Dinda menatap Bintang dengan perasaan tak enak. Zayan jelas tahu betul tentang perasaan Bintang, tapi kenapa malah mengatakan hal itu di hadapan semua orang kecuali Bintang.
Meski awalnya memang Bintang terlihat kaget dan juga kecewa, beberapa saat kemudian cewek itu tersenyum kecil pada Zayan dan juga Dinda seolah tak masalah jika memang Dinda adalah cewek yang disukai Zayan.
Lagi pula, Dinda juga tidak tahu Zayan sedang bercanda atau tidak.
“Kok malah senyum? Nggak cemburu?” tanya Dinda.
Bintang mendengus pelan sambil menggeleng. “Nggak kok. Lagian Zayan berhak suka sama siapa saja 'kan?” santai.
Zayan diam beberapa saat tak mengerti. Niat awalnya memang untuk membuat Bintang menyerah mengenai perasaannya pada Zayan. Tapi melihat Bintang bersikap biasa saja malah membuatnya tidak nyaman. Bintang tidak bisa menebaknya dengan baik.
Sekilas, Dinda melirik Zayan lalu tersenyum kecil. Padahal dari mana pun, Zayan jelas begitu tertarik pada Bintang. Cowok itu hanya mencoba menjauh dari Bintang karena kriterianya yang memaksanya untuk tidak menyukai cewek seperti Bintang. Dan bagi Dinda, Bintang tidak seburuk itu.
“Kita cuma bercanda kok, Ta. Jangan serius – serius amat.” Dinda mencoba menenangkan pikiran Bintang.
Zayan tak mengatakan apa-apa dan langsung pergi meninggalkan kelas. Dia hana merasa selain tak mengerti dengan Bintang, dia juga tak mengerti dengan dirinya sendiri terutama perasaannya.
“Jangan dianggap serius ya, Ta.” Dinda masih merasa tak enak dengan temannya itu.
“Nggak apa – apa, Dinda. Lagian, gue udah cukup senang suka sama Zayan.”
“Lagian kenapa harus Zayan sih? Lo 'kan bisa suka sama yang lain yang lebih ngeertiin lo.” Dinda sendiri sebenarnya sedikit kesal dengan sikap Zayan.
Cowok itu bukan hanya tidak peka, tetapi juga tidak begitu peduli dengan apa pun termasuk dirinya sendiri. Meski pintar, Zayan sedikit lemah dalam hal seperti itu dan sering kali membuatnya tak mengerti situasi yang ada dan tak tahu bagaimana cara mengatasi situasi yang kurang baik.
Buktinya bukannya bilang apa-apa, Zayan malah pergi keluar kelas gitu aja meninggalkan keheranan pada Dinda, Bintang dan juga teman – teman sekelas mereka yang lain.
“Gue yakin kok Zayan sebenarnya suka sama lo.” Dinda tersenyum canggung.
“Nggak usah nenangin gue begitu, Din. Jangan apa – apa.” Bintang tertawa menanggapi wajah Dinda yang menunjukkan rasa bersalah.
Bintang bangkit dari duduknya. “Dulu aku pergi ke ruang seni, ya,” katanya sambil berlalu.
Dinda mengangguk pelan. Dia pun bangkit dan segera pergi menyusul Zayan untuk meminta penjelasan. Zayan melakukan itu pasti karena ada alasan. Apalagi mengingat jika Zayan bukan orang yang terus terang dan banyak bicara tiba – tiba mengatakan hal aneh di hadapan semua orang.
Pasti terjadi sesuatu antara Bintang dan Zayan. Dinda harus mencari tahu tentang itu.
Walau tak bisa dipungkiri oleh Dinda, jika ungkapan Zayan tadi berhasil membuat detak jantungnya berdegup lebih kencang karena sebelumnya belum pernah ada yang mengatakan hal seperti itu padanya secara langsung.
“Zayan,” panggil Dinda saat melihat cowok itu tengah berdiri bersandar di dinding ruang seni.
Zayan menoleh. “Apa?” tanyanya dingin.
“Maksud kamu apa ngomong gitu tadi? Lo sendiri bahkan tahu tentang Bintang yang lo suka banget. Dia juga terang – terangan ngasih tahu ke lo,” kata Dinda.
Zayan tersenyum mendengar suara Dinda itu. Tentu saja Zayan tahu kalau Dinda tidak berbeda jauh dari Bintang. Dari segi pemahaman saja, keduanya hampir sama. Dinda hanya jauh lebih bisa berpikir ketimbang Bintang itu saja.
Keputusan yang buruk sebenarnya karena menggunakan Dinda sebagai alat untuk membuat Bintang menyerah pada perasaannya. Tapi tidak demikian halnya, Zayan kesal karena ucapan Bintang terlalu hitam – hitam.
Zayan, sama bencinya dengan Bintang. Itulah yang dia sadari.
“Dinda. Tadi itu gue cuman lagi kesal aja sama Bintang. Ya kali gue beneran suka sama lo. Lo aja nggak beda jauh dari dia kok dalam segala hal.” Zayan melangkahkan kakinya hendak pergi.
“Apa maksudmu aku nggak beda jauh dari Bintang dalam segala hal?”
