Gian tidak memiliki seorangpun untuk dia hampiri dan tempat manapun untuk dia singgahi selain peninggalan Ibunya ini. Satu-satunya harta yang membantunya bertahan hingga sekarang. Rumah minimalis yang cocok sekali dia tinggali sebatang kara.
Hidup Gian seperti satu garis lurus yang awal dan akhirnya tertulis jelas. Jam kuliah, jadwal kerja yang membosankan, dan waktu tidur yang kekurangan. Jam tiga siang Gian pasti pulang dari kampus, tiba di rumah tepat pukul setengah empat, kemudian makan siang dan bersiap-siap untuk bekerja. Lalu jika kedapatan shift pagi, Gian akan bangun kepagian. Sarapan seadanya, bersiap-siap untuk bekerja, lalu pukul empat akan berganti shift dan pergi ke kampus di mata pelajaran terakhir pada hari jum’at.
Selebihnya Gian hanya akan pulang ke rumah, beristirahat dengan tenang untuk menunggu esok hari yang lebih membosankan lagi. Beruntunglah kampus Gian bisa diajak bernegosiasi perihal jam kuliah.
Namun hari ini berbeda. Kepala Gian berat bukan main. Satu masalah di kampus yang menyita emosinya selama setengah hari penuh membuat mood Gian yang biasanya datar menjadi hancur total.
Dan gadis itu selalu melampiaskannya melalui makanan. Terkutuklah laki-laki gila yang terus menganggunya hanya karena tabrakan sialan yang membuat pantatnya sakit bukan main.
Satu bantingan terdengar ketika Gian memasuki rumah. Langsung beranjak ke dapur untuk memeriksa bahan apa saja yang bisa dia makan dan melaksanakan kunyahannya yang melelahkan. Somaynya tadi memang belum habis dan perutnya keroncongan sekarang.
Namun sepertinya hari ini benar-benar bermusuhan dengan Gian. Marah pun tidak ada gunanya. Diperiksanya dompet minimalis milik ibunya yang tidak pernah ia ganti selama delapan tahun itu, bernafas lega ketika dua lembar uang merah bertengger menyapanya lalu merengek ketika dia merampasnya paksa.
Si pendiam yang tidak dikenal siapapun dikampus itu langsung berangkat menuju supermarket terdekat. Biaya hidup seorang diri tidaklah besar. Selain rumah, ada beberapa puluh juta yang bisa Gian gunakan untuk hidup sebelum terluntang lantung menyesuaikan jam untuk pendidikan dan uang.
Warisan Ibunya hanya bertahan hingga dia SMA jadi Gian harus mati-matian kerja part time untuk memenuhi kebutuhan hidup sebatang karanya sampai sekarang. Tidak ada lagi penyesalan dalam dirinya, bahkan untuk bersedih pun dia tidak sudi. Perasaannya sudah mati dan air matanya kering sejak kejadian Delapan tahun lalu melahap habis kebahagiaannya.
Untuk apa dikenang.
Es batu yang hidup segan mati tak mau itu menolak mentah-mentah bernostalgia dengan kenangan suram. Karena itu dia berjalan dengan tergesa, langsung masuk ke supermarket. Mengabaikan pramuniaga yang menyapa, melesat menuju rak makanan instan dan daging-dagingan, berputar lagi menuju sayur-sayuran sebelum berhenti untuk mengumpat.
Persetan! Harinya benar-benar kacau balau.
Sang pembawa sial lagi-lagi hadir didepannya seperti bajingan yang tidak punya sopan santun.
***
Tidak terhitung berapa jumlah cup yang hancur di tangan Ale. Enam jam menyebalkan yang dia lalui tadi pagi menghancurkan waktu di jamnya yang lain. Ale tidak dalam mood apapun untuk bekerja dengan baik selayaknya pemilik Coffe shop yang rajin dan bertanggung jawab.
Melayani pelanggan terutama.
Ale tidak pernah keberatan untuk duduk manis dan menggoda beberapa wanita agar mereka betah kemudian datang lagi. Bila perlu membawa gadis lain yang ketagihan dengan senyumannya. Tidak masalah, asal setiap hari mereka menyempatkan hadir menghabiskan satu atau dua lembar uang bergambar senyuman.
Tapi Ale tidak bisa melakukan semuanya dengan normal hari ini. Fikirannya entah kemana. Dan jika meracik kopi menjadi satu-satunya kewarasan Ale selain bercinta maka kali ini, itu semua tidak ada artinya. Pahitnya kopi hitam bahkan tidak memberikan pengaruh apapun untuk otaknya yang nyaris gila.
Ale butuh pelampiasan lain dan rokok adalah jalan terdekat. Ditinggalkannya Coffe shop itu, membiarkan Ivan dan Dodi yang menghandle untuk satu hari ini. Si biang kerok benar-benar butuh udara segar dan berdiam diri tidak akan baik untuknya.
“Balik entar jam sepuluh. Lo butuh refresh biar waras lagi.”
Yang dijawab Ale dengan lambaian tangan. Tidak perlu jawaban untuk perkataan Dodi karena Ale sudah pasti datang tepat waktu. Dia tidak akan rela melampiaskan malam-malam panasnya dengan perempuan cantik di clubbing.
Jeep itu melaju cepat memecah jalanan Bandung. Sore hari yang sejuk. Hari ini Bandung tidak terlalu ramai dan mobil Ale bisa melenggang bebas tanpa hambatan. Sengaja Ale memilih supermarket yang lumayan jauh agar bisa menikmati angin yang membuatnya cukup santai.
