Pekerjaan rumah itu kewajiban untuk perempuan. Apalagi saat anak remaja, pasti kesal ketika lagi asik dengan ponsel tapi harus di suruh ke warung untuk membeli bumbu masak. Atau saat menonton tv kemudian dari arah dapur berteriak meminta di potongin cabai. Atau saat lagi membuat video joget sok kecantikan dan di panggil untuk menyuci tumpukan piring. Yang paling menyebalkan adalah ketika sedang mengerjakan tugas lalu mengeluh,
“Duuh, punya anak berasa gak punya. Gak adaa bantuin Ibunya sama sekali. Coba kalau minta jajaan, beuuh. Mamakku sayang lah katanya, di cium-cium lah aku, semua-semua manis kelakuan dia itu. Kalau anak orang bawa rejekii, anak ku bawanya matii lah situu.”
Kenangan lucu yang tidak pernah Gian rasakan.
Gian terlahir dari dua anak remaja yang belum siap berumah tangga. Kecelakaan yang mereka sebut-sebut menyenangkan itu melahirkan Gian secara sempurna tanpa cacat, sehat lahir dan batin. Setahun pertama rumah tangga mereka baik-baik saja. Tapi ketika memasuki tahun kedua, ayah Gian berulah.
Suka mabuk-mabukan dan bermain perempuan. Sering meninggalkan teriakan di rumah dan tamparan keras di depan mata. Bukan sekali dua kali Gian menyaksikan kdrt tidak beradab itu dan Ibu selalu bersikap tangguh. Karena ibu tidak punya pilihan lain. Laki-laki yang sok hebat itu, yang mengumbar janji sialan dan keberanian tanpa bukti yang dia agung-agungkan-memilih meninggalkan orang tua.
Bahkan ketika dia pergi hingga umur Gian dua puluh satu tahun, tidak pernah sekalipun Gian bertemu nenek dari pihak manapun. Semuanya karena laki-laki itu. Laki-laki bejad yang membiarkan Gian menderita. Laki-laki bajingan yang merampas Ibunya dan menjadikan Gian seperti ini. Laki-laki bajingan yang-tidak terhitung sudah piring ke berapa Gian cuci. Lega sekali kalau melampiaskan amarah dengan menggosok sekuat-kuatnya.
“Fu*k.” umpatnya tertahan. Mencuci wadah yang sudah bersih itu semakin bersih lagi. Semakin lama semakin kuat hingga membuat tangannya perih dan berdarah.
Laki-laki sialan yang-dan menggosok lagi sampai air di westafel berubah merah. Gian tidak perduli. Semuanya sudah mati. Dan dia sangat menyadari bahwa tidak ada baiknya mengenang masa lalu.
Gadis tangguh itu pun berdiam sejenak, menarik nafas panjang lalu mengeluarkan tangan yang terkelupas kulitnya setengah untuk di cuci. Dibiarkannya tangannya berendam di bawah kuncuran air sembari tangan satunya sibuk membersihkan piring yan lain agar air terbuang dengan lancar. Seolah-olah busa yang masih tersisa tidak membuat luka itu semakin perih. Terlebih ketika Gian masih harus membersihkan piring yang berlumuran sabun.
Tidak ada rasa sakit dalam diri Gian. Goresan pisau di tangan yang membuat wanita normal menjerit hanyalah gigitan nyamuk di tubuhnya. Dan luka ini, hanyalah sebuah cakaran kucing genit yang minta terus di goda.
“Hhh.” desahnya, menyelesaikan pekerjaannya untuk beristirahat di kursi sebelah westafel. Di tatapnya dapur restaurant itu sebelum menunduk dalam. Shift malam mengharuskan Gian pulang pukul sebelas, butuh dua jam lagi sebelum dia bisa merebahkan tubuh di kasurnya yang keras. Namun restaurant tidak menunjukkan tanda-tanda sepi sama sekali. Penuh dan sialan menyusahkan karena pegawai bagian dapur harus cuti urusan keluarga.
Tapi tidak masalah. Sedikit menguntungkan untuk Gian yang butuh pelampiasan. Menyakiti tangannya yang sekeras batu dan mengeluarkan satu dua tetes darah cukup membuat Gian lupa. Tentang pelecehan sialan yang dia terima dan laki-laki biadab yang tidak akan pernah dia kenang sampai ka-
“Lo, gak pa-pa?”
