Zayan membuka pintu rumahnya. Dan saat itu juga, sebuah benda melayang membentur ambang pintu tepat di samping wajah Zayan. Untungnya, itu bukan benda tajam dan juga benda mudah pecah. Itu kemoceng dan sangat tidak membuat Zayan terkejut karena sudah terlalu biasa dengan kejadian seperti itu.
Dia lewat begitu saja membiarkan kedua kakak perempuannya yang tengah beradu mulut. Jika keduanya di rumah, tentu akan seperti itu. Tak ada ketenangan sedikit pun. Semua hal mereka ributkan.
Kamar mandi, menyapu, baju bahkan kadang – kadang mereka membahas hak rumah itu. Tak heran karena usia keduanya hanya selirih sebelas bulan, hampir seumuran. Kanza dan Kesya.
“Zayan, siapa yang lebih cocok pakai baju ini?” tanya Kanza menunjukkan baju renang yang cukup seksi dengan motif bunga – bunga berwarna merah.
Zayan menoleh dengan malas menatap tubuh kedua kakaknya, “Aku,” jawabnya singkat.
Kesya seketika terbahak, “Kamu nggak mengerti pertanyaan Kanza?” ledeknya.
“Adik mana yang mau kakaknya jual diri?”
Kanza dan Kesya seketika terdiam mendengar kalimat yang nyelekit itu keluar dari mulut Zayan. Memang banar baju itu terlalu terbuka, tapi itu pemberian dari ibu mereka. Mereka juga tahu kalau Zayan bermulut pahit. Tapi baru kali ini mereka dibuat bungkam oleh adik bungsu mereka itu.
Melihat kedua kakaknya yang diam saling memandang, Zayan pun menaiki tangga menuju kamarnya. Keributan kembali terjadi kali ini entah karena apa. Zayan hanya lelah dengan semua itu. Kadang – kadang, dia harus menjadi pelampiasan kemarahan mereka satu sama lain.
“Gue capek,” gumam Zayan masuk ke kamarnya dan merebahkan dirinya ke atas kasur menutup wajahnya dengan bantal agar tak mendengar teriakan – teriakan Kanza dan Kesya.
Tiba – tiba dia ingat tadi saat Bintang memanggilnya dengan suara yang bergetar selepas terjatuh, “Dia takut karena apa?” gumam Zayan.
Dia mengambil formulir pendaftaran darmawisata yang belum dia serahkan kepada guru karena tak yakin. Mengajari Bintang itu terlalu melelahkan. Baru sekali saja, dia sudah hampir menyerah karena tak ada yang dimengerti cewek itu. Zayan kehabisan akal bagaimana menjelaskan pelajaran pada Bintang.
Tapi, kalau memang selama ini Bintang tak pernah mengikuti darmawisata, bukankah itu menyedihkan? Bintang orang yang ceria dan suka bersenang – senang. Tapi, dia terlihat biasa saja meski tahu kalau dia tidak akan mengikuti darmawisata itu.
“Zayan, ayah pulang!” teriakan Kesya memanggil Zayan.
“Oke, welcome.” Dia menjawabnya dengan singkat tak berniat menemui ayahnya sama sekali. Toh, sebentar lagi pasti akan kembali bekerja entah ke mana.
Dia bangkit dan mengganti pakaiannya sampai akhirnya dia sadar kalau ayahnya sudah berdiri di ambang pintu menatap putra satu – satunya itu.
“Kamu tidak menyapa Ayah?” tanyanya.
“Ayah akan bilang kalau Ayah akan menikah lagi ‘kan?” balas Zayan mengancing kemejanya.
“Kamu masih belum setuju?”
“Kali ini aku setuju. Tapi, aku akan tinggal bersama dengan Ibu selepas Ayah menikah.” Zayan mengatakannya sambil mengambil kunci motornya dan pergi melewati ayahnya begitu saja.
Kanza dan Kesya menatap Zayan dengan sinis. Hanya Zayan yang menyukai ibunya. Semua orang, sangat suka dengan ayah mereka itu. Itu sebabnya jika Zayan menyebut Ibu mereka, semuanya akan terlihat tidak suka dan bahkan membencinya.
Dia naik ke motornya dan pergi dari rumah mencari ketenangan. Kadang, dia pergi ke rumah Iqbal. Tapi kali ini, rasanya Zayan ingin sendiri dan menghabiskan waktunya dengan tidak mendengar ocehan siapa pun. Bukannya dia benci dengan orang yang banyak bicara, tapi dia kadang lelah karena sudah seharian mendengar semuanya dari kedua kakaknya.
