Ulangan Harian Kejuruan pun dimulai. Sejak kejadian terakhir di perpustakaan, Zayan tak lagi mengajari Bintang bahkan Bintang pun tidak meminta. Tak ada yang berubah dari sikap Bintang pada Zayan. Tetap menyapa seperti biasa dan berbicara seolah kejadian itu memang sudah tak lagi berada di ingatannya.
Awalnya Zayan sempat berpikir karena mungkin itulah kebodohan seorang Bintang. Bisa dengan mudahnya melupakan sesuatu padahal Zayan sendiri sedikit merasa bersalah karena ucapannya waktu itu. Dia yang berniat meminta maaf pun mengurungkan niat itu karena memang dia rasa Bintang juga tidak keberatan dengan apa yang sudah terjadi.
Keadaan di kelas menjadi sunyi. Hanya ada suara goresan pena dengan kertas dan sedikit bisikan – bisikan kecil dari mulut anak – anak yang lain. Semua orang sedang berusaha keras untuk bisa mengikuti darmawisata itu.
Zayan melirik ke arah Bintang sekilas yang tampak serius. Lebih serius dari biasanya. Tidak, cewek itu benar – benar serius menatap kertas soal ulangannya. Memang sedikit aneh, dan Zayan pun tak berharap cewek itu mendapatkan nilai yang tinggi. Setidaknya Bintang tidak tidur saat itu.
Beberapa saat kemudian, Zayan bangkit dari duduknya mengumpulkan kertas ulangannya membuat suasana kelas menjadi cukup heboh.
“Gila, genius boleh. Tapi jangan bikin deg – degan napa,” gumam Dinda sedikit kesal dengan kegeniusan Zayan yang sedikit merepotkannya.
“Sudah selesai?” tanya Pak Budi.
Zayan menganggukkan kepalanya.
“Kamu bisa keluar lebih dulu atau mau menunggu di dalam kelas tak masalah. Asal nggak berisik,” ucap Pak Budi.
“Saya, tunggu di kelas saja, Pak.” Zayan berjalan kembali ke bangkunya.
Seketika dia menarik satu ujung bibirnya kecil melihat Bintang yang memejamkan matanya dengan menyatukan kedua alisnya. Dia tidak yakin kalau Bintang mengingat semua yang pernah Zayan jelaskan.
Seperti biasa, Zayan menyadarkan kepalanya berniat menikmati ketenangan kelas hari itu. Sangat jarang terjadi di kelasnya terasa tenang dan sunyi. Menghadap ke jendela, dia mulai memejamkan matanya meski sebenarnya penasaran dengan bagaimana cara Bintang mengerjakan soal – soal itu.
“Bintang,” panggil Dinda.
Bintang membuka matanya dan menoleh pada Dinda.
“Jangan berpikir terlalu keras. Kerjakan kayak biasanya aja,” bisik Dinda.
Bintang tersenyum dan mengacungkan jempolnya. Dia juga ingin mendapatkan nilai terbaik setidaknya hanya sekali di ulangan hari ini. Zayan sudah sangat membantunya bahkan merelakan waktunya untuk mengajari Bintang.
Tentang ucapan Zayan waktu itu, sebenarnya Bintang menjadi merasa sangat bersalah tapi tak sanggup meminta maaf pada Zayan. Sehingga dia memutuskan untuk belajar seharian kemarin untuk mendapatkan nilai enam puluh. Ya, itu cukup baginya. Jadi, dia hanya perlu bisa menjawab enam puluh persen dari seratus persen meski itu melelahkan untuk otaknya.
Dia kembali memejamkan matanya mencoba kembali mengingat semua yang sudah dia pelajari. Perutnya mulai mual karena berpikir terlalu keras, tapi dia hanya butuh sedikit lagi mengingat semuanya.
“Bintang, lo mimisan!” teriak Dinda berdiri dari duduknya membuat semua orang menoleh ke arah Bintang termasuk Zayan yang langsung membuka matanya terkejut.