Gadis dengan rambut di kuncir itu mendongak, menatap Andi yang memandanginya khawatir. Sering kali di abaikan dan menyebalkan karena dia tidak pernah menyadari bahwa kehadirannya mengganggu waktu sendiri Gian yang tenang. Namun senyuman tetap di paksa muncul walau tipis, “Gak pa-pa.”
“Tangan lo,”
Si tangguh hanya berdecak, “Biasa.” lalu bangkit berdiri.
“tapi itu berdarah Gi.”
Gian mengangguk.
“Gue obatin sini.” Andi sudah akan menarik tangan Gian tapi gadis itu lebih cepat menghindar.
“Sori,” ucapnya, “gue gak terbiasa di pegang cowok.” lalu pergi tidak perduli seberapa tercengangnya Andi dengan ucapan itu.
Beberapa kali Andi memang sering memperhatikannya. Tidak jarang pria itu secara terang-terangan menunjukkan keperdulian namun Gian tidak pernah memberikan balasan yang berarti. Sungguh Gian tidak punya waktu untuk romansa tidak jelas.
Satu pesanan di sebut dan Gian dengan sigap langsung mengantarkan piring ke meja yang di tuju. Tersenyum ramah bahkan tidak lupa menyapa dan menyampaikan untuk menikmati makanan sebelum berbalik dan kembali ke dapur.
Tidak ada yang perduli dengan tangannya yang masih mengeluarkan darah walau sedikit. Atau pada monolidnya yang lelah, atau kerutan di bawah matanya yang terlihat jelas. Tidak ada yang perduli dengan apa yang dia rasakan dan Gian sangat terbiasa dengan itu semua. Dia tidak butuh perhatian orang lain dan dia tidak ingin siapapun ada di dekat atau bahkan di sekitarnya.
****
Pukul setengah dua belas baru Gian keluar dari restaurant. Kepalanya mendongak menghirup udara Bandung yang dingin. Tidak perlu jaket untuk menutupi tubuh rampingnya atau hoodie misterius yang menutupi kepalanya. Gian adalah Gian. Hanya berbalutkan kaus yang dipadukan dengan kemeja flannel dan celana jeans.
“Gue anterin, yuk.”
Tentu jawabannya tidak. Dipandanginya Andi yang berharap, “Gak usah.”
“Udah malam Gi.”
“Bukan malam pertama yang mengharuskan gue pulang sendirian.”
“Tapi kali ini biar gue antar. Tangan lo itu, keadaan lo lagi ga-“
“Gue bisa sendiri Ndi.”
“baik-baik aja.” Andi menghela nafas panjang. “Sekali aja jangan keras kepala.” katanya lagi, sudah terlihat frustasi.
Gian merasakan pandangan Andi yang memohon tapi gadis itu tidak akan memberi celah untuk dirinya didekati.
Menyadari penolakan itu, Andi akhirnya mengalah dan mengangguk. “Setidaknya ijinin gue buat ngikutin lo sampai rumah kalau lo gak mau naik mobil gue.” ucapnya masih berusaha.
Gian sendiri sudah lelah menolak. Merepotkan orang bukan caranya. Karena dia tau pertolongan akan membuatnya bergantung. Dan bergantung pada manusia adalah patah hati yang paling hebat di bumi. Diberikannya Andi senyum tipis. “Thank you Ndi, tapi gue bisa sendiri.”
Dan Andi tahu memaksa pun tidak ada gunanya. Pria itu mengangguk membiarkan Gian setelah memberikan satu plaster luka pada Gian. “Itu, buat luka yang terbuka paling lebar.” katanya.
Kali ini Gian tidak menolak, tapi tidak juga menerima. Dia mengambil plaster luka itu dan segera beranjak, memecah malam Bandung dengan kakinya. Masih banyak yang melaju simpang siur, beberapa pasangan masih pada duduk di pojokan dekat penjual jagung rebus. Gian mengernyit, menyadari perutnya yang berbunyi.
Sungguh, gadis itu tidak merasa lapar sejak siang tadi. Emosi yang biasa dilampiaskan dengan makanan tidak lagi ampuh untuknya. Namun dia menyadari bahwa tubuhnya harus tetap bugar. Setidaknya sampai umur lima puluh. Karena dia masih ingin menikmati hidup menyebalkan ini untuk menyiksa dirinya sendiri semakin hebat.
