Bintang membuka matnya dan langsung terkejut ketika mendapati di atas perutnya masih ada gumpalan handuk. Pagi ini, dia juga merasa lebih bugar ketimbang biasnya. Demamnya sudah turun drastis dan perutnya tak lagi merasakan sisa – sisa nyeri yang biasanya kalau pagi dia tetap masih merasakan sedikit sakit.
Dia bangun dan menatap wajahnya di cermin. Wajahnya sudah jauh lebih bugar dan membuatnya langsung tersenyum senang. Akhirnya, setelah berhari – hari merasakan sesak karena sakit, dia bisa kembali menghirup udara luar dan jalan – jalan seperti biasanya.
“Ta, tumben udah bangun?” sapa Wanda dengan wajah senang melihat putrinya pagi – pagi sudah melompat – lompat.
“Iya, Bun. Sudah baikan soalnya,” jawabnya senang.
“Mau ikut makan sama yang lain, atau Bunda bawain ke sini?” tanya Wanda.
“Nanti Bintang menyusul saja, Bun.” Bintang bangkit dan meraih handuknya bersiap untuk mandi.
Wanda pun pergi ke dapur untuk melanjutkan masak. Dia cukup kagum dengan Zayan yang pagi – pagi buta sudah bangun dan langsung membantunya beres – beres bahkan memasak. Zayan jauh lebih baik ketimbang anak – anak perempuannya. Memang cukup aneh, tapi dia suka melihat bocah SMA yang begitu disiplin.
Sementara Bintang terdiam cukup lama sebelum dia keluar untuk mandi. Seingat dia, kemarin Zayan datang menjenguknya kemudian menyuapinya. Dan samar – samar juga merasa kalau Zayan yang merawatnya semalaman.
“Ah, nggak. Kayaknya sih mimpi,” gumamnya pelan masih berpikir kenapa dia bisa bermimpi sejauh itu. Padahal dia tahu betul kalau Zayan jelas – jelas terganggu dengannya dan selalu mengatakannya secara terang – terangan.
Saat hendak keluar dan memegang kenop pintu kamarnya, dia kembali berpikir kemudian tertawa cukup keras, “Hahaha... nggak mungkin. Zayan ‘kan nggak tahu rumah gue,” ucapnya keluar dari kamar menuju kamar mandi.
“Bunda, kalau nggak salah kemarin teman aku datang ya? Memangnya beneran datang atau cuman mimpi aku ya, Bun?” Bintang melongok ke dapur.
Namun mulutnya terbuka lebar ketika yang menoleh padanya dari depan kompor adalah Zayan dengan celemek yang biasa ibunya kenakan. Mengedipkan matanya beberapa kali kemudian...
“BUNDA, ADA PENYUSUP!” teriaknya keras membuat Wahyu yang sedang membaca koran pagi di teras depan pun berlari menghampiri putrinya dengan tergesa – gesa dan mendapati Bintang tengah menodongkan sapu pada Zayan.
Lucunya, tak ada reaksi sama sekali dari Zayan yang malah menatap Bintang dengan tatapan kosong. Wahyu tertawa kecil dan menepuk pundak putrinya pelan, “Itu teman kamu, Ta,” katanya.
“Zayan ‘kan? Tapi kok pagi – pagi dia di sini?” tanya Bintang.
Seseorang membuka pintu kamar mandi, “Dia semalam jengukin kamu. Tapi karena sudah malam, jadi dia menginap,” imbuhnya.
“Beneran?” Bintang mendekati Zayan dan memperhatikan cowok itu dengan seksama.
Zayan hanya mengangguk menanggapi. Bintang juga akhirnya tahu kalau itu benar – benar Zayan yang sedang tidak memakai kacamata ataupun lensa kotak. Rambut depannya yang basah terseka ke depan yang membuatnya sempat berpikir kalau itu orang lain yang menyamar menjadi Zayan dan menyusup ke rumahnya.
Bintang memperhatikan bagaimana cara Zayan memasak dengan lihainya. Seolah dia tahu segalanya tentang bumbu dan takarannya. Zayan benar – benar tipe menantu idaman. Sementara kedua orang tua Bintang kembali ke kegiatan masing – masing.
Bintang tersenyum kecil, “Zayan kenapa nggak terlahir jadi cewek?” celutuk Bintang.
