“Kursi apakah kali ini anda akan kembali kebesi tua itu ?” tanya mikrofon itu.
“Tentu saja tidak!” jawab sang kursi dengan penuh keangkuhan.
“Kenapa tidak? Bukankah kursi yang adil itu sudah memberimu selembar surat beserta peringatanya?” Tanya mikrofon yang penasaran .
“Selembar kertas dan peringatan itu tak berguna bagiku dan tak kan mempan bagiku ?” Setelah menjawab itu kursi pun tertawa terbahak-bahak .
“Kenapa bisa tak mempan??”
“Sudahh lahh kau jangan tanya terus!!” jawab kursi dengan emosi lalu pergi meninggalkan mikrofon sendiri.Setelah itu hilanglah suara mikrofon beserta kursi tersebut entah kemana mereka pergi . Semenjak terjadi pembicaraan tersebut kursi pun bungkam dan tak ada kabar bagaikan ditelan angin.
Apabila dibayangan betapa enaknya kursi itu di duduki, dibuat untuk bersantai dan yang paling enak adalah dibuat untuk tidur, maka kata yang pantas adalah nikmat mana lagi yang kau dustakan wahai kursi-kursi.
Tokk... tokkkk... tokkkk..
Lamunanku sejenak buyar mendengar suara ketukan dari luar rumah dan ternyata cik iin datang dengan membawakanku selembar kertas.
“Apa itu cik?” Tanyaku dengan penasaran .
“Ini ada surat dari pak kades.” Jawab cik iin sambil menyodorkan kertas tersebut.
Tanpa berfikir panjang langsung kuambil kertas itu tanpa memperdulikan cik iin yang sepertinya berbicara tapi entah apa itu, kubuka kertas tersebut dan ternyata kertas tersebut membuat ku bertemu dengan kursi yang paling rendah di kelurahan. Setelah itu kujalani kehidupanku dikelurahan selama beberapa tahun kumengabdi untuk desa ini, kumulai bosan kuinginkan kursi yang lebih tinggi kuinginkan kursi yang banyak warna hijaunya kuinginkan itu. Dengan modal nekat ku dan bersama cik iin ku melangkahkan kakiku mengikuti pemilihan di daerah dan tak kusangka-sangka modal omong doang dan beberapa lembar kertas bergambar pahlawan bersama cik iin kubisa meraih kursi itu, betapa senangnya hatiku, gembira tak karuan. Hari-hari kulewati dan lama-lama kubosan dengan semua ini kuinginkan kursi yang lebih dan lebih enak dan juga kuinginkan punya mikrofon yang mengungkap kegiatanku sehari-hari. Setelah kupikir panjang bersama cik iin kami memutuskan untuk maju lagi dalam pemilihan dan kami berharap kursi yang kami dapat lebih enak dan yang pasti, dan tempat kursi itu dingin,sedingin dikutub utara. Dengan dorongan dari kursi yang lebih kuat ku bisa menempati kursi yang kuidam-idamkan dan kupunya kursi yang kuat, sekuat kekuasaanku saat ini. Cik iin partner terbaikku dia juga yang membuatku bersemangat dalam memperebutkan kursi yang lebih kuat ini dan membuatku mempunyai relasi antar kursi-kursi yang ada dari kursi perwakilan sampai kursi keadilan. Dan tak kusangka selain cik iin patnerku yang terbaik, dia yang mendorongku dari kursiku dan membuatku terjatuh dan dihampiri banyak sekali mikrofon-mikrofon dengan beribu pertanyaan dan membuatku berurusan dengan kursi keadilan. Namun hatiku tetap tenang walaupun aku jatuh kumasih bisa bangkit dan duduk dikursiku lagi dengan banyaknya lembaran bergambar pahlawan yang ku punya, walaupun ku harus mendekam beberapa saat dibesi tua ini tapi kuyakin kubisa keluar . Kelicikan cik iin padaku tak kan mempan dalam hatiku ku hanya bisa tertawa,
“hahahaha....cak iin sungguh lucu sekali tingkahmu padaku”
Setelah perilaku cak iin padaku yang membuatku terjatuh kuputuskan untuk meninggalkan dia kulupakan dia yang pernah menjadi partner kerjaku. Sudah kubilang sejak lama ku takan lama berada di besi tua itu dan itu terbukti hanya beberapa saat aku di besi tua itu karena relasi kursiku yang tingi dan banyaknya selembaran gambar pahlawan yang ku punya kubisa keluar dan menghirup udara segar. Namun setelah kejadian itu kursi keadilan mengawasiku lebih ketat entah itu masalah kehidupan pribadiku sampai finansialku pun juga diawasi, mikrofon-mikrofon juga sering datang kerumahku entah apa yang akan mereka lakukan, memang aku dulu mendambakan mikrofon ada namun buka mikrofon yang suka bertanya tapi mikrofon pembangkit kursiku agar kursiku kuat, bukan mikrofon abal-abal yang suka bertanya hal-hal yang tak penting bagiku.
