Edna tak pernah berpikir bahwa mimpi yang ia alami terasa nyata. Pertemuannya dengan lelaki muda yang tampan di mimpinya sudah mengubah cara pandangnya selama ini
Edna meyakini bahwa mimpi hanyalah mimpi, tidak ada mimpi pertanda. Seandainya pun ada, ia tak boleh terlalu berlarut-larut dalam kesedihan. Manusia manapun tak pernah menjadi kekal, mereka akan menemui ajalnya pada waktu yang tak terduga.
Ia merasa bersyukur karena masih diberikan umur panjang hingga bisa mengurusi anaknya sampai umur yang terbilang matang
Hanya saja masih tersisa keraguan dalam dirinya. Bagaimana nanti anaknya akan hidup seorang diri. Bahkan anaknya tidak bisa mencuci bajunya sendiri ataupun menjemurnya di balkon apartemen mereka.
Edna bangun dengan melewati banyak pemikiran paling sulit di hidupnya. Di satu sisi, ia mulai merasa lega dan tenang. Entah mengapa ia tak lagi terbangun dengan keringat bercucuran maupun kegelisahan. Semuanya musnah
Suara kelontang yang cukup keras mengangetkannya. Ia segera melemparkan selimutnya dan segera turun dari ranjang. Kakinya bergerak cepat menuju sumber suara.
Di depan matanya saat ini, Anaknya yang berada di kursi roda sedang berusaha mengambil mangkok besi anti karat yang ternyata tak sengaja jatuh tersenggol. Anaknya melihat ke arah Edna sambil melongo
“A-apa yang terjadi?”
“Ibu-“ Anaknya menelan ludah. “Bagaimana caranya mencuci piring?” Senyum konyol mengemban di wajahnya, ia tersipu malu
Tanpa sadar Edna tersenyum kecil, air matanya tak sengaja jatuh. Ia tak peduli tentang hidupnya selama ini, tapi saat ini anaknya berada di depan matanya sedang berusaha melakukan pekerjaan yang biasanya ia lakukan. Anak laki-lakinya bergerak selayaknya manusia normal tanpa kekurangan. Roda kursi itu terus bergerak dengan lincah
“Hari ini, pacarku akan datang, mungkin kami akan membicarakan tentang pernikahan.” Mata anaknya begerak-gerak ragu
“Apa?! Kau punya pacar?” Edna terkejut bukan main
Anaknya mengangguk perlahan, “Bagaimanapun aku juga bisa merasakan cinta, kan?” anaknya menjulurkan lidah mengejek
Edna segera menarik kursi roda anaknya, mendekatkan kursi ke meja makan. Edna duduk di seberang anaknya
“Ceritakan, ceritakan lebih banyak lagi. Bagaimana bisa kau bertemu gadis ini?
“Di tempatku bekerja, kami sering melakukan panggilan video saat bekerja. Tau-tau rasanya sengatan listrik menyetrum. Pertama kalinya bagiku untuk merasa jatuh cinta. Aduh! Aku jadi malu! Ibu jangan Tanya seperti ituu...” anaknya menutup wajah dengan kedua tangannya sembari menggeleng-geleng kecil.
Edna tak bisa menyembunyikan senyumannya. Hari itu, adalah hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Itu membuatnya melupakan mimpi buruk yang terus-terusan menyerangnya. Tahun-tahun kedepannya mungkin kebahagiaan akan terus datang silih berganti. Karena manusia tidak pernah tau kapan ia akan berhenti untuk menikmati hidupnya sendiri