Hari – hari berikutnya, Zayan banyak menghabiskan waktu bersama dengan Bintang sepulang sekolah untuk belajar sebelum Ujian bulanan mereka di mulai. Meski banyak yang Bintang tak mengerti, Zayan berusaha untuk tetap sabar walaupun kadang – kadang tak bisa mengontrol emosinya dan mengatakan hal yang sedikit lebih buruk pada Bintang.
Untungnya, Bintang adalah orang yang serba tanggung dan tidak merasa kalau ucapan Zayan itu menyakiti perasaannya. Yang menyebalkan lagi, Bintang justru semakin sering mengatakan ‘suka’ pada Zayan di mana pun.
“Hari ini matematika,” ucap Zayan sambil menatap cewek yang tengah membereskan tasnya itu.
“Oh iya. Maaf, Zay. Gue ada klub seni hari ini. Jadi, nggak bisa belajar dulu.” Dia berdiri dengan menggendong tasnya.
“Klub? Lo ikut klub seni?”
Bintang menganggukkan kepalanya pelan, “Karena gue tinggal kelas, jadi harus tetap lanjut ikut klub.”
Zayan menghela nafasnya panjang. Masih banyak materi yang belum Bintang kuasai tapi cewek itu justru memilih untuk mengikuti klub dan mengabaikan pembelajaran mereka hari itu. Tidak masalah juga sebenarnya bagi Zayan. Toh, dengan begitu dia bisa sedikit tenang dengan melewatkan satu hari bersama Bintang.
Hanya saja, dia sedang tidak ingin pulang ke rumah karena keberadaan wanita calon ibu tirinya yang sudah menginap selama dua hari lamanya. Itu hanya akan membuatnya semakin sumpek berdiam diri di kamarnya.
“Gue duluan ya,” pamit Bintang melambaikan tangannya berpamitan pada Zayan.
Zayan tak menjawab dan malah mengikuti langkah Bintang pergi ke ruang klub. Sampai anak – anak lain yang melihat itu terheran – heran. Bintang seperti seorang majikan yang sedang diikuti oleh anjing peliharaannya.
“Kenapa malah ikut gue? Gue bilang hari ini nggak bisa belajar,” bisik Bintang tak nyaman dengan tatapan yang lain.
“Gue mau ikut klub seni juga.” Zayan menjawab singkat.
“Kalau begitu, lo bisa daftar ke Ojan.”
“Siapa itu?”
“Ketua klub. Anak kelas dua belas.”
Zayan hanya mengangguk pertanda dia mengerti dan bukan berarti dengan mudahnya menuruti perintah Bintang. Dia ikut masuk ke ruangan klub dan duduk di bangku tepat di sampung Bintang tanpa ragu.
Entah sejak kapan Bintang yang merasa dikuntit oleh Zayan. Cowok itu selalu menolaknya setiap kali dia mengutarakan perasaan sehingga Bintang rasa, dia terlalu mengganggu dan mencoba mencari sedikit jarak dengan Zayan. Tapi, cowok itu mulai terus menempel padanya ketimbang mencari teman lain.
“Apa yang lo lakuin selama klub berlangsung?” tanya Zayan.
“Hm, melukis, bernyanyi kadang – kadang cuman senang – senang.” Bintang menoleh sedikit terkejut karena ternyata jarak mereka duduk sangat dekat.
Dia bisa melihat dengan jelas bentuk wajah simetris yang dimiliki Zayan. Garis tulang pada rahangnya benar – benar memperlihatkannya seperti seorang idola. Bukan – bukan, lebih tepatnya seperti tokoh manhwa. Zayan terlihat tidak nyata dengan hidungnya yang mancung dengan bola mata indahnya.
Beberapa saat kemudian, Ojan masuk dan langsung menyapa Bintang dengan antusias. Mereka dulu sangat dekat saat masih berada di kelas yang sama. Tapi sekarang, Bintang menjadi adik kelasnya. Meski begitu, keduanya sama sekali tak terlihat keberatan dengan pertemanan mereka kali ini.
“Gue bentar lagi lengser. Lo betah banget di sini,” kata Ojan merangkul pundak Bintang akrab.
“Lo yang nggak ijinin gue keluar waktu itu.”
“Masalahnya kalau lo keluar, kita bakal jarang ketemu.”
Zayan menoleh seketika pada Ojan dan memperhatikannya dengan seksama. Kemudian menatap Bintang yang masih sibuk menanggapi Ojan. Keduanya sangat akrab dan bisa dibilang sangat dekat.
“Kalian pacaran?” tanya Zayan tiba – tiba membuat Bintang dan Ojan terdiam menatap Zayan dengan terkejut.
“Eh, lo anak pertukaran pelajar itu ya? Mau ikut klub seni?” sapa Ojan.
Zayan tak menjawab dan menatap Bintang meminta jawaban dari pertanyaannya.
Bintang menggeleng pelan memberi isyarat pada Zayan agar tidak membahas itu lebih jauh. Dia merasa tak enak dengan Ojan karena memang sejak dulu banyak yang meledek kedekatannya dengan Ojan sehingga membuat hubungan pertemanan mereka sempat merenggang.