Lama – kelamaan mikrofon-mikrofon ini membuat ku risi karena pertanyaan-pertanyaannya seperti ,
“bagaimana anda bisa keluar dari besi tua itu?”
“apa hubungan anda dengan cak iin?”
“kenapa anda memutuskan untuk menjauh dari cak iin padahal dia adalah partner terbaik anda?”
Dan masih banyak lagi pertanyaan dari mikrofon-mikrofon tersebut , pertanyaan yang tak pernah diganti oleh mikrofon-mikrofon ini. Pagi , siang sore, bahkan malam pun mereka setia menunggu didepan rumahku menantikan jawabanku. Entah jawaban seperti apa yang mereka inginkan, tapi kutak bisa memberikannya.
Tepat seminggu setelah ku keluar dari besi tua itu aku mendapatkan amplop yang berisi surat pemberitahuan dan tak kusangka itu berasal dari kursi keadilan, dan dalam surat itu kursi keadilan mengharapkan ku hadir dalam ruangannya. Otakku bingung , perasaanku bimbang dan pikiranku kacau, ada apa lagi ini, dalam hatiku bertanya-tanya
Kring.... kring.... kring.....
Suara dering telfon membuatku harus beranjak dari tempatku duduk kuangkat .
“iya , halo..?”
..................
“iya benar , kenapa ya ..?
...................
“apa?? Jangan seperti itu lahh., kita kan te.”...tut..tuttt...tut. jawabku dengan nada yang agak tinggi dan dengan suara yang agak cemas.
Telfon pun putus, telfon tadi membuatku semakin terpuruk dan membuat semakin banya mikrofon datang dan dalam hatiku berbisik pasti sekarang cik iin senang bersama kursi -kursi perwakilan yang lain dan sekaranglah aku yang menjadi tumbalnya dari kursiku sendiri.
Kukeluar dari rumah mikrofon-mikrofon itu menodongku dengan berjuta pertanyaan yang membuatku bingung harus kujawab atau tidak, dan kuputuskan kutak menjawab ku langsung pergi dari rumah menuju ruangan kursi perwakilan yang berada dipusat kota kuharus tau apa yang sebenarnya terjadi kenapa kubisa terkena masalah seperti ini , ada permainan apa yang terjadi, pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul terus dalam benakku , setelah menempu beberapa menit sampailah ku digedung megah nan indah tempat kursi-kursi perwakilan berkumpul, tanpa basa-basi lagi ku melangkah menuju ruangan tempat para kursi berkumpul dan tak kusangka ku melihat cak iin yang sudah duduk dikursiku sekarang, dan kursi cak iin dahulu sudah di duduki oleh orang baru, betapa sakitnya hatiku kuingin menegur tapi apalah dayaku, kusadar kusudah dibuang dijadikan kambing hitam kusudah tersisih tak ada lagi tempat kursi ku lagi. Akhirnya ku pun kembali kerumah dan mikrofon-mikrofon belum juga pergi, kuturun dari mobil dan kuberada di kerumunan mikrofon-mikrofon itu dan mereka berulang kali menanyakan hal yang sama padaku. Kukumpulkan tenaga untuk berbicara pada mikrofon ini dan akhirnya kuberanikan diri dan berkat pada mikrofon tersebut,
“Saya akan kekursi pengadilan karena saya memakan uang kalian”.
THE END
KENIKMATAN KURSI
“Kursi apakah kali ini anda akan kembali kebesi tua itu ?” tanya mikrofon itu.
