baik-baik saja. Dia juga tidak menjawab ketika aku tanya ada apa. Dia langsung naik ke rooftop sekembalinya ke sini."

Aku menoleh ke atas bangunan di belakang Isvara. Bangunan basecamp ini memiliki enam lantai, meski tak begitu terlihat, tapi aku dapat dengan jelas melihat seseorang duduk di pinggir pembatas dengan kepulan asap. Dia merokok lagi.

"Tara, kalau kau sudah siap, segera buat Dome, ya!" perintah Isvara menepuk pundakku.

Aku menoleh dan segera masuk ke gedung itu, mencari lift untuk naik ke lantai enam. Beberapa orang menyapaku, aku pun menyapanya balik dengan sekejap karena terburu-buru.

Ting!

Pintu lift terbuka menghadap sebuah lorong yang cukup remang.

Kakiku melangkah cepat keluar dan berbelok ke kiri di mana rooftop berada. Aku hanya perlu melewati pintu kaca besar yang memisahkan halaman luas itu dengan lorong lift tadi. Suara musik mulai terdengar samar-samar. Pintu itu selalu terbuka lebar ketika ada acara di tempat ini, dan ketika aku berada di luar, suara musik semakin kencang dan jelas. Orang-orang sudah ramai, ada yang berbincang seru, mempersiapkan BBQ, bahkan ada yang sedang mempersiapkan persenjataannya. Misalnya, menaikkan stat power mereka dengan sihir maupun sebuah ramuan.

Kutaruh ransel di kursi malas di bawah pohon rindang. Mataku langsung tertuju ke sisi kanan, melewati orang-orang yang riuh, kolam renang, dan istana pasir. Kemudian aku berhenti di balik dinding yang hanya setinggi dadaku ini. Kastara tak bergeming meskipun aku sudah berdiri tepat di sisinya menatap ke bawah dan melihat Isvara tengah menyuruh seluruh anggota segera naik kemari.

"Kau baik-baik saja? Kenapa merokok lagi?" tanyaku pada Kastara dengan sedikit kesal.

Pria itu meniupkan asap tebal ke udara. "Buat saja Dome-nya."

Benar, ada yang tidak beres dengannya. Aku pun mencoba beranjak dari sana tanpa berkata apa-pun. Tepat di langkah ketiga, aku berhenti dan kembali berbalik. Kastara tidak memedulikanku. Aku pun menghampirinya lagi.

"Kau marah padaku?"

Kini Kastara melirikku singkat dan kembali menyesap batang rokoknya yang sudah hampir habis itu. Kulihat di sisi tubuhnya-di atas dinding pagar-sudah ada tiga batang yang habis.

"Tidak," jawabnya singkat.

"Tidak salah lagi, kan? Kau mengabaikanku, merokok lebih dari tiga batang, apa salahku? Harusnya aku yang marah padamu soal janji kemarin, kan?" cercaku merasa tidak terima kalau dia marah padaku. Lagipula aku merasa tidak memiliki kesalahan apa pun padanya. Sejak tadi pagi, aku kuliah. Tidak menghubungi dia, begitu sebaliknya.

"Sudah kubilang tidak marah padamu. Hmm, aku sudah minta maaf juga, kan, soal itu?"

Namun, aku tidak puas. Dia berkata demikian dengan nada dan wajah yang datar. "Katakan apa salahku? Jangan seperti ini lagi!" Apa dia marah karena tahu bahwa aku menangisi Anggasta lagi? Tidak mungkin, aku tidak melihat siapa-siapa di pinggir sungai maupun jembatan tadi.

Kastara mendengkus kesal. Dimatikannya rokok terakhir itu, lalu dia melompat turun ke arahku. Aku terus menatap wajahnya, dia masih tidak mau menatap mataku. Dia bahkan tak menjawabku lagi dan berlalu begitu saja menuju tengah rooftop. Hatiku sakit, aku tidak suka diabaikan, rasanya seperti ditinggalkan. Seperti saat Anggasta meninggalkanku. Semua orang pergi mengejar tujuannya masing-masing, kecuali Kastara, dia yang masih selalu menemaniku dan membawaku ke mana-mana. Takut aku kembali pada Anggasta, katanya.

Aku terdiam di tempat, mataku yang sedikit berdenyut akibat menangis cukup histeris tadi sore, kini siap menumpahkan air matanya lagi. Aku … takut ditinggalkan lagi. Napasku sudah berat, tapi kugigit bibir bawah dan kutundukkan kepala agar bisa mengalihkan pikiran. Agar aku tak melihat punggung seseorang yang hendak mengabaikanku lagi.

Tiba-tiba seseorang merengkuhku dalam pelukan yang hangat dan erat. Air mata pun tak sengaja tumpah membasahi kaus hitamnya. Kastara kembali.

"Tara, jangan menangis. Aku masih di sini, aku tidak meninggalkanmu. Aku hanya sedikit marah, maafkan aku," bisiknya mengelus kepalaku dengan lembut.

"Jadi, kau benar-benar marah padaku? Kenapa?"

Kastara melepas pelukanku dan menunduk menempelkan dahinya padaku. Jemarinya menyeka air mata di pipiku dengan hati-hati.

"Nanti kuceritakan kalau acara ini sudah selesai. Berhenti menangis, matamu sudah bengkak."

"Janji?"

"Janji." Pria itu akhirnya tersenyum padaku dan mengelus kepalaku dengan gemas.

Kami pun pergi menuju tengah area, semua orang sudah berkumpul termasuk Isvara yang sudah melakukan orasi terkait peraturan dan segala hal tentang pertarungan persahabatan tiga lawan tiga ini.