“Lagian, kenapa gue harus jadi cewek?” balasnya.
“Soalnya lo pinter, cakep paling utama, bisa masak, bisa merawat orang sakit, bisa ngajarin pelajaran, nggak petakilan, lemah lembut juga.”
“Yang lo sebutin itu kelebihan gue semua. Lo nggak tahu aja kalau suara gue jelek, gambar gue juga jelek, gue nggak suka olahraga, nggak bisa bela diri dan masih banyak lagi.”
Cewek ceroboh itu hanya mengangguk – anggukkan kepalanya paham. Sedikit tak menyangka kalau seorang Zayan punya kekurangan sebanyak itu. Rasanya, istilah manusia tak ada yang sempurna itu benar.
“Mereka kelihatannya cukup akrab,” bisik Wanda yang terus menguping pembicaraan putrinya dengan temannya itu.
Wahyu mengangguk pelan menanggapi, “Kalau nggak dekat, nggak mungkin Zayan datang menjenguk,” timpal Wahyu.
“Bunda, makanannya udah siap!” teriak Bintang.
Wanda datang dan menata meja makan dengan menu makanan yang dimasak langsung oleh Zayan. Dari tampilan memang sangat menarik, tapi dia kurang yakin kalau masakan itu benar – benar enak. Meskipun Si Pemasak memasaknya dengan enjoy dan percaya diri.
Semua langsung berkumpul di meja makan. Masih dengan handuk menggantung di lehernya, Bintang bahkan tidak jadi mandi dan malah memilih menyaksikan Zayan masak. Karena itu jauh lebih menyenangkan ketimbang pergi mandi pagi – pagi.
“Kamu nggak jadi mandi, Ta?” Wahyu menatap malas melihat penampilan putrinya.
“Habis makan, Yah.” Dia langsung mengambil piring dan mengisinya dengan menu yang ada tanpa ragu, melahapnya tanpa menunggu yang lain.
“Enak!” pekiknya senang.
Zayan cukup senang karena semua anggota keluarga Bintang menyukai masakannya. Meski ada menu yang menurut Wanda kurang asin. Tapi masih bisa diatasi. Bintang bahkan memakannya dengan lahap.
Dia bangkit dari duduknya. Melihat Bintang yang sudah sangat sehat, hatinya sudah lega dan tidak mengkhawatirkan apa pun juga. Lagi pula, dia merawat Bintang karena merasa bersalah. Dan dia sudah membayarnya.
“Kalau begitu, saya pamit, Pak, Bu.” Zayan sedikit membungkukkan badannya.
“Loh, kamu nggak makan dulu? Kan, kamu yang masak ini.” Wahyu langsung bangkit.
“Saya belum lapar, Pak. Melihat Bintang sudah sehat, saya rasa saya sudah kenyang,” ucapnya jujur membuat Bintang seketika tersedak mendengar ucapan Zayan.
“Kalau begitu, biar Ayah Bintang yang antar kamu pulang, ya. Jauh rumahnya?” tambah Wanda.
Zayan tersenyum, “Tidak perlu. Kalian nikmati saja sarapan kalian. Permisi.” Zayan pun pergi.
Bintang berlari keluar menyusul Zayan, “Hati – hati ya. Terima kasih udah mampir,” ungkapnya sedikit berteriak.
Tak ada balasan dari Zayan. Cowok itu hanya menoleh memandang Bintang yang melambaikan tangannya padanya dengan senyum lebarnya. Ya, Bintang sudah kembali seperti biasa. Dia seharusnya benar – benar tak perlu mengkhawatirkan cewek ceroboh itu lagi.
Meskipun entah kenapa, dia merasa ada sesuatu yang mengganjal. Entah apa itu.
Setelah memastikan Zayan benar – benar menghilang dari pandangannya, Bintang kembali masuk untuk melanjutkan sarapannya. Dia duduk dan menyantap kembali masih dengan piring yang sama.
“Bunda capek mengurus kamu yang sakit terus – menerus seperti itu! Paling tidak, kamu harus bisa mengurus diri sendiri. Bagaimana kalau Bunda sama Ayah sedang kerja?!”
Bintang terdiam sesaat kemudian tersenyum kecil. “Iya, Bunda," katanya sambil kembali duduk di meja makan. [ ]