Bintang sudah membuka matanya namun masih diam saat dia melihat darah jatuh ke pangkuannya dan sedikit mengenai kertas soalnya. Sampai akhirnya dia sadar kalau ternyata itu darah yang keluar dari hidungnya.
Dia segera mengambil tisu dan mencoba menghentikan darah itu. Pak Budi langsung menghampiri Bintang ke mejanya.
“Kamu lagi sakit, Ta?” tanya Pak Budi.
Bintang menggeleng, “Nggak, Pak.”
“Ya sudah, pergi ke toilet dulu sana. Habis itu langsung ke UKS ya,” perintah Pak Budi. Bintang mengangguk dan segera berlari ke toilet.
Sementara itu, Zayan terlihat sangat syok dengan apa yang dilihatnya. Dia diam dengan mulut terbuka dan kedua mata yang tak berkedip memikirkan bagaimana awal mulanya Bintang mimisan. Apakah terbentur sesuatu, atau memang karena terlalu stres?
‘Ap – apa itu?’ batinnya.
Tatapannya dengan Dinda bertemu. Dinda tersenyum kecil sambil mengangkat kedua bahunya seolah mereka sedang berbicara hanya dengan tatapan mata. Zayan terlihat begitu terkejut dengan apa yang terjadi pada Bintang. Dinda tahu betul kalau Zayan sebenarnya khawatir dengan Bintang.
Zayan hanya tidak menyadari kalau dia peduli lebih dari sekedar penasaran dan tertarik. Meski sebenarnya cowok itu kerap kali mengeluh karena segala sikap Bintang. Selama dekat dengan Bintang, Zayan mungkin belum pernah melihat Bintang seperti itu.
Sementara bagi Dinda, itu bukan hal yang baru. Dia sudah beberapa kali melihat temannya itu mimisan walaupun dia sempat kaget tadi karena sebenarnya sudah lama Bintang tampaknya baik – baik saja.
“Pak, saya boleh keluar?” Zayan mengangkat tangannya.
“Boleh.” Pak Budi menjawab cepat. Ya, karena memang Zayan sudah menyelesaikan tugasnya.
Zayan langsung keluar dari kelas dan berlari ke WC. Dia menunggu tepat di depan area WC cewek membuat beberapa orang yang baru keluar dari WC itu merasa malu dan kaget dengan keberadaan Zayan di sana.
Jelas, dia ingin memastikan kalau Bintang tidak pingsan di sana. Entah kenapa, dia malah merasa bersalah karena Bintang mencoba menjawab soal – soal itu dengan serius. Meski dia sudah cukup tahu kalau Bintang bukan orang yang mau berusaha sekeras itu apalagi hanya untuk sebuah nilai, bisa saja itu berubah karena ucapannya tempo hari.
“Bintang,” panggil Zayan yang tak tahan menunggu terlalu lama.
Bintang yang ada di dalam seketika bergidik ngeri mendengar suara cowok memanggil namanya dari depan area WC cewek. Itu suara Zayan.
“Zayan ngapain di situ?” tanya Bintang.
“Lo nggak pingsan?”
“Nggak. Tenang aja. Lo nggak usah nungguin gue. Masih lama soalnya,” ucap Bintang tak mau kalau cewek – cewek lain yang mau ke WC malah tidak jadi karena ada Zayan di sana.
“Oke.” Hanya itu kalimat terakhir Zayan.
Bintang membasuh mukanya dan menghela nafasnya pelan. Sudah cukup lama dia tidak mimisan. Dia mulai tidak berambisi untuk melakukan apa pun sehingga berhasil menghentikan kebiasaannya mimisan ketika stres berlebihan. Tak disangka hanya karena berusaha belajar, malah semakin memperburuk suasana.