Antara mengerti tak mengerti, Zayan hanya menganggukkan kepalanya dan kembali menatap ke depan. Ojan menepuk kepala Bintang kemudian memulai kegiatan klub mereka. Mulai dengan perkenalan diri anak – anak yang baru bergabung sampai kemudian dilanjutkan dengan bermain musik.
“Membosankan,” keluh Zayan.
Bintang terkekeh pelan, “Yang mau ikut tadi siapa?” balasnya.
“Oke, kalian bisa ambil kanvas sama cat air, gambar apa pun yang menjadi imajinasi kalian.” Ojan memberi instruksi.
Bagi Bintang itu menyenangkan karena semua kegiatan klub seni sesuai dengan apa yang dia sukai. Sementara Zayan tetap duduk dan memperhatikan bagaimana Bintang mengerjakan tugasnya menggambar.
Dia penasaran apa yang menjadi imajinasi seorang Bintang untuk gambarnya.
“Muka gue jelek ternyata,” gumam Bintang yang tampaknya mencoba menggambar dirinya sendiri.
“Kan, kalau cuman gambar bisa dibikin cantik,” imbuh Zayan.
Bintang tak mengindahkan hingga membuat Zayan sedikit kesal. Dia memang selalu mengabaikan orang lain, tapi sangat tidak suka diabaikan. Meski tahu itu tidak adil, tetap saja rasanya menyebalkan melihat Bintang yang fokus dengan gambarnya sementara saat belajar, dia tak pernah bisa fokus.
Dia memalingkan wajahnya dan memilih untuk memainkan ponselnya ikut mengabaikan Bintang.
Jika bukan karena dia malas pulang, tentu dia lebih memilih menghabiskan waktunya ke perpustakaan.
“Nah, gue mau ke perpustakaan aja.” Zayan bangkit dari duduknya.
Tapi dia terhenti ketika melihat gambar Bintang yang sudah setengah jadi. Ada wajahnya di gambar itu. tepat di sebelah gambar wajah Bintang yang membuatnya kembali duduk tak jadi pergi ke perpustakaan.
“Kenapa lo gambar gue?” tanya Zayan penasaran.
“Karena hari ini gue masih suka sama lo.”
“Aneh.”
Bintang menoleh dengan tatapan sedikit kesal, “Jangan ngatain gue. Gue nggak nyuruh lo suka sama gue kok,” timpalnya.
Zayan memutar bola matanya kesal. Dia tahu, tapi rasanya aneh saja kalau Bintang ternyata benar – benar menyukainya. Dia pikir, selama ini hanya sekedar menggoda dan akan berhenti dalam beberapa hari karena selalu Zayan tolak. Ternyata Bintang lebih serius dari yang dia duga.
Dia menyandarkan kepalanya di atas meja dan mulai memejamkan matanya. Untunglah kali ini yang Ojan yang memimpin kegiatan klub. Kalau guru, pasti Zayan tidak akan bisa bersikap asal – asalan seperti itu di kelas.
“Gue nggak suka sama lo, tahu.” Zayan memberi tahu.
“Masih tetap ditolak,” gumam Bintang.
“Lagian, lo ‘kan bisa suka sama Ojan. Dia baik sama lo, kalau dipikir – pikir cakep juga.”
“Lo pikir perasaan gue segampang itu berubah. Gue bukan orang yang suka main – main sama perasaan.”
Zayan meringis kecil, “Kalian cocok kok,” kilahnya.
Kali ini Bintang tak lagi menanggapi. Ucapan Zayan ada benarnya tentang Ojan. Meskipun sedikit kecewa sebenarnya tapi dia cukup tenang karena setidaknya dia tahu kalau Zayan memang tidak mungkin menyukainya.
Cowok itu terlalu sempurna. Tubuhnya, akademiknya bahkan kepribadiannya yang dingin. Zayan sebenarnya cukup perhatian dan peka terhadap orang – orang di sekitarnya. Dan itu mungkin yang membuat Bintang merasa kalau suatu hari nanti Zayan menyukai seseorang dan memiliki pacar, cewek itu pasti akan sangat bahagia.
Bintang tak menyelesaikan gambarnya. Dia mengganti kanvas dan menggambar hal lain. Rasanya, dengan menggambar seperti itu justru akan membuat Zayan terganggu dan malah semakin tidak menyukainya.
“Kok ganti kanvas, Ta?” tanya Ojan.
“Gambar yang tadi, lupa minta izin sama yang punya muka,” celetuknya cengengesan.
Ojan melirik ke kanvas yang Bintang maksud. Dia diam cukup lam dan melirik pada Zayan yang memang terlihat acuh dengan segala hal. Beberapa kali Ojan mendengar kalau Bintang memang sedang dekat dengan Zayan. Dan memang mungkin benar kalau Bintang menyukai cowok acuh itu.
“Kalau begitu, simpan aja yang itu di pojok.” Ojan memberi saran. Bintang mengangguk menanggapi.
“Nggak jadi gambar gue?” Zayan mengangkat kepalanya.
“Nggak. Mau gambar Ojan saja yang cocok sama gue.” [ ]