"Dewangga!"
Panggilan adiknya tak bisa ditolak, padahal Dewangga ingin segera mengistirahatkan diri setelah seharian ini pulang pergi menggantikan photoshoot adiknya. Segera Dewangga menghampiri, duduk di salah satu kursi yang berhadapan dengan meja makan, tepat di samping Jingga, adik kembarnya.
"Tentang tunangan gue--"
"Gak." Dewangga langsung memotong. "Itu tunangan lo. Bukan gue."
"Tapi Dewangga, gue gak suka sama ceweknya. Masa gue harus maksain, sih?! Lagian 'kan ini cuman tunangan, jadi mending lo gantiin gue sementara." Jingga berusaha membujuk, menarik-narik lengan kemeja yang Dewangga kenakan.
Dewangga menggeleng keras. "Kalau gitu. Lo lakuin sendiri."
"Dewangga!" Jingga menarik lengan kakak kembarnya, lagi-lagi ia memohon. "Gue gak ada jalan lain, gue udah punya pacar! Gue gak bisa tunangan sama orang lain, Dewangga! Lo 'kan gak punya cewek."
Dewangga melirik Jingga sekilas, kemudian mengedikkan pundak. "Udah cukup gue bohongin publik, kalau perasaan orang lain, gue gak mau."
Dirasa tidak ada cara lain untuk membujuk kakaknya, Jingga berdecih pelan, lantas berlari menjauh dari ruang makan.
"Fine! Gue juga gak mau hidup di sini lagi! Tanggung semuanya sendiri! Gue kabur!" ucapnya seraya membuka pintu utama.
Dewangga melotot. Tidak, bukan itu yang ia harapkan. Jadinya ia segera mengejar Jingga yang sudah mengenakan helmnya, bersiap pergi dari rumah.
"Jingga! Gak usah nekat, lo!" Dewangga mencegah, menghalangi laju motor adiknya. "Oke, gue mau! Puas lo?!"
Jingga tersenyum penuh kemenangan. Kakaknya adalah raganya, sementara ia adalah jiwa. Dua itu tidak bisa berpisah begitu saja.