“Lo beneran nggak tahu tentang Bintang?” tanya Zayan pada Iqbal.
Iqbal menggeleng sambil mengernyitkan keningnya bingung dengan apa yang Zayan maksudkan. Sejak pagi, Zayan tiba – tiba menunggunya di gerbang sekolah hanya untuk menanyakan sesuatu tentang Iqbal. Masalahnya, Iqbal saja tak tahu ke mana arah pembicaraan Zayan.
Berkali – kali Zayan mengatakan tentang gila, waras dan sikap Bintang yang katanya aneh. Memang sejak bertemu kembali, begitu banyak perubahan yang terjadi pada Bintang tapi dia tidak tahu di mana letak keanehannya.
“Jadi, Zay. Lo sebenarnya lagi ngomongin apa?” Iqbal meletakkan minumannya.
“Bintang aneh banget. Maksud gue, dia kemarin hampir kecelakaan. Tapi seolah disengaja, tapi juga kemungkinan karena dia ngantuk.” Zayan menjelaskan dengan kalimat yang belibet.
“Disengaja?”
Zayan menganggukkan kepalanya berharap Iqbal mengetahui sesuatu. Karena jujur saja kalu Zayan memikirkan tentang ucapan Bintang yang bilang ingin membuat permohonan untuk tetap waras kemarin.
Mungkin saja Bintang memang bercanda, tapi Zayan merasa kalau itu cukup serius. Selain itu juga karena saat Dinda beradu mulut dengan Bintang kemarin Dinda sempat mengatakan kalau Bintang itu gila dengan halusinasinya.
Dia tak mengerti, sehingga ingin mencari tahu. Tapi tak berani menanyakan langsung pada Dinda.
“Gue pernah dengar dari salah satu teman SMP gue dulu kalau Bintang pernah mau bunuh diri dari atap gedung sekolahnya.” Iqbal mulai berbicara.
“Nah, itu maksud gue! Jadi kemarin gue itu lihat dia seolah mau bunuh diri. Tapi bisa dibilang nggak juga.”
“Oh, jadi lo curiga kalau Bintang sebenarnya memang mau bunuh diri?”
“Iya.”
Iqbal tak lagi mengatakan apa pun dan malah ikut berpikir sampai bel masuk berbunyi. Mereka terpaksa mengakhiri pembicaraan itu dan pergi ke kelas masing – masing. Zayan sendiri pergi masih penuh dengan rasa penasarannya.
Walaupun bilang berkali – kali kalau Zayan memang tidak menyukai Bintang, bukan berarti dia tidak peduli sama sekali. Dia ingin tahu karena memang merasa aneh dengan Bintang. Banyak hal, tapi dia tak menyadarinya sejak awal.
“Pagi, Zay.” Ojan yang kebetulan berpapasan menyapa Zayan yang tengah berpikir keras itu.
Zayan langsung mengejar Ojan. “Ojan, mau tanya sesuatu!” teriak Zayan.
Ojan menoleh menanggapi. “Apa?” tanyanya.
“Lo tahu sesuatu tentang Bintang?” tanya Zayan.
Ojan memiringkan kepalanya tak mengerti dengan ucapan Zayan. Zayan tak bertanya secara spesifik jadi Ojan tak tahu apa yang harus dia beri tahu pada Ojan tentang Bintang. Bagian mana yang ingin Zayan ketahui.
“Bisa lebih jelas?”
“Anu. Tentang Bintang mungkin berkaitan dengan kewarasan?”
Saat itu Zayan menunjukkan ekspresi kalau dia mengerti ke mana arah pembicaraan Zayan. Meski sebenarnya Ojan tahu, tetap saja dia merasa tak enak jika memberitahu Zayan tentang hal seperti itu. Baginya, itu sedikit sensitif dan kalau ada orang asing yang tahu, mungkin akan meledek Bintang habis – habisan.
“Nggak tahu gue.” Ojan langsung beranjak.
“Tapi muka lo kok kayak orang tahu. Gue nggak akan bilang ke siapa – siapa. Gue cuman mau bersikap menyesuaikan sama keadaan seseorang,” oceh Zayan seolah memaksa Ojan untuk memberitahu.
Ojan menarik nafasnya panjang. “Gue nggak tahu banyak. Yang pasti, ketika gue sama Dinda mau main ke rumahnya, orang tuanya bilang dia bukan anak yang waras. Jadi kami tidak pernah datang lagi.”
“Selain itu?”
