Keesokan harinya, Zayan dengan sengaja tidak mengikuti darmawisata dan memilih untuk datang ke rumah Bintang di sore harinya. Cukup lama dia berdiri di depan rumah Bintang tak berani mengetuk pintu. Dia pikir, akan menjadi lebih baik jika seseorang keluar dari rumah itu. Tapi benar – benar sunyi seperti tidak ada seseorang pun di dalam rumah.
Beberapa orang yang lewat menyapa Zayan dan bertanya tentang keperluannya datang ke rumah Bintang. Dia hanya menjawab seperlunya dan mengiyakan saja ketika mereka menyuruh Zayan untuk mengetuk pintu rumah.
“Permisi.” Akhirnya dia memberanikan diri untuk bersuara.
Seseorang keluar dari rumah dan tersenyum pada Zayan. Dia memperhatikan betul – betul pria paruh baya itu sebelum mengatakan apa pun lagi.
“Cari siapa ya?” tanya Wahyu yang tak lain dan tak bukan adalah ayah kandung Bintang.
“Ah, maaf. Perkenalkan nama saya Zayan, teman sekelas Bintang.” Zayan segera memperkenalkan dirinya tak sadar kalau ternyata dia cukup lama memperhatikan pria itu sampai akhirnya menemukan kemiripan wajah dengan Bintang dan menyadari kalau itu pasti orang tua Bintang.
“Oh, iya. Bintang sedang sakit. Jadi kalau –”
“Saya tahu. Itu sebabnya saya datang untuk menjenguk,” potong Zayan cepat. tapi dia segera menutup mulutnya rapat – rapat. “Maaf, saya sedang bersemangat,” lanjutnya merasa tak enak menyela ucapan orang tua.
Wahyu tersenyum kecil menanggapi bocah SMA di hadapannya itu. sebenarnya dia sempat terkejut karena yang datang menjenguk Bintang adalah teman cowok. Bintang sangat jarang membawa temannya ke rumah bahkan Dinda pun sangat jarang datang jika bukan hal yang sangat penting.
Apalagi cowok seperti Zayan. Meski bocah di hadapannya itu terlihat seperti anak baik, tentu saja dia sedikit curiga dengan hubungan antara putrinya dengan Zayan. Kini gantian dia yang memperhatikan Zayan cukup lama.
“Siapa, Ya?” tanya seseorang menyusul. Itu adalah Wanda, istri Wahyu.
“Ini, ada temannya Bintang. Katanya mau jenguk,” balas Wahyu.
“Oh, begitu. Ayo silakan masuk.” Zayan menghembuskan nafasnya lega karena Wanda mempersilakannya langsung tanpa banyak menatap seperti Wahyu.
Dia pun masuk dan duduk di sofa meski belum di suruh. Itulah mengapa dia awalnya ragu mengetuk pintu rumah Bintang karena dia sendiri tidak tahu bagaimana cara menjadi tamu yang baik. Tapi Wanda tersenyum ramah dan menyuguhkan minuman untuk Zayan tanpa banyak bertanya.
Zayan menaruh barang bawaannya di atas meja. Ya, dia sempat membeli beberapa kue dan juga buah – buahan sebelum datang. Meski buruk salam bertamu, dia cukup tahu kalau dia perlu membawa sesuatu jika ingin berkunjung.
“Saya bawa sedikit kue untuk Bapak dan Ibu,” ucap Zayan hati – hati.
Beberapa saat Wanda dan Wahyu saling berpandangan kemudian tersenyum kecil, “Terima kasih banyak,” ungkap Wahyu.
“Kalau begitu, kamu silakan minum dulu. Ibu mau antar makanan ke kamar Bintang sebentar, baru nanti Ibu suruh dia temui kamu ya.” Wanda bangkit dari duduknya mengambil nampan berisi makanan untuk Bintang.
Zayan tiba – tiba berdiri, “Boleh nggak, kalau saya yang memberikan makanan itu untuk Bintang?” tanyanya.
Lagi dan lagi Wanda dan Wahyu saling menatap. Awalnya mereka cukup senang karena teman Bintang menyebut mereka dengan sebutan ‘Bapak dan Ibu’. Kemudian mereka merasa sangat dekat dengan Zayan ketika tiba – tiba bocah itu tak meminta izin membawakan makanan untuk Bintang.
Itu hal yang baru bagi mereka berdua yang juga belum pernah dikunjungi oleh teman Bintang. Yang lebih sering berkunjung adalah teman – teman dari putri pertama mereka. Bintang cenderung pendiam ketika di rumah dan hampir tak pernah menceritakan apa pun pada mereka.
“Tentu saja. Tapi, apa tidak merepotkan?” sambut Wanda.
Zayan menggeleng pelan. Dia mengambil parsel buahnya dan mengambil nampan yang dipegang oleh Wanda. Wanda membukakan pintu kamar Bintang agar Zayan bisa masuk ke dalam.
Tampak, Bintang tengah terbaring di atas ranjangnya membelakangi pintu dan sebagian tubuhnya terbungkus selimut. Cewek itu benar – benar sedang sakit. Melihatnya, membuat Zayan semakin merasa bersalah dengan apa yang pernah terjadi sebelumnya. tentang ucapannya itu.