Motornya berhenti di sebuah wisata kecil baru di kotanya. Di sana cukup ramai, tapi jika tak ada yang mengajaknya bicara, mungkin dia akan baik – baik saja.
Setelah membeli sesuatu, Zayan duduk di salah satu kursi yang di depannya pemandangan sawah. Hijau dan penuh ketenangan. Dia menyadarkan punggungnya dan menghela nafas pelan.
“Zayan,” sapa seseorang yang tiba – tiba wajahnya nongol di hadapan Zayan menutupi langit yang tengah Zayan nikmati ketenangannya.
Dia seketika menoleh dan mendapati Bintang dengan permen kapasnya. Cewek itu duduk di samping Zayan tanpa permisi menikmati permennya dengan senyum lebarnya.
“Ngapain lo di sini?” tanya Zayan.
“Mencari ketenangan.”
“Kalau lo duduk di sini, gue yang nggak tenang.”
Bintang tertawa kecil, “Niatnya memang nggak duduk di sini. Tapi nggak tahan lihat barang bagus,” celetuknya asal.
Zayan menarik ujung bibirnya sedikit mendengar kalimat itu. Bintang menyebutnya sebagai ‘barang bagus’ seolah – olah Zayan adalah permen kapas yang tengah Bintang nikmati itu.
Cewek itu menyodorkan permen kapas yang tengah di makannya, “Zayan mau?” tawarnya.
“Nggak. Nanti gue tembam kayak lo,” balasnya menyeruput minumannya.
“Zay, sesuatu yang berlebihan itu nggak baik loh.”
“Apanya yang berlebihan?”
Bintang menatap Zayan tajam. Cowok itu tidak memakai kacamatanya. Dengan kemeja dan celana juga sepatunya yang kasual benar – benar menarik perhatian siapa pun. Bola mata Zayan pun kalau diperhatikan sebenarnya sangat bagus.
“Ganteng lo berlebihan sumpah. Mak lo mengidam apa sih?” kilah Bintang menggeleng – gelengkan kepalanya setelah memperhatikan Zayan.
“Makasih,” balas Zayan kembali menyeruput minumannya.
“Ih, salting lo!” pekik Bintang.
Zayan menjitak kepala Bintang, “Siapa yang salting?!”
“Alah bilang aja. Orang minuman lo sudah habis begitu masih lo seruput aja.” Bintang terbahak – bahak melihat tingkah Zayan yang tidak masuk akal.
Karena malu, Zayan bangkit kembali memesan minuman membiarkan Bintang tetap duduk di sana bersama permen kapasnya. Tanpa dia sadari, kali ini dia benar – benar tersenyum lebar dan tertawa kecil menyadari kekonyolannya sendiri. Lagian, tiba – tiba dipuji, siapa yang nggak malu?
Zayan rasa, berbicara dengan orang lain saat dia suntuk tak terlalu buruk. Mereka tidak adu nasib. Tapi saling menghibur. Itu menyenangkan.
Hari itu, Zayan sedikit suka keluar rumah dan berbaur dengan orang lain. Bukan, tapi berbaur dengan Bintang. Dia bisa tidak menyukai cewek bodoh. Tapi bukan berarti mereka tidak bisa berteman ‘kan?
“Mas, itu pacarnya ya? Kok senyum – senyum sendiri?” tegur penjual minuman.
“Nggak, Pak. Teman,” jawab Zayan berubah kembali menjadi sangat dingin.
Zayan kembali duduk di tempat Bintang yang sudah menghabiskan permen kapasnya dan duduk sambil mengayun – ayunkan kakinya seperti anak kecil. Dia tersenyum lebar menyambut kembalinya Zayan dengan minuman yang sama dengan yang sebelumnya.
Kini keduanya diam. Hanya suara seruputan Zayan pada cup minumannya yang mengisi keheningan di antara mereka.
“Satu... dua... tiga...” hitung Bintang menatap Zayan.
Kruk...
Bintang kembali tertawa karena suara perut Zayan.
“Mules nggak lo!” ledek Bintang.
Bintang memang menunggu momen itu. Dia tahu betul kalau terlalu banyak minum minuman seperti yang Zayan minum bisa membuat perut mulas. Zayan bangkit dan segera berlari ke toilet diiringi tawa Bintang yang tak ada hentinya membuat orang – orang di sekitar terheran – heran menatap Bintang.
“Kurang ajar! Pakai dihitung segala!” keluh Zayan berlari ke toilet.
“Zayan nggak apa – apa kok. Gue tetap suka sama lo walaupun lo lagi mules. Lo tetap cakep.” Bintang mengacungkan jempolnya membuat Zayan langsung menunjukkan jari tengahnya kesal.
Bintang adalah masalah baru bagi Zayan. [ ]