Sementara Kastara menghampiri Isvara dan merangkulnya, aku berdiri di tengah, tepat di sisi kolam renang. Kuangkat tangan kanan dan tak lama keluarlah secercah cahaya merah yang kemudian berubah menjadi sebuah senjata sabit kokoh berwarna hitam merah dengan sepasang sayap gagak sekuat besi di kepalanya sabitnya. Sabit ini kunamakan Starla. Mecha-sabit yang kokoh dan mengkilap, tidak akan bisa patah oleh apa pun.

Kuputar Starla ke udara dan dengan sekuat tenaga kutancapkan ke lantai di bawah kakiku. "Asvida!"

Lantas muncullah sebuah cahaya putih dari ujung sabitku ke udara, meledak seperti petasan yang kemudian membentuk sebuah kubah. Batas tak kasat mata yang  bercahaya itu menyebar ke bawah menutupi seluruh gadung basecamp Maverick.

Begitu selesai, kutarik kembali senjataku berbalik ke arah Kastara dan Isvara berdiri.

"Bersiaaap!" teriak Kastara.

Semua orang lantas bercahaya untuk mengubah penampilan mereka dengan pakaian dan perlengkapan siap tempur. Termasuk aku.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Today, I Come Back!
3940      1356     3     
Romance
Alice gadis lembut yang sebelumnya menutup hatinya karena disakiti oleh mantan kekasihnya Alex. Ia menganggap semua lelaki demikian sama tiada bedanya. Ia menganggap semua lelaki tak pernah peka dan merutuki kisah cintanya yang selalu tragis, ketika Alice berjuang sendiri untuk membalut lukanya, Robin datang dan membawa sejuta harapan baru kepada Alice. Namun, keduanya tidak berjalan mulus. Enam ...
Memories About Him
4208      1783     0     
Romance
"Dia sudah tidak bersamaku, tapi kenangannya masih tersimpan di dalam memoriku" -Nasyila Azzahra --- "Dia adalah wanita terfavoritku yang pernah singgah di dalam hatiku" -Aldy Rifaldan --- -Hubungannya sudah kandas, tapi kenangannya masih berbekas- --- Nasyila Azzahra atau sebut saja Syila, Wanita cantik pindahan dari Bandung yang memikat banyak hati lelaki yang melihatnya. Salah satunya ad...
To the Bone S2
392      285     1     
Romance
Jangan lupa baca S1 nya yah.. Udah aku upload juga .... To the Bone (untuk yang penah menjadi segalanya) > Kita tidak salah, Chris. Kita hanya salah waktu. Salah takdir. Tapi cintamu, bukan sesuatu yang ingin aku lupakan. Aku hanya ingin menyimpannya. Di tempat yang tidak mengganggu langkahku ke depan. Christian menatap mata Nafa, yang dulu selalu membuatnya merasa pulang. > Kau ...
Veintiséis (Dua Puluh Enam)
813      449     0     
Romance
Sebuah angka dan guratan takdir mempertemukan Catur dan Allea. Meski dalam keadaan yang tidak terlalu baik, ternyata keduanya pernah memiliki ikrar janji yang sama sama dilupakan.
Army of Angels: The Dark Side
34744      5994     25     
Fantasy
Genre : Adventure, Romance, Fantasy, War, kingdom, action, magic. ~Sinopsis ~ Takdir. Sebuah kata yang menyiratkan sesuatu yang sudah ditentukan. Namun, apa yang sebenarnya kata ''Takdir'' itu inginkan denganku? Karir militer yang telah susah payah ku rajut sepotong demi sepotong hancur karena sebuah takdir bernama "kematian" Dikehidupan keduaku pun takdir kembali mempermai...
Si Mungil I Love You
616      369     2     
Humor
Decha gadis mungil yang terlahir sebagai anak tunggal. Ia selalu bermain dengan kakak beradik, tetangganya-Kak Chaka dan Choki-yang memiliki dua perbedaan, pertama, usia Kak Chaka terpaut tujuh tahun dengan Decha, sementara Choki sebayanya; kedua, dari cara memperlakukan Decha, Kak Chaka sangat baik, sementara Choki, entah kenapa lelaki itu selalu menyebalkan. "Impianku sangat sederhana, ...
Million Stars Belong to You
495      266     2     
Romance
Aku bukan bintang. Aku tidak bisa menyala diantara ribuan bintang yang lainnya. Aku hanyalah pengamatnya. Namun, ada satu bintang yang ingin kumiliki. Renata.
Backstreet
1353      566     1     
Fan Fiction
A fanfiction story © All chara belongs their parents, management, and fans. Blurb: "Aku ingin kita seperti yang lain. Ke bioskop, jalan bebas di mal, atau mancing di pinggiran sungai Han." "Maaf. But, i really can't." Sepenggal kisah singkat tentang bagaimana keduanya menyembunyikan hubungan mereka. "Because my boyfie is an idol." ©October, 2020
My SECRETary
554      352     1     
Romance
Bagi Bintang, menjadi sekretaris umum a.k sekum untuk Damar berarti terus berada di sampingnya, awalnya. Tapi sebutan sekum yang kini berarti selingkuhan ketum justru diam-diam membuat Bintang tersipu. Mungkinkah bunga-bunga yang sama juga tumbuh di hati Damar? Bintang jelas ingin tahu itu!
Train to Heaven
1008      658     2     
Fantasy
Bagaimana jika kereta yang kamu naiki mengalami kecelakaan dan kamu terlempar di kereta misterius yang berbeda dari sebelumnya? Kasih pulang ke daerah asalnya setelah lulus menjadi Sarjana di Bandung. Di perjalanan, ternyata kereta yang dia naiki mengalami kecelakaan dan dia di gerbong 1 mengalami dampak yang parah. Saat bangun, ia mendapati dirinya berpindah tempat di kereta yang tidak ia ken...