“Tentu saja tidak!” jawab sang kursi dengan penuh keangkuhan.
“Kenapa tidak? Bukankah kursi yang adil itu sudah memberimu selembar surat beserta peringatanya?” Tanya mikrofon yang penasaran .
“Selembar kertas dan peringatan itu tak berguna bagiku dan tak kan mempan bagiku ?” Setelah menjawab itu kursi pun tertawa terbahak-bahak .
“Kenapa bisa tak mempan??”
“Sudahh lahh kau jangan tanya terus!!” jawab kursi dengan emosi lalu pergi meninggalkan mikrofon sendiri.Setelah itu hilanglah suara mikrofon beserta kursi tersebut entah kemana mereka pergi . Semenjak terjadi pembicaraan tersebut kursi pun bungkam dan tak ada kabar bagaikan ditelan angin.
Apabila dibayangan betapa enaknya kursi itu di duduki, dibuat untuk bersantai dan yang paling enak adalah dibuat untuk tidur, maka kata yang pantas adalah nikmat mana lagi yang kau dustakan wahai kursi-kursi.
Tokk... tokkkk... tokkkk..
Lamunanku sejenak buyar mendengar suara ketukan dari luar rumah dan ternyata cik iin datang dengan membawakanku selembar kertas.
“Apa itu cik?” Tanyaku dengan penasaran .
“Ini ada surat dari pak kades.” Jawab cik iin sambil menyodorkan kertas tersebut.
Tanpa berfikir panjang langsung kuambil kertas itu tanpa memperdulikan cik iin yang sepertinya berbicara tapi entah apa itu, kubuka kertas tersebut dan ternyata kertas tersebut membuat ku bertemu dengan kursi yang paling rendah di kelurahan. Setelah itu kujalani kehidupanku dikelurahan selama beberapa tahun kumengabdi untuk desa ini, kumulai bosan kuinginkan kursi yang lebih tinggi kuinginkan kursi yang banyak warna hijaunya kuinginkan itu. Dengan modal nekat ku dan bersama cik iin ku melangkahkan kakiku mengikuti pemilihan di daerah dan tak kusangka-sangka modal omong doang dan beberapa lembar kertas bergambar pahlawan bersama cik iin kubisa meraih kursi itu, betapa senangnya hatiku, gembira tak karuan. Hari-hari kulewati dan lama-lama kubosan dengan semua ini kuinginkan kursi yang lebih dan lebih enak dan juga kuinginkan punya mikrofon yang mengungkap kegiatanku sehari-hari. Setelah kupikir panjang bersama cik iin kami memutuskan untuk maju lagi dalam pemilihan dan kami berharap kursi yang kami dapat lebih enak dan yang pasti, dan tempat kursi itu dingin,sedingin dikutub utara. Dengan dorongan dari kursi yang lebih kuat ku bisa menempati kursi yang kuidam-idamkan dan kupunya kursi yang kuat, sekuat kekuasaanku saat ini. Cik iin partner terbaikku dia juga yang membuatku bersemangat dalam memperebutkan kursi yang lebih kuat ini dan membuatku mempunyai relasi antar kursi-kursi yang ada dari kursi perwakilan sampai kursi keadilan. Dan tak kusangka selain cik iin patnerku yang terbaik, dia yang mendorongku dari kursiku dan membuatku terjatuh dan dihampiri banyak sekali mikrofon-mikrofon dengan beribu pertanyaan dan membuatku berurusan dengan kursi keadilan. Namun hatiku tetap tenang walaupun aku jatuh kumasih bisa bangkit dan duduk dikursiku lagi dengan banyaknya lembaran bergambar pahlawan yang ku punya, walaupun ku harus mendekam beberapa saat dibesi tua ini tapi kuyakin kubisa keluar . Kelicikan cik iin padaku tak kan mempan dalam hatiku ku hanya bisa tertawa,
“hahahaha....cak iin sungguh lucu sekali tingkahmu padaku”
Setelah perilaku cak iin padaku yang membuatku terjatuh kuputuskan untuk meninggalkan dia kulupakan dia yang pernah menjadi partner kerjaku. Sudah kubilang sejak lama ku takan lama berada di besi tua itu dan itu terbukti hanya beberapa saat aku di besi tua itu karena relasi kursiku yang tingi dan banyaknya selembaran gambar pahlawan yang ku punya kubisa keluar dan menghirup udara segar. Namun setelah kejadian itu kursi keadilan mengawasiku lebih ketat entah itu masalah kehidupan pribadiku sampai finansialku pun juga diawasi, mikrofon-mikrofon juga sering datang kerumahku entah apa yang akan mereka lakukan, memang aku dulu mendambakan mikrofon ada namun buka mikrofon yang suka bertanya tapi mikrofon pembangkit kursiku agar kursiku kuat, bukan mikrofon abal-abal yang suka bertanya hal-hal yang tak penting bagiku.
