Read More >>"> Dua Warna (Bab 2: Perbedaan yang Nyata) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dua Warna
MENU
About Us  

"Terima kasih, Jingga, atas kerja kerasnya hari ini. Ah iya, tumben sekali hanya sendirian, harusnya ada manager kamu, kan?" 

Dewangga, bukan Jingga. Namun kali ini Dewangga memang sedang menyamar sebagai adik kembarnya untuk shooting perdana di flm remaja yang akan ditayangkan beberapa bulan ke depan. Seharusnya yang dikatakan sutradara memanglah benar, ada managernya, alias Kayra--sang mama. 

Hanya saja, Dewangga cukup sadar jika Kayra tak akan menemaninya seperti menemani Jingga. Kayra hanya peduli pada anak bungsunya, sementara si sulung tidak begitu dipedulikan. Itu saja intinya. 

"Ada urusan lain," ucap Dewangga tanpa mau memperpanjang obrolan. Ia pamit segera, diangguki sang sutradara disertai kata-kata penyemangat singkat. 

Sejujurnya, Dewangga tidak mau melakukan ini semua. Sejak kecil, Dewangga tidak terlalu dikenal orang luar karena--katanya--ia sempat didiagnosis cacat mental. Hingga keluarganya, lebih tepatnya mamanya menyembunyikan Dewangga jauh dari pandangan orang-orang. Nyatanya, diagnosis itu sekarang terbukti tidak benar. Dewangga normal, sama seperti adik kembarnya, Jingga. 

Namun, itu semua sudah terlanjur. Dewangga tak banyak diketahui sanak saudara jauh, keberadaannya tidak dianggap di muka bumi. Maka dari itu, ia hanya menuruti perintah mamanya untuk menggantikan pekerjaan Jingga jika lelaki itu tengah kelelahan atau memiliki urusan lainnya. Menyebalkan, tapi Dewangga tidak bisa menolak, atau ia bisa saja diusir dari rumah. Sekali lagi, hidupnya memang menyebalkan. 

Di tengah lamunannya seraya membaca beberapa naskah dialog, sang sopir menghampiri Dewangga dan memberikan ponsel di mana pesan dari Kayra terpampang jelas di sana. Kayra menanyakan bagaimana kegiatannya, apakah Dewangga mengacaukan atau sebaliknya. 

"Sejak tadi Nyonya menghubungi, tolong dijawab, Tuan," ucap sopir yang menemani Dewangga sejak kedatangannya ke lokasi shooting--Pak Diwa.

Dewangga menghela napas, langsung menekan ikon berbentuk telepon lalu mendekatkan ponsel pada telinganya. 

"Halo, Dewa bagaimana--"

"Lancar. Besok dilanjut, beritahu Jingga untuk segera menghafal naskah." Tanpa basa-basi Dewangga memberikan apa yang ia pikirkan. Lagi pula, Dewangga tahu, Kayra tidak mau berlama-lama berbicara dengannya, maka dari itu Dewangga segera mematikan sambungan telepon. 

"Hidup ini sial sekali," gumam Dewangga saat ia memberikan ponselnya pada pak Diwa, membuat sopir itu terdiam, ia amat mengerti perasaan Dewangga, sebab sudah beberapa tahun bekerja di kediaman Askala. 

Mau bagaimana lagi? Dewangga memang sudah sepatutnya terus mengikuti apa yang Jingga mau, hingga kebebasannya sendiri direbut tanpa sisa. 

.🌷.

"Dewa! Dewa!" 

Dewangga memejamkan matanya sejenak menanggapi panggilan disertai ketukan pintu kamarnya. Terpaksa, ia bangkit dari aksi rebahannya untuk merilekskan semua otot yang terasa tegang karena baru pulang dari lokasi shooting pukul 19.00 malam. Membuka pintunya, Dewangga melayangkan tatapan datar pada Jingga yang berdiri berhadapan dengannya saat ini. 

"Makan malam, Wa, jangan dilewat," ucap Jingga seraya melengos pergi. 

Dewangga memang butuh makan. Mau tak mau ia menuruni tangga menuju ke ruang makan yang ada di lantai satu. Semua makanan sudah hampir semuanya tersaji, dua pelayan rumah sedang menyiapkannya. 

Sarapan, makan siang, dan makan malam. Dewangga akan menikmatinya di tempat yang sama, sepi dan dan dingin, termasuk jika ada mama dan adiknya. Mereka hanya akan sibuk berdua, mengabaikan presensi Dewangga yang nyatanya bisa dilihat oleh mata telanjang. Seperti sekarang ini, ketika semua hidangan tersaji dan waktunya makan, Kayra hanya menatap pada Jingga dan mengabaikan Dewangga. Mereka makan malam nikmat berdua, membiarkan Dewangga sibuk sendiri dengan lamunan dan kejengkelan dalam hati.