Zayan mendekat dan meletakkan nampan itu di atas meja menatap Bintang yang tak bereaksi apa pun dengan kedatangannya. Mungkin Bintang tidak tahu Zayan yang datang, tapi biasanya seseorang akan menoleh ketika ada orang yang datang menemuinya.
Dengan hati – hati, Zayan melongok wajah Bintang dan kedua mata mereka bertemu.
“AAA!” teriak Bintang kaget. Dia langsung menepis tubuh Zayan dan terduduk kaget.
Tak hanya Bintang, Zayan pun ikut terkejut dengan teriakan ngimpring Bintang. Suaranya serak, tapi tetap saja teriakannya sangat kencang memekakkan telinganya. Dia mengusap – usap wajahnya yang tak sengaja tertampar oleh Bintang.
“Lo, lo kok bisa di sini?!” pekik Bintang kaget ketika dia sadar kalau itu adalah Zayan.
“Jengukin lo,” jawab Zayan singkat.
“Buat apa?”
Tak ada jawaban. Zayan mengangkat mangkuk bubur milik Bintang dan duduk di kursi di dekat ranjang Bintang tanpa diminta. Dia menyerahkan mangkuk itu pada cewek yang masih berpose terkejut itu. Jelas, Bintang masih sedikit syok dengan kedatangan cowok itu.
Itu menjadi hal baru bagi Bintang. Dia sama sekali tak pernah dijenguk teman cowoknya meskipun kenalannya begitu banyak. Dan sekarang, Zayan menjenguknya seolah – olah dia adalah cewek yang sangat berharga bagi Zayan. Bintang menerima mangkuk itu masih dengan terbingung – bingung.
Bagaimana seorang Zayan bisa sampai di rumahnya? Bagaimana reaksi kedua orang tuanya saat bertemu cowok berparas tampan itu? semuanya sama sekali tidak masuk di akal Bintang.
“Zayan, bukannya hari ini darmawisata?” tanya Bintang. Zayan mengangguk masih dengan menatap Bintang melahap buburnya.
“Lo nggak ikut?”
Cowok itu kembali membalas hanya dengan gelengan kepala membuat Bintang seketika memutar bola matanya kesal. Memang apa susahnya sih sebenarnya menjawab dengan kalimat yang sedikit lebih banyak dari biasanya. Bertanya pada Zayan membuat Bintang merasa sedang berbicara dengan diri sendiri.
“Lo bisa makan dengan benar?”
Bintang menoleh heran. Zayan meraih tisu dan mengelap bubur yang tak sengaja menetes di baju Bintang. Bintang tak menyadari itu, bagaimana tidak, ditatap Zayan dan diperhatikan seperti itu membuatnya sangat – sangat salah tingkah. Dia hanya mencoba menyembunyikannya dengan terus melahap bubur buatan ibunya.
Kemudian cowok itu merebut mangkuk dari tangan Bintang dan mengaduknya, mengulurkan sesendok demi sesendok pada Bintang yang menerimanya dengan mulutnya yang terbuka.
Ya, Zayan menyuapi Bintang!
Mimpi apa semalam Bintang disuapi pujaan hatinya yang jelas sudah menolaknya dengan tegas. Tanpa sadar, tak tersisa sedikit pun bubur di mangkuk itu.
“Zayan udah makan?” Bintang a benar – benar canggung sehingga merasa dia harus terus melontarkan pertanyaan pada Zayan. Selain itu, dia juga sangat senang memanggil nama Zayan.
“Nggak usah pikirin gue,” balas Zayan menyerahkan obat dan minuman pada Bintang yang langsung menerimanya.
Tapi tiba – tiba kedua mata Zayan tertuju pada sebuah kertas yang familier.
Ya, itu sepertinya kertas hasil ujian bulanan waktu itu. Dia bisa dengan jelas melihat nilai yang Bintang dapatkan itu. Empat puluh lima. Orang yang tidak pernah mendapatkan nilai di atas tiga puluh, kini mendapatkan lima puluh lima.
“Gue cuman bilang kalau gue nggak suka cewek bodoh ‘kan?” Zayan menatap Bintang.
“Iya. Jadi?”
“Bukan berarti gue nggak suka cewek yang mau berusaha.” Zayan melanjutkan dengan mengambil kembali gelas yang dipegang oleh Bintang.
Dia bangkit dengan membawa semua benda itu dan berjalan ke arah pintu, “Istirahat. Selamat malam,” katanya sebelum benar – benar pergi dari sana.
Bintang masih melamun di tempat.
“Barusan apa? Zayan datang menjenguk, nyuapin, habis itu bilang selamat malam?” gumamnya masih tak percaya dengan apa yang baru saja dia alami.
Selain itu, ucapan Zayan tentang ‘cewek yang mau berusaha’ sedikit melegakan perasaan Bintang.
Dia pikir, meskipun akan sangat mustahil, bukan berarti Zayan tidak menyukainya sama sekali. Toh, dengan kepedulian Zayan saat ini sudah cukup untuk Bintang. Dia merasa tidak perlu meminta banyak lagi kepada Tuhannya untuk mendapatkan Zayan.
Seketika dia tersenyum dan menatap ke langit yang sangat cerah malam itu, “Kayaknya gue bakal baik – baik aja walaupun gue suka sama dia secara sepihak,” celetuknya sambil menutup seluruh tubuhnya dengan selimut masih dengan cengengesan sendiri tak jelas saking senangnya. [ ]