Lama – kelamaan mikrofon-mikrofon membuat ku risi karena pertanyaan-pertanyaannya seperti ,
“bagaimana anda bisa keluar dari besi tua itu?”
“apa hubungan anda dengan cak iin?”
“kenapa anda memutuskan untuk menjauh dari cak iin padahal dia adalah partner terbaik anda?”
Dan masih banyak lagi pertanyaan dari mikrofon-mikrofon tersebut , pertanyaan yang tak pernah diganti oleh mikrofon-mikrofon ini. Pagi , siang sore, bahkan malam pun mereka setia menunggu didepan rumahku menantikan jawabanku. Entah jawaban seperti apa yang mereka inginkan, tapi kutak bisa memberikannya.
Tepat seminggu setelah ku keluar dari besi tua itu aku mendapatkan amplop yang berisi surat pemberitahuan dan tak kusangka itu berasal dari kursi keadilan, dan dalam surat itu kursi keadilan mengharapkan ku hadir dalam ruangannya. Otakku bingung , perasaanku bimbang dan pikiranku kacau, ada apa lagi ini, dalam hatiku bertanya-tanya
Kring.... kring.... kring.....
Suara dering telfon membuatku harus beranjak dari tempatku duduk kuangkat .
“iya , halo..?”
..................
“iya benar , kenapa ya ?
........................
“apa?? Jangan seperti itu lahh., kita kan te.”...tut..tuttt...tut. jawabku dengan nada yang agak tinggi dan dengan suara yang agak cemas.
Telfon pun putus, telfon tadi membuatku semakin terpuruk dan membuat semakin banya mikrofon datang dan dalam hatiku berbisik pasti sekarang cik iin senang bersama kursi -kursi perwakilan yang lain dan sekaranglah aku yang menjadi tumbalnya dari kursiku sendiri.
Kukeluar dari rumah mikrofon-mikrofon itu menodongku dengan berjuta pertanyaan yang membuatku bingung harus kujawab atau tidak, dan kuputuskan kutak menjawab ku langsung pergi dari rumah menuju ruangan kursi perwakilan yang berada dipusat kota kuharus tau apa yang sebenarnya terjadi kenapa kubisa terkena masalah seperti ini , ada permainan apa yang terjadi, pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul terus dalam benakku dan membuatku frustasi , setelah menempu beberapa menit sampailah ku digedung megah nan indah tempat kursi-kursi perwakilan berkumpul, tanpa basa-basi lagi ku melangkah menuju ruangan tempat para kursi berkumpul dan tak kusangka ku melihat cak iin yang sudah duduk dikursiku sekarang, dan kursi cak iin dahulu sudah di duduki oleh orang baru, betapa sakitnya hatiku kuingin menegur tapi apalah dayaku, kusadar kusudah dibuang dijadikan kambing hitam kusudah tersisih tak ada lagi tempat kursi ku lagi. Akhirnya ku pun kembali kerumah dan mikrofon-mikrofon belum juga pergi, kuturun dari mobil dan kuberada di kerumunan mikrofon-mikrofon itu dan mereka berulang kali menanyakan hal yang sama padaku. Kudiam sejenak berfikir dan mencoba berfikir jernih , mengumpulkan tenaga untuk berbicara pada mikrofon ini dan akhirnya kuberanikan diri dan berkat pada mikrofon tersebut,
the end
Beginningnya udh bikin penasaran nih, sukses selalu 😊 Jika berkenan mampir dan like story aku ya https://tinlit.com/read-story/1436/2575.. Terima kasih :)