Zayan menghentikan langkahnya dan menoleh sekilas. “Entahlah. Tapi dilihat dari mana pun, kamu itu teman dekat. Sama – sama mau nemenin dalam kondisi apa pun sampai – sampai nggak siap buat berkembang sendiri,” timpal Zayan kemudian pergi meninggalkan Dinda yang masih berdiri di tempat itu.
Kepalanya menunduk menatap lantai dan kedua tangannya mengepal. Siapa sangka ucapan Zayan itu lebih pedas dari siapa pun.
Dia juga kesal karena Zayan meremehkannya dan mengatakan sesuatu seolah – olah jika Bintang tidak menyukai Zayan, Dinda juga tidak akan pernah bisa mendapatkan perhatian lebih dari Zayan.
Dinda akui semua perasaannya. Dia sudah terus terbawa perasaan oleh Zayan.
Ya, Dinda menyukai Zayan.
Mungkin.
_oOo_
"Keriuhan? Ada masalah?” tanya Bintang sambil mengibaskan tangan di hadapan Dinda yang tengah melamun.
Lamunan Dinda seketika buyar dan hanya tersenyum kecil menatap Bintang. Kemudian dia kembali menatap bukunya yang baru saja dibagikan oleh guru tentang nilai hasil dari pekerjaan rumah kelas mereka.
“Ada apa?” tanya Bintang lagi sedikit khawatir.
Dinda menoleh dengan wajah datarnya. “Bisakah berapa? Nilai PR kemarin?” Dinda membalas bertanya.
“Tiga puluh lima. "Aku benar-benar buruk dalam semua pelajaran," kata Bintang sambil tertawa pelan merasa malu.
Meski biasa mendapatkan nilai yang rendah, terkadang – terkadang Bintang merasa malu karena bagaimana pun, dia adalah siswi tinggal kelas yang seharusnya sudah pernah dihadapkan dengan materi yang sama dan juga lebih mudah dimengerti. Tapi itulah masalah Bintang yang membuatnya khawatir tidak naik kelas lagi.
Dinda kemudian menatap kembali ke bukunya. Dia juga mendapatkan nilai empat puluh yang berarti kalau Dinda masih berada di atas Bintang tapi tak jauh berbeda sekali. Padahal Dinda berpikir keras untuk setiap tugas.
“Lo pasti dapat nilai empat puluh 'kan?” tebak Bintang.
Dinda mengangguk pelan. Sementara Bintang seketika tertawa kecil karena memang nilai mereka tak jauh berbeda.
Tak lama kemudian, Dinda berhasil melewati ujian penentuan darmawisata waktu itu. Jadi, bagi Bintang, Dinda tetaplah bisa menggungulinya di atasnya.
“Lo ngatain gue?” Dinda sedikit sinis.
“Eh, nggak kok. Gue cuman merasa kalau kita memang nggak beda jauh. Itu sebabnya aku tidak merasa cemburu saat Zayan bilang suka sama lo.”
Dinda seketika melirik tajam. “Maksud lo?”
“Ya karena Zayan pernah bilang nggak suka cewek bodoh. Maksud gue, gue mungkin lebih bodoh dari lo, tapi mengingat nilai kita yang nggak beda jauh, Zayan bisa jadi cuma bilang begitu buat panas – panasin gue doang. Lagian –”
Tiba – tiba Dinda bangkit dari duduknya sambil memukul mejanya dengan keras membuat perhatian seluruh kelas tertuju pada bangku mereka. Termasuk Zayan yang tengah tertidur seperti biasanya pun menoleh karena terkejut.
“Kita nggak sama! Selama ini gue cuma pura – pura bodoh di depan lo supaya lo nggak merasa bodoh sendirian!” teriak Dinda yang membuat suasana di sekeliling mereka seketika hening.
Bintang sendiri tidak tahu ada apa dengan Dinda. Biasanya mereka juga berbicara banyak hal, saling meledek tapi tidak ada yang sampai terbawa ke hati apalagi sampai seserius itu. Tapi Dinda malah marah – marah hanya karena Bintang bilang mereka nggak beda jauh.
Melihat semua orang memperhatikan mereka, Bintang mencoba menenangkan Dinda dengan menyentuh lengan cewek itu agar duduk kembali. Tapi Dinda menepisnya secara kasar.
“Din, tadi 'kan gue cuman bercanda,” ungkap Bintang sambil berbisik.
“Apanya yang bercanda? Nggak ada satu pun orang yang mau disamain sama lo, Ta! Kalaupun gue bodoh, paling nggak gue masih mampu berpikir! Sementara lo, sekeras apa pun berusaha semuanya bakal sia – sia. Lo sendiri yang bilang kalau lo nggak berniat lulus dari SMA ini 'kan?!”
Bintang tak menyangka kalau Dinda justru mengungkit apa yang pernah Bintang katakan pada Dinda sebagai curahan hati saat sedang merasa tak tenang.
“Din, kalian nggak biasanya berantem. Padahal udah kayak kembaran loh,” timpal teman – teman mereka.
“Gue nggak mau kembaran sama orang penyakitan. Kalian juga nggak tahu 'kan kalau Bintang itu gila dengan halusinasiinya!” [ ]