Setelah selesai bersih – bersih, dia keluar namun dikejutkan dengan masih adanya Zayan yang berdiri di depan area WC cewek. Beberapa cewek yang keluar dari sana pun tampak terkejut dengan kehadiran cowok itu yang sedikit mengganggu kenyamanan mereka. Tapi sikap Zayan hanya cuek – cuek saja menatap Bintang datar.
“Zayan, toilet cowok nggak pindah ke sini,” ucap Bintang tertawa kecil.
“Gue tahu,” balas Zayan,“lo kenapa?” lanjutnya.
“Nggak apa – apa, cuacanya lagi panas soalnya,” jawab Bintang berjalan melewati Zayan berniat pergi meninggalkan cowok itu yang malah membuntutinya.
Dia menoleh dan menatap Zayan bingung, “Jangan ikutin gue. Gue mau ganti baju ke UKS,” tegur Bintang menunjukkan rok dan baju bagian depannya yang terkena darah.
“Memangnya di UKS nggak ada cowok?”
“Biasanya sih nggak.”
Bintang sedang tidak ingin berbicara panjang dengan siapa pun meskipun itu Zayan. Tentunya dia tidak sakit hati sama sekali dengan ucapan Zayan waktu itu, tapi dia merasa sedikit berpikir kalau tak mendapatkan nilai yang cukup, Zayan akan sangat kecewa seperti yang Zayan ucapkan waktu itu.
Bagaimana pun, bukan hanya Zayan yang mengatakannya bodoh. Semua orang seolah sudah tahu tentang itu dan keluarganya juga tak jarang mengatakan hal yang sama. Jadi, Bintang sudah terlalu terbiasa dengan itu.
“Lo sering mimisan ya?” tanya Zayan.
Bintang meringis kecil karena cowok itu mendadak banyak bertanya, “Nggak kok. Dulu pernah beberapa kali,” jawabnya seadanya.
“Ada riwayat penyakit?”
Seketika Bintang diam berpikir.
Dia pernah periksa ke dokter bersama dengan kakaknya dulu, tapi tak pernah ada diagnosis penyakit apa pun dari itu dan Bintang rasa semuanya baik – baik saja. Itu karena dia terlalu berambisi mendapat peringkat lima teratas seperti kakaknya.
Sampai akhirnya dia tidak menginginkan itu lagi dan lebih banyak bersenang di akhir kelas tiga SMP, barulah kemudian Bintang mulai sembuh dari kebiasaannya mimisan dan juga sakit kepala. Secara fisik, bisa dibilang Bintang sangat sehat.
Zayan masih menunggu jawaban dari Bintang tentang itu. Tak bisa dipungkiri kalau dia cukup khawatir Bintang sakit karena dia menuntut tantang nilai ujian atau karena ucapannya tempo hari yang membuat Bintang berpikir terlalu keras tentang hasil ujian mingguannya.
“Nggak ada. Tapi kalau cuaca panas, gue sering mimisan memang,” jawab Bintang. “Gue baik – baik aja. Lo balik ke kelas lagi aja sana.” Bintang kurang nyaman saat Zayan mengikutinya seperti itu.
Zayan berhenti dan membiarkan Bintang masuk ke UKS. Tapi dia tetap saja menatap sampai cewek itu benar – benar masuk ke dalam UKS. Pikirannya terus saja tertuju pada ucapannya yang mungkin saja membuat Bintang sakit hati dan mencoba melakukan sesuatu.
Entah kenapa dia merasa kalau itu semua karena dirinya walaupun Bintang bilang tidak apa – apa dan mimisannya karena cuaca yang panas saja.
Zayan tak pernah berurusan dengan banyak orang sebelumnya apalagi sampai sejauh hubungannya dengan Bintang saat ini. Jadi wajar saja dia tidak banyak tahu dan memperhatikan tentang orang – orang sekitarnya dan malahan mengatakan hal yang buruk.
“Zayan,” panggil Bintang dari pintu UKS.