“Orang tuanya juga bilang kalau bermain sama Bintang, kegilaan Bintang bisa saja mencelakai kami. Itu aja. Selebihnya gue nggak tahu.”
_oOo_
Zayan terus menatap Bintang yang hanya cengengsan saat dimarahi habis – habisan oleh guru karena sama sekali tak memperhatikan apa yang dijelaskan. Bahkan, Bintang juga berkali – kali tampak tertawa – tawa saat pelajaran berlangsung dan guru sedang menjelaskan di depan.
“Bintang, kalau kamu terus – terusan begini, kamu nggak akan pernah bisa naik kelas!” omel Pak Budi.
“Maaf, Pak.” Bintang menundukkan kepalanya.
“Sekali lagi kalau kamu membuat keributan, saya akan menghukum kamu lebih berat. Sekarang duduk!”
Bintang berjalan ke bangkunya dan duduk melirik ke arah Dinda yang sama sekali tak mau melihat ke arah Bintang. Kemudian bertemu mata dengan Zayan dan dia tersenyum kecil menyapa.
Pagi ini, Bintang lagi – lagi telat dan tak bisa konsentrasi di pelajaran. Dia menatap buku tulisnya yang masih kosong tak tahu apa yang harus dia catat dan bagaimana mencatat materi yang dijelaskan Pak Budi di saat semua orang fokus pada penjelasan dan buku catatan mereka semua.
Kepalanya tertoleh pada Dinda saat merasa kalau Dinda menatapnya dengan mata yang menakutkan. Dia tersenyum kecil tapi kemudian semua orang menatap ke arahnya dengan tatapan yang sama menakutkannya.
Nafas Bintang mulai tak beraturan khawatir semua orang membencinya dan akan melukainya.
Dia seketika bangkit dari duduknya. “Pok ame – ame belalang kupu – kupu!” teriaknya.
Seisi kelas sontak menoleh menatap ke arah Bintang. Sesaat kemudian mereka terbahak – bahak karena Bintang tiba – tiba bernyanyi nyanyian anak kecil itu. Memang benar sikap Bintang mengganggu, tapi tetap saja itu sangat lucu bagi mereka yang sedang serius mendengarkan penjelasan Pak Budi.
“ALICE!” bentak Pak Budi kesal.
“Jangan liatin! Gue nggak salah apa – apa.” Bintang kembali dengan bicaranya yang aneh. “Saya mau ke UKS saja, Pak,” ucapnya yang langsung berlari keluar kelas.
Anak – anak masih menertawakan tingkah aneh Bintang. Tapi tidak dengan Dinda dan Zayan. Zayan tak mengerti dengan situasi yang terjadi itu sementara Dinda menatap dengan tatapan ibanya.
Itu bukan pertama kalinya Dinda melihat tingkah aneh Bintang itu. Dia juga sudah mendengar langsung dari Bulan bagaimana hal itu pertama kali terjadi pada Bintang.
“Anak itu benar – benar bermasalah!” keluh Pak Budi sambil menggeleng – gelengkan kepalanya.
Beberapa saat kemudian, pelajaran Pak Budi berakhir. Zayan mendekat pada Dinda untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi baru juga mendekat, Dinda sudah memasang wajah kesal dan seolah bilang kalau dia tidak akan memberitahu apa pun pada Zayan tentang Bintang.
“Nggak usah natap gue begitu, Din,” ucap Zayan.
“Lo mau nanyain tentang Bintang ‘kan? Gue no coment sih. Sejak awal juga gue udah bilang kalau dia gila,” kata Dinda cepat.
“Jaga kalau ngomong.”
“Lo sendiri nyamain gue sama Bintang. Nggak usah sok menasihati!”
“Heran gue. Lo ‘tuh sinis banget.”
“Bodo amat.”
Zayan pasrah. Respons Dinda benar – benar menyebalkan dan percuma juga. Zayan hanya akan membuang – buang waktunya saja untuk membujuk Dinda mengatakan sesuatu yang sedang dia cari tahu.
Tiba – tiba seseorang membuka pintu kelas mereka dengan kasar dan nafas terangah – engah menarik seluruh tatapan anak – anak kelas XI – Bahasa 03 tertuju padanya. Jelas anak itu bukan dari kelas mereka tapi menggunakan atribut anggota PMR.
“Pak Budi mana?” tanyanya masih dengan nafas tak beraturan.
“Udah keluar barusan,” jawab Anak – anak.
“Bintang menyakiti dirinya sendiri dengan menyayat pergelangan tangannya di UKS!” [ ]