Kakinya dia arahkan menuju supermarket terdekat. Membeli roti dan minuman kemudian memilih tempat duduk di sebuah taman tidak jauh dari rumahnya berada. Seharusnya dia pulang dan menikmati makanan ini di rumah. Atau bila perlu memasak bahan-bahan yang dia beli tadi siang.
Tadi siang sebelum bajingan itu merampas habis seleranya hingga dia harus terburu-buru pulang lalu pergi ke restaurant untuk melupakan kekesalan dan sakit hatinya. Kembali ke delapan jam lalu. Siang hari di pukul tiga sore. Segalanya masih berjalan lancar dan Gian hampir selesai membelanjakan jatah mingguannya sebelum iblis itu muncul.
Gian sungguh ahli membohongi dirinya sendiri dan orang lain. Ahli menipu perasaan dan ahli menjadikan dirinya aktris hebat dalam berakting. Hanya dalam waktu lima menit Gian memanipulasi siapapun yang melihatnya. Tangguh menjawab segala pertanyaan tidak masuk akal yang diajukan. Membalas segala perkataan menyakitkan dan merendahkan. Serta acuh tak acuh pada hal-hal yang menyakitinya.
Masih terasa jelas ciuman bajingan itu yang melumat habis bibirnya. Menjelajah mulutnya dan mengeksplor bebas yang membuat Gian ingin muntah. Gian ingin menolak, ingin sekali. Ingin memberontak dan memukulinya brutal. Namun Gian sadar bahwa hal yang paling menjijikkan adalah orang-orang semakin senang ketika kita menunjukkan ketidak tarikan. Apalagi perlawanan yang menantang. Hal-hal yang tidak masuk akal untuk si wanita yang tergolong jangkung tersebut.
Maka dari itu tangguh adalah jalan keluar terbaik. Membuat dirinya terbiasa hingga tidak ada lagi yang misterius dari dirinya. Tidak ada lagi yang membuat penasaran. Persetan dengan tanggapan bahwa dia adalah wanita murahan yang terbiasa dengan sentuhan buaya. Asal semuanya kembali seperti semula sebelum dia memilih jalan dari taman kampus agar tiba di perpustakaan lebih cepat karena harus terburu-buru mengejar mata kuliah.
Asal orang itu sadar bahwa Gian sama sekali tidak menarik diajak bermain. Asal orang itu sadar diluar sana banyak yang lebih indah yang bisa mengimbanginya. Bahwa Gian adalah manusia kaku yang tidak bisa berbaur walaupun faktanya begitu. Dan berhenti karena tau tidak ada yang menyenangkan.
Gigitan terakhir berhasil masuk ke dalam mulutnya. Dia merenung diam. Sekuat apapun dia membawa dirinya tegar, nyatanya kejadian itu mengganggunya. Meninggalkan bekas sialan yang menempel karena menjadi pertama kali untuk Gian di sentuh lelaki. Pertama kalinya berdekatan dengan lelaki apalagi berciuman dan-
Tanpa sadar air matanya menetes. Di sentuhnya dadanya yang mendapat remasan menjijikkan dari bajingan itu. Sakit. Dan Gian benci bahwa dia tidak bisa melawan atas pelecehan itu. Malu. Dan Gian tersiksa karena harus bertahan pada hal-hal yang nyaris membuatnya menyerah.
Tetesan air mata itu berubah kucuran. Gian lelah. Ditutupnya matanya yang mengeluarkan air mata semakin hebat. Perlu dua tangan untuk mulutnya juga yang sesenggukan. Gian tidak kuat. Pertahanan itu lenyap karena orang yang bahkan tidak genap satu hari dia kenal. Pertahanan yang dia bangun buyar hanya karena laki-laki yang bahkan tidak Gian ketahui namanya. Dan semakin ingin menyalahkan diri sendiri karena harus terjebak di situasi yang tidak menguntungkan.
Mungkin ada baiknya Gian sedikit menurunkan ego dan meminta maaf dengan baik. Membungkuk bila perlu agar dia berhenti dan tidak terus mengganggu Gian. Harusnya memilih mengalah agar semuanya baik-baik saja.