Zayan menoleh.
Bintang tersenyum kecil. “Nggak usah khawatir. Bukan gara – gara lo kok gue begini,” katanya.
Zayan mengangguk tapi tak ada rasa lega sama sekali dari dirinya. Selain itu juga, Zayan cukup terkejut kalau Bintang bisa peka dengan apa yang sedang Zayan pikirkan. Dia pergi meninggalkan tempat itu setelah mendengar kalimat terakhir Bintang sebelum masuk kembali ke UKS.
Dia menarik nafas panjang – panjang dan langkahnya terhenti ketika berpapasan dengan Dinda. Dinda menyapa dengan menepuk pundak Zayan tanpa mengatakan apa pun melewati Zayan begitu saja.
“Din, soal Bintang –”
“Gue yakin dia baik – baik aja,” sela Dinda cepat.
Zayan berbalik, “Bukan soal itu. Kalau gue bilang gue nggak suka cewek bodoh, apa dia nggak sakit hati?” tanya Zayan.
Dinda tertawa kecil mendengar itu. Zayan sudah jelas pasti tahu tentang perasaan Bintang pada Zayan sehingga mengkhawatirkan hal itu. Keduanya saling menatap, tapi baru kali ini Dinda bisa melihat dengan pasti raut wajah khawatir pada Zayan. Cowok itu sedikit monoton terhadap reaksinya, tapi kali ini cukup berbeda.
“Dia nggak akan sakit hati, tenang saja.” Dinda mencoba menjelaskan.
“Lo yakin?”
Dinda menganggukkan kepalanya, “Bintang sudah biasa dengar hal kayak begitu, jadi buat apa dipikirin,” kilahnya.
Dinda melambaikan tangannya dan pergi. Bukan hanya Zayan, Dinda juga sebenarnya sedikit khawatir dengan temannya itu.
Mendengar pertanyaan Zayan tadi, dia juga jadi bertanya – tanya apa benar Bintang berpikir keras di ujian hari ini karena hal itu. tapi itu bukan Bintang banget.
Bintang yang Dinda kenal jelas cewek yang tidak begitu peduli dengan hal semacam itu. Bahkan jika satu dunia memintanya untuk belajar, dia tidak akan memedulikannya jika dia tetap tidak mau belajar. Jadi, ada apa dengan temannya itu?
“Ta?” Dinda masuk ke UKS memeriksa.
Bintang menoleh dengan seragam pinjamannya. Cewek itu tersenyum kecil pertanda kalau dia baik – baik saja.
“Lo beneran berpikir keras cuman karena Zayan bilang dia nggak suka cewek bodoh?” tanya Dinda tak banyak basa – basi.
“Hah?! Mana ada begitu,” elak Bintang.
“Terus, kenapa sampai begini? Lo tahu ‘kan kalau lo nggak boleh stres?”
Bintang berpikir sesaat, “Waktu dia bilang bakal kecewa kalau nilai gue jelek, rasanya kayak berdosa banget. Jadi, gue coba kerjain soalnya dengan sungguh – sungguh,” ucapnya jujur.
Dinda hanya mengangguk membenarkan. Memang cukup aneh karena Bintang bersikap peduli dengan kekecewaan seseorang. Tapi itu mungkin saja terjadi karena Zayan adalah orang yang Bintang sukai. Ini pertama kalinya juga Dinda mendengar kalau Bintang menyukai seseorang.
Jadi, semuanya seharusnya terdengar wajar.
“Kayaknya Zayan khawatir banget sama lo,” ungkap Dinda.
Bintang tertawa. “Mungkin nggak kalau dia mulai suka cewek bodoh?”
Dinda langsung melempar bantal ke muka Bintang, “Jangan kepedean! Dia cuman khawatir, buka suka!” omelnya kesal dengan kebiasaan Bintang yang selalu menganggap kalau semua hal tidak harus menjadi serius. [ ]