Gian butuh bernafas sekali lagi saat dirinya baru saja tiba di meja kantin. Gadis itu menatap kosong kedepan, pada pintu kantin yang menganga lebar. Orang-orang harus tau, bahwa Gian bukan tipe mahasiswa yang terkenal, yang namanya sering disebut, serta gosip tentangnya sering menjadi perbincangan anak-anak disekitar kampus. Tidak ada yang menarik dari dirinya.
Kehidupan Gian sangat simple. Dia juga tidak punya hal yang layak untuk di kagumi. Namun Gian contoh mahasiswi yang aman, jauh dari masalah. Bahkan kehadirannya nyaris tidak terdeteksi. Gadis itu bersih dari kumpulan orang-orang yang pantas untuk dihindari. Bisa dikatakan, Gian menutup diri. Dari dunia luar, bahkan dunianya sendiri.
Pergi ke kantin saja hanya untuk makan. Sendirian. Tanpa teman bahkan tanpa jiwa yang hidup dalam tubuhnya. Kepala Gian terkulai lemas ketika satu makanan sampai di mejanya. Gadis bermonolid tajam itu tersenyum dengan wajah menghadap kesamping, melihat mang Ucup si penjual siomay yang menunduk bingung.
“Makasih mang.” yang dibalas si mamang dengan senyuman.
Gian sedang tidak nafsu makan tapi dia sadar harus mengisi perutnya yang keroncongan. Jauh lebih baik bersusah payah mengisi perut daripada bersusah payah lolos dari rasa sakit gara-gara kurang gizi. Gadis itu duduk tegak ogah-ogahan. Hanya untuk memakan somay dengan bumbu kacang yang terlihat sedikit lezat.
Dua menit Gian lewati dengan aman. Siomaynya hampir habis kalau bukan karena satu gesekan kursi terdengar. Disusul satu sosok manusia yang kini duduk persis dihadapan Gian.
Acara makan Gian yang tenang seketika musnah.
***
Ale tidak butuh ijin untuk menarik bangku dan duduk dihadapan perempuan yang bermain sejenak dengannya pagi tadi. Dia tidak tahu apa yang lebih dominan, tapi rasa ingin mengutak-atik hari wanita ini sungguh menggerogoti lambungnya.
Ale merasa bersemangat, terlebih ketika mata monolid itu menatapnya tanpa minat.
“Belum dua tahun untuk buat lo lupa apa yang terjadi empat jam yang lalu.”
Gadis itu menghela nafas panjang.
Oke dia berkamuflase menjadi orang bisu lagi. “Masih belum kenal gue?”
Ditatapnya Ale ogah-ogahan.
“Mustahil setelah kejadian itu lo belum viral dan gak ada yang nemuin lo untuk jelasin tentang silsilah kakek buyut dan anak cicit gue.”
“Mau lo apa?”
Akhirnya ngomong! “Simpel!” Ale menepuk meja kuat. “Minta maaf sama gue.”
“Maaf!”
“No-no!” Ale menggeleng tegas, “Dan jadi pelayan gue di clubbing nanti malam.”
“Ngelunjak lo.”
“Gue udah tau lo mau kabur.” Ale menarik lengannya kuat. Persetan dengan orang-orang sialan yang selalu saja mengeluarkan handphone untuk merekam segala aktivitasnya. Kali ini tidak perlu tebar pesona, gadis ini lebih menarik. “Turutin, atau hidup lo bakal berantakan.”
“Lo gila ya?”
“Hem-“ Ale mengedikkan bahu, “Orang-orang emang manggil gue gitu.”
“Sakit jiwa!”
“Itu juga satu.”
“Lepasin tangan gue.”
“Sederhana,” Ale mempererat genggamannya. “Temenan gue satu malam, lo bebas. Tinggal puasin gue doang.”
“Sialan lo ya.”
“Gak salah kok.”
“Bajingan!”
“Kalau itu panggilan gue.”
“Lepasin gue bangsat!”
Senyuman Ale mengembang lebar. Satu bulan sudah dia tidak menemukan mainan yang layak. Tapi sepertinya, kali ini Ale memiliki alasan pasti untuk terus kembali ke kampus. Demi mainannya yang menyenangkan.
“Duduk aja dulu. Kita bincang-bincang ganteng ala gue.”
Gadis itu berdecih jijik-sungguh jijik seolah-olah Ale adalah kotoran sapi yang dikerumuni lalat.
Tapi si cosplay kotoran itu malah tersenyum kian lebar. “Mau duduk sendiri atau gue paksa?”
Ekspresi gadis itu berganti. Tidak terlihat gentar, malah tersenyum menyeramkan.
“Masih bisa senyum bibir lo?”
Lalu menyipitkan matanya gemas, “Lo tau gak.” seketika aura yang berada di sekitar mereka berubah. Ale merasa dingin dan gerakan gadis itu yang mendekat, membuatnya menelan nafas gugup. Salahkan si tanpa nama ini yang entah bagaimana caranya terlihat begitu menarik.
Ale menanti dengan jantung berdebar namun kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut wanita di hadapannya itu membuatnya mati gaya.
“Hidup gue udah kacau banget. Dan gue gak butuh lo untuk buat semuanya makin hancur lebur.” ucapnya penuh penyesalan, “So sori, acara bincang-bincang ganteng ala elo itu dimusnahin dulu ya. Soalnya gue gak ada waktu.”
“Anj-“
“Ah-“ gadis itu berbalik, menatap Ale yang terpelongo memandanginya.
Demi celana dalam ketatnya Ivan, Ale tidak menyangka bahwa kejadian yang sudah bisa dia pastikan menjadi miliknya itu malah berbalik melawannya. Gadis ini tidak merasa takut, bahkan ciut sedikit saja tidak. Tatapan matanya begitu datar dan Ale bisa merasakan kekosongan yang mendarah daging. Anehnya kekosongan itu seperti menular. Ale turut merasakan rasa muak yang diberikan monolid tersebut.
Dan sialan! ia tidak bisa berkutik dengan semua itu.
“Gue ngomong sama lo baik-baik. Berhenti gangguin gue, atau-“
Lagi-lagi kalimat Ale di potong.
“Lo yang bakalan nyesal!” kemudian pergi meninggalkan Ale begitu saja.
Sekali lagi, Ale menatap kepergian punggung itu tanpa mampu melakukan apapun. Membiarkan dirinya dipermalukan untuk kedua kalinya dalam satu hari. Dan demi tuhan! Ale tidak akan membiarkan gadis itu lolos begitu saja.
Siapapun dia, Ale harus tau namanya dan dimana dia tinggal.
“ANJING!” satu tendangan berhasil membuat kursi dan meja yang tidak bernyawa itu berantakan, bersama siomay sisa yang becek.
Dipandanginya semua itu dengan dada bergemuruh hebat. “Liat aja.” geramnya, “Gak butuh satu minggu untuk lo berlutut di kaki gue jalang!”
Dan orang-orang memilih bubar daripada jadi sasaran amukan putra tunggal pemilik Universitas.