Tapi itu sudah terjadi dan Gian tidak bisa menjadikan dirinya kembali bersih. Menangis lagi semakin hebat hingga kepalanya sakit. Gian pusing, dirinya lelah dan jiwanya butuh istirahat. Gian tidak sedang baik-baik saja. Dan wanita itu harus menyadari bahwa dia tidak boleh terus menyiksa tubuh dan batinnya atau dia akan berakhir sama seperti remaja yang menghancurkan masa depannya itu.
****
Ale tidak pernah ambil pusing dengan apapun yang orang-orang katakan tentangnya. Tidak juga ingin memperbaiki sudut pandang karena Ale tidak perduli. Hidup cuma sekali dan menyenangkan diri adalah poin utama dari hidup. Tidak ada gunanya memikirkan orang karena Ale hanya hidup untuk kebahagiaannya saja.
Sex adalah salah satunya. Lalu kopi da kadang-kadang have fun di alam liar. Ale kotor dan dia sangat mengakui itu. Setiap wanita yang bersedia dia basmi, apalagi berstatus pacar. Ah, malam yang indah.
Kehidupan seperti ini sudah Ale jalani selama delapan tahun. Sunyi dan sendirian. Sedikitpun Ale tidak berniat menjadi baik untuk kembali pada dirinya saat Ibu masih ada. pria sukses di usia muda yang mengaku Ayah tidak pernah ia ketahui kabarnya. Mereka hidup terpisah sejak lama, Ale tidak perduli dengan beliau karena untuk Ale dia hanya sebatang kara di duni ini.
Hanya Ivan dan Dodi yang dia percaya melihat perjalanan hidupnya yang miris.
Ibunya pernah berpesan, bahwa menjadi apa adanya adalah kewajiban. Dibenci tidak masalah karena yang terpenting adalah tetap melakukan hal yang baik untuk orang lain, memiliki attitude selayaknya dan tidak menyusahkan sekitar. Ale menuruti semua nasihat beliau dengan sempurna.
Ale memang tidak baik, tapi dia tidak pernah mencari masalah jika bukan orang itu yang memulai. Ale hidup dengan caranya sendiri dan baik dalam sudut pandang Ale adalah tidak membuat orang lain tersiksa tanpa sebab. Namun untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun Ale melanggar pesan Mama.
Tentang pantangan dalam melecehkan perempuan.
Tidak perduli seberapa banyak dia melakukan sex, tidak pernah sekalipun ada paksaan disana. Keduanya sukarela dan sama-sama menikmati klimaks berulang kali. Ale puas dan lawan pun bahagia. Menikmati wajah tampan Ale berada di atasnya adalah anugrah dan Ale mensyukuri anugrah yang menguntungkan itu.
Tapi gadis ini.
Ale memandang sekali lagi pada wanita yang masih menangis dan berusaha keras menutupi suara. Tangannya mencengkram terlalu keras dan Ale tau bahwa cengkraman itu menyakitinya.
Fikiran Ale berkecamuk. Harus dia akui kejadian siang ini tidak bisa dia lupakan. Bagaimana bibir selembut sutra itu berada diantara bibirnya dan bagaimana payudara itu terasa pas sekali dalam genggamannya. Sial, itu terlalu indah dan terkutuklah Ale yang menikmati kemesumannya diatas penderitaan sang wanita.
“Anjing!” umpatnya saat suara yang tidak berhenti menghantam telinganya. Ale tidak tahu apa yang dia lakukan tapi perasaannya sungguh tidak tenang. Sebuah rasa bersalah menyebalkan yang menuntut penuntasan. Tapi Ale tidak tahu cara dan ketidaktahuan itu menjadikannya pengecut ulung yang selalu kabur saat ketahuan mencuri.
pria dengan kemeja hitam itu kembali ke mobilnya. Tanpa sedikitpun mampu mengalihkan pandangan dari punggung yang masih bergetar. “Anjing!” umpatnya tidak puas, lalu mengumpat lagi semakin keras hingga tangannya terluka.
Dilajukannya mobilnya tanpa otak. Membelah kerumunan hingga orang berlomba-lomba memakinya. Ale tidak perduli dengan kata biadab karena yang dia tahu tidak ada yang lebih biadab daripada tindakannya sendiri.