Tapi acara santai yang singkat itu harus berhenti ketika siluet pemecah fikirannya terlintas memasuki sebuah supermarket. Ale tidak perlu berfikir panjang untuk memarkirkan mobilnya. Langsung memasuki supermarket yang sama untuk mencari si biang masalah di kepalanya itu.
“Sore mas.”
Tidak dia hiraukan sapaan mba supermarket tersebut. Langkahnya melaju cepat membelah lorong supermarket. Berputar kebingungan sebelum berhenti tepat di samping lemari pendingin. Gadis itu tengah menatapnya penuh amarah.
Namun senyum Ale mengembang lebar menyaksikan wajah merah padam itu. Berhasil, setidaknya dia bisa menyulut emosi wanita ini hanya dengan kehadirannya sendiri.
“Lo ngintilin gue?”
Ale mengedikkan bahu santai, “Mungkin?”
“Udah gila lo ya.” kemudian berbalik, dan Ale tidak mau kalah lagi untuk menahannya pergi. Tidak dia biarkan gadis itu memenangkan pertempuran untuk kesekian kali.
“Lo gak akan bisa lolos gitu aja.”
“Lepasin gak!”
“Gak untuk yang ketiga kalinya.”
“Mau lo apa sih?”
“Elo.”
“Maksud lo?”
“Gue mau elo.”
“Bener-bener lo ya,” di tunjuknya jidat Ale tanpa ragu, “Sakit lo emang.”
“Terserah lo mau nyebut gue apa tapi-“ ditariknya lagi lengan itu cepat, mencengkramnya cukup kuat tapi sial gadis itu tidak terlihat kesakitan. Ni cewek udah mati rasa? “selesaikan dulu masalah lo sama gue.”
“Oke!” bentaknya geram, “Lo mau apa? Ngomong dan jangan buang waktu gue dengan muncul di hadapan gue lagi kek gini.”
“Gue gak bisa pastiin.”
“Tapi lo yang minta selesain masalah! Buruan, apa?!”
“Gue mau lo jadi pacar gue.” entah kalimat dari mana itu karena Ale pun tidak sadar. Tapi tidak ada keraguan sama sekali dari ucapannya. Ale menawarkan secara sadar, atau meminta, atau memaksa tanpa bantuan alcohol sama sekali. Ini di luar rencananya tapi tidak juga buruk. Mungkin bermain-main sebentar dengan wanita tanpa rasa takut ini akan menyenangkan untuknya.
Gadis yang hingga saat ini tidak Ale ketahui namanya itu berdecih. Senyuman sinis yang selalu dia tunjukkan kembali terlihat. Monolidnya pun berubah datar dan salahkan jantung Ale yang lagi-lagi bergetar menyaksikan wajah tanpa ekspresi itu.
“Lo bener-bener ngabisin waktu gue.”
Semuanya terjadi begitu cepat. Ketika Ale kehilangan akal dan menarik gadis itu mendekat, bahkan memberanikan diri memeluk pinggangnya dan menyatukan dua bibir yang saling memaki itu. Ciuman yang begitu singkat. Tidak ada artinya dibandingkan ciuman lain yang pernah Ale rasakan. Tidak ada balasan, hanya bibir menempel dengan kering.
Tapi anehnya jantung Ale berguncang, matanya berkunang dan perasaannya berdisko merasakan dinginnya bibir yang selalu melawannya itu. Lalu dengan biadabnya dibukanya mulutnya setengah, hanya untuk membiarkan bibir bawah itu terlumat sempurna.
Fu*k! Lembut seperti sutra.
Beberapa waktu Ale masih menikmati bibir dingin tersebut, membebaskan lidahnya berkelana menikmati rasa vanilla yang gadis ini berikan. Seperti lupa daratan Ale enggan untuk berhenti. Bangsatnya, tangannya malah melalang buana mendekati dua gundukan yang kenyal. Tidak terlalu besar tapi menyenangkan, begitu pas di tangannya. Namun menyadari tidak adanya balasan atau bahkan perlawanan yang biasa dia terima, seketika Ale berhenti. Di tatapnya monolid datar itu lalu mengernyit.
“Udah puas?”
Tercengang.
“Enak? Atau lo mau sekalian bibir gue muasin yang ada di bawah lo? Cowok kayak lo pasti seneng ngerendahin perempuan begini.”
Dan terhina.
“Kalau menurut lo itu bisa buat lo berhenti ganggu gue gak masalah. Orang murahan pasti dibayar dengan cara yang murahan juga. Atau menurut lo itu keren? Karena bagi gue itu gak lebih dari sekedar menjijikkan.”
Biasanya Ale sangat menyukai tantangan, tapi kali ini dia membencinya. Benci karena mendengar kalimat itu keluar dari si kutub ini. Dan benci karena bukan merasa di junjung, Ale seperti diinjak-injak. Apalagi ketika dia tertawa dan menggeleng tanpa melepaskan kontak mata.
Selama dua puluh empat tahun Ale bernafas, tidak pernah dia merasa serendah ini.
“Lo bener-bener menyedihkan. Jauh banget dari apa yang lo banggain.” lalu berbalik meninggalkan Ale yang membisu. “Dan ciuman lo, bener-bener memuakkan. Kasian cewe-cewe murahan yang pernah ngerasain ciuman se hambar itu.” kemudian pergi.
Benar-benar pergi. Melewati pekerja supermarket yang tercengang menyaksikan pertunjukan ‘hambar’ yang Ale berikan satu menit lalu.
Rasanya sungguh jatuh, malu dan berbagai jenis kata tidak layak lainnya. Bahkan Ale kehabisan cara untuk menahan gadis itu, atau untuk mengganggunya ‘lagi’ bila memiliki kesempatan. Dan untuk kali ini, Ale mengakui bahwa dia benar-benar kalah.