Meskipun begitu, Dewangga sudah terbiasa. Tak lagi berharap Kayra akan menatapnya dan menanyakan apakah makanannya enak atau tidak.

Hingga akhir makan malam ini, Dewangga hendak pamit pergi saja, jika Kayra tak menahannya.

"Sebentar, Dewa. Ada yang ingin dibicarakan lebih dulu," ucap Kayra membuat Dewangga kembali mendudukkan diri di kursinya. 

"Ada apa, sih, Ma?" Jingga bertanya penasaran, sepertinya apa yang akan dibicarakan Kayra amatlah penting. Jarang sekali Kayra mengajak bicara bertiga seperti ini. 

"Ini tentang pertunangan Jingga. Minggu depan, keluarga perempuan akan datang kemari untuk melakukan pertemuan. Jadi mama harus mengirim Dewa ke luar kota, tinggal sendiri untuk sementara waktu, dan kamu Jingga, kamu bersiap-siap dan terimalah calon tunangan kamu nanti." Kayra menjelaskannya tanpa ragu, bahkan tanpa mau mendengar persetujuan atau protes sekalipun, membuat Jingga menganga di tempatnya saat ini. 

"Ma?!" Jingga melotot, menatap Kayra tidak menyangka. "Kenapa tiba-tiba tunangan?!" 

Kayra menatap Jingga sejenak. "Keluarga itu, keluarga pebisnis besar. Teman dekat Papa dulu, sekarang mereka kembali hanya karena perjanjian Papa. Akan ada satu anaknya yang dijodohkan dengan salah satu anak Papa. Itu saja. Tidak ada alasan lain selain kita harus menerima, meskipun Papa sudah tidak ada," jawab Kayra, kian membuat Jingga tak terima. 

"Kenapa harus Jingga?! Dewa aja belum tunangan, Ma?!" teriak Jingga, jelas ia tidak mau melakukan hal itu. Ia tidak mau bertunangan. "Ma, Jingga udah punya pacar!" 

"Siapa memangnya pacar kamu?" Kayra mengangkat sebelah alisnya. "Bagaimana latar belakang keluarganya? Apa lebih baik dari latar belakang keluarga Permana?" 

Mulut Jingga yang terbuka langsung tertutup rapat mendengar pertanyaan yang terdengar. Keluarga Permana adalah keluarga dari sahabat Papanya yang sering diceritakan dengan bangga oleh Papanya pada Dewangga maupun Jingga saat kecil. Keluarga itu juga selalu menjalin kerja sama bisnis dengan keluarga Askala. Tidak mungkin Jingga tidak mengetahuinya. Hanya saja, kenapa sekarang langsung seperti ini? Tiba-tiba saja harus melakukan tunangan tanpa bisa ada penolakan dari mulutnya. Jingga amat tidak menyukainya. 

Jingga ingin bebas, ingin memilih siapa pun gadis yang akan menjadi miliknya nanti, bukan diatur oleh keluarga seperti ini. Sial sekali. Kedua tangan Jingga sampai mengepal erat, dalam hati terus mengeluarkan sumpah serapah yang entah kapan akan berhenti. 

"Jingga gak mau, Jingga gak bisa." Jingga mengembuskan napasnya kasar kala kata itu berhasil terucap di kedua belah bibirnya. "Ma, jangan seenaknya. Jingga bahkan gak kenal siapa calonnya." 

Kayra menghela napas. "Maka dari itu, mereka hendak kemari minggu depan. Calon tunangan kamu, yang tinggal di Australia itu, minggu depan akan tinggal di rumah ini. Sekalian agar kalian bisa mengenal sebelum ke proses selanjutnya." 

Mendengar penjelasan itu, Jingga berdecih pelan, bangkit dari kursinya untuk pergi meninggalkan ruang makan. Sementara Kayra hanya diam dan tak mengatakan apa pun lagi. 

Di lain sisi, Dewangga memperhatikan dan menyimak. Sudah sepatutnya begitu. Sekalipun ia diajak dalam perbincangan, pendapatnya tidak akan dibutuhkan, bahkan ditanyai pun tidak akan pernah. Dewangga tidak akan bisa menolak, atau membantah apa yang terjadi. 

"Kamu, siapkan barang-barang kamu mulai sekarang. Mama sudah sewakan guru privat untukmu nanti."

Dewangga terdiam dan membalasnya dengan anggukan. 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags